Oleh Ari Hidayat pada 11 November 2011 pukul 7:49, di Catatan Facebook
Hingga tibalah saya di Jakarta, Maret 1994. Ya biasa kerja: menulis
berita. Dan saya pun tidak punya prestasi kerja apa-apa sebagai
wartawan. Tapi, sungguh saya mendapat "didikan" langsung baik dari
atasan di kantor rekan kerja (senior saya) termasuk senior-senior saya
dari media lain yang biasa bertemu saat menjalankan tugas di lapangan.
Dan semua itu menjadi bekal yg sangat berharga bagi pengalaman
jurnalistik saya. Satu yg perlu dicatat mungkin pada saat itu kehidupan
wartawan tidak semudah seperti sekarang ini.
Selain
biasa-biasa saja, pun tak dapat dipungkiri sejak 1996 saya dikerkah
penyakit jiwa berat, skizofrenia (orang awam menyebutnya gila). Saat
kerja di HU Jayakarta itu sudah tiga kali saya dirawat di RSK atau pun
RSJ. Hingga pada 1997 saya mengundurkan diri dari kerja. Setelah itu,
saya sering kambuh-kambuhan ditambah saya malu kini sebagai
pengangguran. Meski istri saya ketika itu tidak mempersoalkan sebab, dia
pun bekerja dengan penghasilan yang lumayan besar. Tapi. saya tetap
saja malu setelah ke sana ke mari ditolak kerja. Belum lagi kalau saya
kambuh, dengan perilaku yang aneh-aneh, keluyuran ke sana ke mari sampai
subuh. Tidak jarang sadar-sadar saya sudah di RSJ.
Wajar
kalau sampai anak istri pun meninggalkan dan menceraikan
saya.Selanjutnya saya sempat kerja di sebuah tabloid ibukota sebagai
koresponden Jawa Barat, namun itu tidak lama sebab, kembali saya keluar
masuk rumah sakit. Di Tasik saya juga pernah kerja sebagai wartawan di
Kabar Priangan. Ini pun tidak lama, lantaran kembali saya masuk RS.
Sampai April 2009 saya sudah 13 kali dirawat di RS. Akhirnya, saya pun
memutuskan berhenti sebagai wartawan dan mulai belajar menjadi penulis
lepas. Saya mencoba menulis esai, puisi, dan cerpen dan dikirimkan ke
berbagai media cetak (tahun 2001). Sepertinya mulai 98-99-an saya mulai
ngirim-ngirim tulisan tapi semuanya ditolak atau tidak dimuat media.
Saya tidak ingat persis berapa lama saya seperti itu: menulis,
mengirimkan ke media dan tidak dimuat. Tapi saya terus mencoba dan
belajar otodidak tentang menulis esai, puisi, dan cerpen. Begitulah ada
rasa senang bila tulisan saya dimuat dan saya pun memeroleh honorarium.
Di sini pun saya ingin mengungkapkan betapa saya banyak belajar dari
tulisan-tulisan, buku-buku para penulis ternama. Dulu ketika kerja
sebagai wartawn di Jakarta, Bandung, dan Tasik saya juga suka membaca
sastra dan meliput kegiatan sastra. Dan memang sejak kecil saya
mencintai sastra. Jujur saja saya senang betul bila bisa bertemu
langsung dengan penulis, sastrawan yang saya kagumi. Mungkin karena
mereka orang besar dan saya hanya wartawan biasa saja mereka tidak akan
ingat saya. Setidaknya saya pernah membuat laporan aktivitas sastra
mereka maupun mewawancarainya.
Begitu pula ketika saya nekad
ke markas Sanggar Sastra Tasik, sangatlah senang saya bisa bertatap muka
bahkan berbincang-bincang dengan sastrawan dan para penulis yang selama
ini saya mengenal lewat karya-karya mereka saja Nyaris 10 tahun
saya bergelut menulis esai dan belajar membuat puisi dan cerpen. Sebab,
saya bukan penulis yang berprestasi, produktif, dan cerdas, saya
sungguh merasakan betapa jungkir baliknya mengandalkan hidup dari honor
menulis. Dan saya pun amat merasakan betapa menulis itu sebagai disiplin
sunyi, meski memang mengasyikkan seperti diungkapkan para sastrawan .
Pada Desember 2010 saya nyerah dan mulai membuka Jasa Internet (Jasnet)
dan dikelola sendiri seraya berusaha untuk sembuh dari penyakit saya.
Kadang-kadang saja kalau rindu saya menulis (TAMAT)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar