Entri yang Diunggulkan

Di Sebuah Ranah

Saya menamainya   ranah   atau wilayah dalam arti seluas-luasnya di mana kebenaran dipersoalkan. Kebenaran dari yang mempersoalkan adalah k...

Kamis, 26 April 2018



Jiwa yang  Bergerak
Berjalan dan teruslah  berjalan
Meski langkah  terkadang  pelan
Sebab letih dikerjai  keseharian

Berjalan dan teruslah berjalan
Meski di tiap tikungan bertemu sunyi
Sebab resah pencarian belum sampai

Berjalan dan teruslah berjalan
Meski badai jiwa mengkerkah diri
Dan kekurangan membelit  hari
Serta sesuatu entah seakan menyekat diri
Juga luap suara menertawakan
Kita yang seakan berjalan  demikian

Berjalan dan teruslah bergerak berjalan
Menerobos kabut keresahan
Menebas belukar keraguan
Sambil menyanyikan lagu sehari-hari
2017

Kamis, 30 Maret 2017

Iseng-Iseng (Tidak) Berhadiah


Di sela-sela waktu luang aktivitas keseharian saya, kadang-kadang saya mengambil kertas bekas ngeprint yang gagal (tidak terpakai). Saya gunting bagian yang putihnya (tidak ada cetakan dari printer). Potongan-potongan kertas ini saya jadikan media untuk menggambar menggunakan ballpoint. Setelah jadi, saya rekatkan ke kertas bahan kardus. Bagian luarnya saya lapisi dengan plastik. Juga saya suka menggambar dengan pulpen di kertas HVS baru. Seperti gambar-gambar di bawah ini. Gambar 1 (Ukuran 7 cm X 9,5 cm dan 7 cm X 9 cm) ; Gambar 2 ( Ukuran 10 cm X 13,5 cm dan 9 cm X 10 cm) dan Gambar 3 HVS kwarto ukuran penuh.



Gambar 1

Gambar 2

Gambar 3

Selasa, 24 November 2015

Di Sebuah Ranah


Saya menamainya  ranah  atau wilayah dalam arti seluas-luasnya di mana kebenaran dipersoalkan. Kebenaran dari yang mempersoalkan adalah kebenaran dengan konsekuensi hukum karena merasa dirugikan secara material. Katakanlah demikian.
Ada peraturan perundangan yang menyatakan perbuatan tertuntut melanggar aturan. Tapi, bahasa hukumnya sendiri seperti  ambigu. Boleh untuk kepentingan pribadi tapi tidak buat kepentingan komersial.   

Di manakah tempat terjadinya pelanggaran itu? Di perangkat pribadi yang dekat dan akrab dengan kita? Atau ranah lain yang komersial dan seperti “ruang publik” sekaligus privat? Apa pelanggaran itu bermula dari ketidaktahuan atau sudah paham sebelumnya berikut konsekuensi hukumnya?  Andai berawal dari ketidak pahaman lantas bagaimana? Selanjutnya kalau sudah tahu dan tidak merugikan penuntut dan disebut melanggar caranya bagaimana? Khususnya, sebut saja saya. Tapi, kan tidak saya saja, tapi juga ratusan ribu bahkan jutaan orang lain?

Lima tahun terakhir saya kerap dikerkah pertanyaan-pertanyaan itu.  Tapi, maaf saya belum dapat jawaban yang pas bagi diri sendiri yang saya anggap paling fair. Saya orang Indonesia, meski keindonesiaan saya masih segini. Sebagai warga negeri ini saya juga ingin patuh aturan dan hukum,  termasuk menghormati norma,  budaya kita. 

Untuk itu saya melihat ada yang tidak bisa ditolerir sebab itu tidak sesuai dengan kaidah dan budaya kita, tapi ada yang masih ambigu, rumit alias tidak sesederhana yang kita pikirkan dan inginkan  seperti yang saya tuliskan di atas baik dari sisi teknis maupun nonteknisnya. Pun karena begitu banyak yang berkepentingan di ranah ini.

Sekian dan terima kasihan

Ditulis saya sendiri sebagai Penjaga, sekaligus Operator, dan kalau boleh dicantumkan juga Pengelola sebuah Warnet. (Maaf untuk rangkap tugas kerja ini, sebab warnetnya juga warnet kecil hanya 5 komputer klien)

Minggu, 08 November 2015

Menyatakan Pendapat
Berpendapat secara lisan maupun tulisan dijamin oleh konstitusi kita dan peraturan perundangan yang ada. Bahkan lebih jauh itu merupakan hak dasar (asasi) yang dilindungi oleh Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia. Menyatakan pendapat secara lisan dan tulisan adalah lumrah dalam keseharian kita. Tentu saja, dari berpendapat yang sekadar di lingkungan kecil dengan media langsung (ngobrol-ngobrol), diskusi, dan yang lebih serius dari itu semacam dalam forum-forum resmi. Khusus berpendapat secara tulisan kini tak hanya media konvensional yang dapat dijadikan  sarana untuk berdiskursus (berwacana), melainkan pula media baru yakni media sosial.
Saya teringat akan seorang penulis artikel di sebuah surat kabar yang mengajukan pertanyaan yang dijawabnya sendiri. Untuk apa sebenarnya kita sebagai warga negara biasa sampai turut berpendapat terhadap sebuah peristiwa yang terjadi bahkan terhadap kebijakan-kebijakan eksekutif, pernyataan beserta keputusan legislatif dan institusi yudikatif kita, lebih jauh bahkan terhadap peristiwa global segala? Penulis ini menjawab apa salahnya sebagai warga yang turut membayar pajak, terkadang berurusan dengan lembaga pemerintahan semisal kelurahan dan kecamatan, juga urusan-urusan administratif dengan lembaga lainnya, Artinya, sebagai warga bangsa kita tidak terlepas dari semua itu.
Hingga, apa kelirunya pula bila berpendapat (sekali lagi hanya berpendapat).
Adakah seseorang yang berpendapat tanpa disertai argumen atau data jikalau diperlukan? Adakah yang berpendapat dengan kontennya dusta, atau fitnah? Saya tidak mau menjawab tentang ini, sebab nantinya akan berujung seperti sebuah "penghakiman". Namun, singkat kata tentunya sebagai warga yang turut berhak dan bertanggung jawab pula terhadap negeri ini, kita tidak akan dan tidak akan pernah seperti itu. Semoga.