Berbagai
penelitian tentang perempuan dalam media
massa nyaris semuanya menunjukkan wajah perempuan yang kurang menggembirakan. Perempuan
sering digambarkan sebagai sosok yang penuh derita, noda dan terdiskriminasi.Media
massa, khususnya televisi, menampilkan perempuan sebagai sosok yang lemah, pasif
dan tidak berdaya. Padahal perempuan pun sama dengan laki-laki sebagai manusia
utuh yang terdiri atas badan dan jiwa
serta bebas menentukan sikap dan menjadi dirinya sendiri. Sejumlah kalangan
menilai, pemberitaan tentang wanita pun masih sedikit, sehingga terjadi
ketimpangan informasi.
Isu seputar perempuan seperti
kesetaraannya dengan laki-laki, terutama dalam sektor publik, memang sudah menjadi
kebijakan pemerintah. Tak kurang dari regulasi tentang perempuan dan
pembentukan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan yang mengurusi
masalah-masalah kaum perempuan . Tapi, kondisi aktual masyarakat saat ini
kurang mendukung upaya penyetaraan itu.
Masyarakat kita masih menganut ideologi dan nilai-nilai patriarki, yang
menganggap posisi laki-laki lebih dominan ketimbang perempuan. Bahkan,
perempuan masih dianggap sebagian besar orang sebagai subordinat dari sebuah
sistem.
Lewat keadaan seperti ini, tentu saja
yang menjadi korban adalah perempuan. Namun, media massa kita belum
mengungkapkan bias gender itu. Menurut anggota Komisi Penyiaran Indonesia
Daerah (KPID), Jawa Barat, DR Atie
Rachmiatie, MSi, berdasarkan penelitian dan pengamatan acara-acara di stasiun
televisi (TV), maka terjadi bias informasi. Akibatnya, 61 persen acara
menggambarkan fungsi dan profesi perempuan sebagai orang yang tidak bekerja.
Sisanya, 39 persen menggambarkan perempuan karier dengan pekerjaan yang pantas
untuk perempuan seperti sekretaris (Pikiran
Rakyat, 25 Agustus 2007).
Baik media massa cetak (surat kabar,
tabloid dan majalah) dan elektronik (TV dan film) masih menggambarkan sosok
perempuan seperti yang diungkapkan DR Thamrin Amal Tomagola (1990), yakni
berkisar seputar 5-P: pigura, pilar, peraduan, pinggan, dan pergaulan. Pigura
menyangkut kecantikan dan pemikat secara biologis, pilar sebagai pengelola
rumah tangga, peraduan yakni yang berhubungan dengan seks, pinggan yaitu berkaitan
dengan dapur dan pergaulan untuk urusan publik sebagai pendamping lingkungan
kerja. Pemberitaan tentang wanita pun seringkali menyangkut sektor domestik,
yang sudah menjadi kodrat perempuan, misalnya mengenai kecantikan, mengatur
waktu antara karier dan keluarga dsb.
Pencitraan perempuan seperti itu dapat dilihat
saat media massa memproyeksikan perempuan. Tidak sedikit dalam media iklan,
halaman depan tabloid, dan majalah hiburan yang menampilkan wajah dan bentuk
tubuh perempuan sebagai daya tarik. Begitu pula dengan sinetron-sinetron dan
film masih juga menggambarkan perempuan sebagai makhluk yang lemah, tergantung
pada pria, yang hanya di rumah dan peran utamanya hanyalah menyenangkan kaum
pria. Selain itu, banyak pula perempuan yang dianggap sebagai simbol seks.
Sosok perempuan dalam media massa seperti itu tentu saja menunjukkan stereotip
yang merugikan mereka.
Dalam TV, gambaran perempuan tanpa
pekerjaan, sebanyak 65 persen digambarkan sebagai pigura (pajangan atau
dekorasi), rekreasi 34 persen dan
keluarga 1 persen. Seandainya sinetron menampilkan image (citra) perempuan yang positif, maka akan sangat berpengaruh
pada pemikiran kaum wanita baik dalam peran publik maupun domestiknya. Lantas
kenapa media massa masih menggambarkan sosok perempuan seperti di atas? Apakah
yang ditampilkan media massa (cetak dan elektronik) sebagai cerminan realitas
perempuan dalam masyarakat?
Selain karena kuatnya budaya
patriarki, juga praktisi media, baik pemilik, sutradara, penulis skenario,
produser, maupun jurnalis (wartawan) masih didominasi oleh kaum laki-laki.
Kenyataan ini berdampak kepada perspektif yang dipakai media massa. Sebagai
contoh, tahun 2007 perempuan jurnalis di Indonesia hanya 8,6 persen dan sisanya
91,4 persen adalah laki-laki.
Masyarakat tontonan
Di dalam masyarakat tontonan (society of spectacle), perempuan
berfungsi dominan sebagai pembentuk citra (image)
dan tanda (sign) berbagai komoditas
(misalnya salesgirl, covergirl dan modelgirl). Menurut Guy Debord, seperti
dikutip Yasraf Amir Piliang (1998),
masyarakat tontonan adalah masyarakat yang dalam dirinya setiap sisi
kehidupan menjadi komoditas. Setiap komoditas itu menjadi “tontonan”. Dalam
masyarakat tontotan, tubuh wanita sebagai objek tontonan untuk menjual komoditas
- atau tubuh itu sendiri sebagai suatu komoditas tontonan – mempunyai peran yang
sangat sentral.
Menjadikan tubuh sebagai tontonan
bagi sebagian perempuan adalah jembatan atau jalan pintas untuk masuk ke dunia
populer, meraih popularitas, mengejar gaya hidup, dan buat mencapai kepuasan
material. Dalam kondisi ini, perempuan tanpa menyadari sesungguhnya mereka
telah dikonstruksi secara sosial untuk berada di dunia marjinal yakni dunia
objek, dunia citra, dan dunia komoditas. Karena pencitraan perempuan dalam
masyarakat tontonan seperti itu, kerap
media massa khususnya TV, dituduh hanya menampilkan perempuan sebagai pemikat
biologis semata. Inilah yang acapkali dilontarkan kaum feminis sebagai kritikan
kepada media massa.
Bagaimanapun, media massa memiliki
manfaat yang cukup penting dalam masyarakat. Tokoh emansipasi kita, RA Kartini
yang hari kelahirannya 21 April diperingati setiap tahun sebagai Hari Kartini pun,
mendobrak tradisi yang tidak sesuai dengan harkat dan martabat kaum
wanita lewat bacaan-bacaannya yakni majalah wanita ketika itu. Karena itu,
gambaran positif tentang perempuan dalam media massa akan memperbaiki citra
mereka. Menyangkut, sedikitnya media menampilkan sosok perempuan, menurut
Akhmad Zaini Abar, lebih disebabkan faktor struktural, yakni realitas sosial
bahwa laki-laki lebih banyak menciptakan peristiwa yang layak menjadi berita
ketimbang perempuan.
Media massa berfungsi menyampaikan
fakta. Karena itu, gambaran perempuan dalam media massa merupakan cermin realitas
yang ada dalam masyarakatnya. Kata orang, mengharapkan setara dalam segala sesuatu
adalah sebuah utopia. Meskipun, kaum wanita bisa saja berdalih itu adalah
cita-cita dan perjuangan. Ketimbang mempersoalkan terus-menerus mengenai.
kesetaraan gender, feminis – maskulin dsb., alangkah lebih baiknya jika
perempuan lebih menunjukkan prestasi, karya, kecakapan dan peran dalam
masyarakat yang tidak kalah dengan kaum laki-laki. Sehingga, gambaran ideal
tentang perempuan pun akan tampil dalam media massa (Ari Hidayat)
(Dimuat di SKH Kabar
Priangan, 16 September 2008)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar