Entri yang Diunggulkan

Di Sebuah Ranah

Saya menamainya   ranah   atau wilayah dalam arti seluas-luasnya di mana kebenaran dipersoalkan. Kebenaran dari yang mempersoalkan adalah k...

Jumat, 29 Juni 2012

Rapsodi dari Gurun Sunyi (2)


Oleh Ari Hidayat pada 11 November 2011 pukul 7:49, di Catatan Facebook

    Hingga tibalah saya di Jakarta, Maret 1994. Ya biasa kerja: menulis berita. Dan saya pun tidak punya prestasi kerja apa-apa sebagai wartawan. Tapi, sungguh saya mendapat "didikan" langsung baik dari atasan di kantor rekan kerja (senior saya) termasuk senior-senior saya dari media lain yang biasa bertemu saat menjalankan tugas di lapangan. Dan semua itu menjadi bekal yg sangat berharga bagi pengalaman jurnalistik saya. Satu yg perlu dicatat mungkin pada saat itu kehidupan wartawan tidak semudah seperti sekarang ini.
      Selain biasa-biasa saja, pun tak dapat dipungkiri sejak 1996 saya dikerkah penyakit jiwa berat, skizofrenia (orang awam menyebutnya gila). Saat kerja di HU Jayakarta itu sudah tiga kali saya dirawat di RSK atau pun RSJ. Hingga pada 1997 saya mengundurkan diri dari kerja. Setelah itu, saya sering kambuh-kambuhan ditambah saya malu kini sebagai pengangguran. Meski istri saya ketika itu tidak mempersoalkan sebab, dia pun bekerja dengan penghasilan yang lumayan besar. Tapi. saya tetap saja malu setelah ke sana ke mari ditolak kerja. Belum lagi kalau saya kambuh, dengan perilaku yang aneh-aneh, keluyuran ke sana ke mari sampai subuh. Tidak jarang sadar-sadar saya sudah di RSJ.
      Wajar kalau sampai anak istri pun meninggalkan dan menceraikan saya.Selanjutnya saya sempat kerja di sebuah tabloid ibukota sebagai koresponden Jawa Barat, namun itu tidak lama sebab, kembali saya keluar masuk rumah sakit. Di Tasik saya juga pernah kerja sebagai wartawan di Kabar Priangan. Ini pun tidak lama, lantaran kembali saya masuk RS. Sampai April 2009 saya sudah 13 kali dirawat di RS.  Akhirnya, saya pun memutuskan berhenti sebagai wartawan dan mulai belajar menjadi penulis lepas. Saya mencoba menulis esai, puisi, dan cerpen dan dikirimkan ke berbagai media cetak (tahun 2001). Sepertinya mulai 98-99-an saya mulai ngirim-ngirim tulisan tapi semuanya ditolak atau tidak dimuat media.
     Saya tidak ingat persis berapa lama saya seperti itu: menulis, mengirimkan ke media dan tidak dimuat. Tapi saya terus mencoba dan belajar otodidak tentang menulis esai, puisi, dan  cerpen. Begitulah ada rasa senang bila tulisan saya dimuat dan saya pun memeroleh honorarium. Di sini pun saya ingin mengungkapkan betapa saya banyak belajar dari tulisan-tulisan, buku-buku para penulis ternama. Dulu ketika kerja sebagai wartawn di Jakarta, Bandung, dan Tasik saya juga suka membaca sastra dan meliput kegiatan sastra. Dan memang sejak kecil saya mencintai sastra. Jujur saja saya senang betul bila bisa bertemu langsung dengan penulis, sastrawan yang saya kagumi. Mungkin karena mereka orang besar dan saya hanya wartawan biasa saja mereka tidak akan ingat saya. Setidaknya saya pernah membuat laporan aktivitas sastra mereka maupun mewawancarainya.
     Begitu pula ketika saya nekad ke markas Sanggar Sastra Tasik, sangatlah senang saya bisa bertatap muka bahkan berbincang-bincang dengan sastrawan dan para penulis yang selama ini saya mengenal lewat karya-karya mereka saja         Nyaris 10 tahun saya bergelut menulis esai dan belajar membuat puisi dan cerpen. Sebab, saya bukan penulis yang berprestasi, produktif, dan cerdas, saya sungguh merasakan betapa jungkir baliknya mengandalkan hidup dari honor menulis. Dan saya pun amat merasakan betapa menulis itu sebagai disiplin sunyi, meski memang mengasyikkan seperti diungkapkan para sastrawan . Pada  Desember 2010 saya nyerah dan mulai membuka Jasa Internet (Jasnet) dan dikelola sendiri seraya berusaha untuk sembuh dari penyakit saya. Kadang-kadang saja kalau rindu saya menulis (TAMAT)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar