Entri yang Diunggulkan

Di Sebuah Ranah

Saya menamainya   ranah   atau wilayah dalam arti seluas-luasnya di mana kebenaran dipersoalkan. Kebenaran dari yang mempersoalkan adalah k...

Jumat, 20 April 2012

Sosok Perempuan dalam Media Massa



       Berbagai penelitian tentang  perempuan dalam media massa nyaris semuanya menunjukkan wajah perempuan yang kurang menggembirakan. Perempuan sering digambarkan sebagai sosok yang penuh derita, noda dan terdiskriminasi.Media massa, khususnya televisi, menampilkan perempuan sebagai sosok yang lemah, pasif dan tidak berdaya. Padahal perempuan pun sama dengan laki-laki sebagai manusia utuh yang terdiri atas badan  dan jiwa serta bebas menentukan sikap dan menjadi dirinya sendiri. Sejumlah kalangan menilai, pemberitaan tentang wanita pun masih sedikit, sehingga terjadi ketimpangan informasi.
        Isu seputar perempuan seperti kesetaraannya dengan laki-laki, terutama dalam sektor publik, memang sudah menjadi kebijakan pemerintah. Tak kurang dari regulasi tentang perempuan dan pembentukan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan yang mengurusi masalah-masalah kaum perempuan . Tapi, kondisi aktual masyarakat saat ini kurang mendukung upaya penyetaraan itu.  Masyarakat kita masih menganut ideologi dan nilai-nilai patriarki, yang menganggap posisi laki-laki lebih dominan ketimbang perempuan. Bahkan, perempuan masih dianggap sebagian besar orang sebagai subordinat dari sebuah sistem.
        Lewat keadaan seperti ini, tentu saja yang menjadi korban adalah perempuan. Namun, media massa kita belum mengungkapkan bias gender itu. Menurut anggota Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID), Jawa Barat,  DR Atie Rachmiatie, MSi, berdasarkan penelitian dan pengamatan acara-acara di stasiun televisi (TV), maka terjadi bias informasi. Akibatnya, 61 persen acara menggambarkan fungsi dan profesi perempuan sebagai orang yang tidak bekerja. Sisanya, 39 persen menggambarkan perempuan karier dengan pekerjaan yang pantas untuk perempuan seperti sekretaris (Pikiran Rakyat, 25 Agustus 2007).
           Baik media massa cetak (surat kabar, tabloid dan majalah) dan elektronik (TV dan film) masih menggambarkan sosok perempuan seperti yang diungkapkan DR Thamrin Amal Tomagola (1990), yakni berkisar seputar 5-P: pigura, pilar, peraduan, pinggan, dan pergaulan. Pigura menyangkut kecantikan dan pemikat secara biologis, pilar sebagai pengelola rumah tangga, peraduan yakni yang berhubungan dengan seks, pinggan yaitu berkaitan dengan dapur dan pergaulan untuk urusan publik sebagai pendamping lingkungan kerja. Pemberitaan tentang wanita pun seringkali menyangkut sektor domestik, yang sudah menjadi kodrat perempuan, misalnya mengenai kecantikan, mengatur waktu antara karier dan keluarga dsb.
             Pencitraan perempuan seperti itu dapat dilihat saat media massa memproyeksikan perempuan. Tidak sedikit dalam media iklan, halaman depan tabloid, dan majalah hiburan yang menampilkan wajah dan bentuk tubuh perempuan sebagai daya tarik. Begitu pula dengan sinetron-sinetron dan film masih juga menggambarkan perempuan sebagai makhluk yang lemah, tergantung pada pria, yang hanya di rumah dan peran utamanya hanyalah menyenangkan kaum pria. Selain itu, banyak pula perempuan yang dianggap sebagai simbol seks. Sosok perempuan dalam media massa seperti itu tentu saja menunjukkan stereotip yang merugikan mereka.
             Dalam TV, gambaran perempuan tanpa pekerjaan, sebanyak 65 persen digambarkan sebagai pigura (pajangan atau dekorasi),  rekreasi 34 persen dan keluarga 1 persen. Seandainya sinetron menampilkan image (citra) perempuan yang positif, maka akan sangat berpengaruh pada pemikiran kaum wanita baik dalam peran publik maupun domestiknya. Lantas kenapa media massa masih menggambarkan sosok perempuan seperti di atas? Apakah yang ditampilkan media massa (cetak dan elektronik) sebagai cerminan realitas perempuan dalam masyarakat?
            Selain karena kuatnya budaya patriarki, juga praktisi media, baik pemilik, sutradara, penulis skenario, produser, maupun jurnalis (wartawan) masih didominasi oleh kaum laki-laki. Kenyataan ini berdampak kepada perspektif yang dipakai media massa. Sebagai contoh, tahun 2007 perempuan jurnalis di Indonesia hanya 8,6 persen dan sisanya 91,4 persen adalah laki-laki.

Masyarakat tontonan
             Di dalam masyarakat tontonan (society of spectacle), perempuan berfungsi dominan sebagai pembentuk citra (image) dan tanda (sign) berbagai komoditas (misalnya salesgirl, covergirl dan modelgirl). Menurut Guy Debord, seperti dikutip Yasraf Amir Piliang (1998),  masyarakat tontonan adalah masyarakat yang dalam dirinya setiap sisi kehidupan menjadi komoditas. Setiap komoditas itu menjadi “tontonan”. Dalam masyarakat tontotan, tubuh wanita sebagai objek tontonan untuk menjual komoditas - atau tubuh itu sendiri sebagai suatu komoditas tontonan – mempunyai peran yang sangat sentral.
           Menjadikan tubuh sebagai tontonan bagi sebagian perempuan adalah jembatan atau jalan pintas untuk masuk ke dunia populer, meraih popularitas, mengejar gaya hidup, dan buat mencapai kepuasan material. Dalam kondisi ini, perempuan tanpa menyadari sesungguhnya mereka telah dikonstruksi secara sosial untuk berada di dunia marjinal yakni dunia objek, dunia citra, dan dunia komoditas. Karena pencitraan perempuan dalam masyarakat tontonan  seperti itu, kerap media massa khususnya TV, dituduh hanya menampilkan perempuan sebagai pemikat biologis semata. Inilah yang acapkali dilontarkan kaum feminis sebagai kritikan kepada media massa.
          Bagaimanapun, media massa memiliki manfaat yang cukup penting dalam masyarakat. Tokoh emansipasi kita, RA Kartini yang hari kelahirannya 21 April diperingati setiap tahun sebagai Hari Kartini  pun,  mendobrak tradisi yang tidak sesuai dengan harkat dan martabat kaum wanita lewat bacaan-bacaannya yakni majalah wanita ketika itu. Karena itu, gambaran positif tentang perempuan dalam media massa akan memperbaiki citra mereka. Menyangkut, sedikitnya media menampilkan sosok perempuan, menurut Akhmad Zaini Abar, lebih disebabkan faktor struktural, yakni realitas sosial bahwa laki-laki lebih banyak menciptakan peristiwa yang layak menjadi berita ketimbang perempuan.
          Media massa berfungsi menyampaikan fakta. Karena itu, gambaran perempuan dalam media massa merupakan cermin realitas yang ada dalam masyarakatnya. Kata orang, mengharapkan setara dalam segala sesuatu adalah sebuah utopia. Meskipun, kaum wanita bisa saja berdalih itu adalah cita-cita dan perjuangan. Ketimbang mempersoalkan terus-menerus mengenai. kesetaraan gender, feminis – maskulin dsb., alangkah lebih baiknya jika perempuan lebih menunjukkan prestasi, karya, kecakapan dan peran dalam masyarakat yang tidak kalah dengan kaum laki-laki. Sehingga, gambaran ideal tentang perempuan pun akan tampil dalam media massa (Ari Hidayat)
(Dimuat di SKH  Kabar Priangan,  16 September 2008)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar