Entri yang Diunggulkan

Di Sebuah Ranah

Saya menamainya   ranah   atau wilayah dalam arti seluas-luasnya di mana kebenaran dipersoalkan. Kebenaran dari yang mempersoalkan adalah k...

Rabu, 28 November 2012

Seniman dan Birokrasi



Oleh: Ari Hidayat


           Semasa Orde Baru (Orba), seorang pemain sinetron terkenal sempat merasa kesal. Pasalnya, saat dia membuat Kartu Tanda Penduduk (KTP), mencantumkan pemain sinetron  sebagai pekerjaannya dalam Formulir Permohonan Kartu Tanda Penduduk (FPKTP). Profesi itu, dipersoalkan petugas pembuat KTP lantaran, pemain sinetron termasuk seniman bukanlah suatu profesi. Akhirnya, pemain sinetron itu pun mencantumkan jenis pekerjaan lain dalam formulir itu.
           Ketika reformasi belum bergulir, sebenarnya bukan hanya pemain sinteron, sejumlah seniman pun sempat mengalami pengalaman serupa. Ini menunjukkan pekerjaan di bidang seni masih dipandang sebelah mata oleh birokrasi saat itu. Kesenian masih dipandang sebagai pekerjaan yang nonekonomis (tidak menguntungkan). Namun, di era reformasi ada fenomena yang menggembirakan. Dalam daftar isian pekerjaan (profesi) di FPKTP seperti di Kota Tasikmalaya ini terdapat pilihan profesi seniman. Bahkan, tak tanggung-tanggung tersedia 88 jenis pekerjaan yang bisa dicantumkan dalam KTP, termasuk profesi seniman.
          Meskipun sastrawan Inggris, William Shakespeare, pernah bilang what is a name, the more important is a content (apalah arti sebuah nama, yang penting isi), namun nama bagi saya penting juga. Dalam tradisi Islam, memberikan nama kepada anak yang baru lahir dianjurkan dengan nama yang baik. Dalam masyarakat Sunda ada tradisi ngabubur bodas jeung beureum saat anak diberi nama. Pengakuan atas sebuah nama termasuk kelompok profesi dan organisasi juga penting.
            Mungkin tidak sedikit seniman yang sependapat dengan Shakespeare, apalah arti nama seniman, jika ia tidak mampu bekerja (berkarya) secara baik dan profesional. Yang penting, dia berkarya dan berkarya. Syukur-syukur bisa menghasilkan karya seni yang mendunia. Dan yang lebih penting, karyanya bisa memperluas cakrawala manusia dalam hidup dan kehidupan. Karyanya dapat memperkaya rongga-rongga batin seseorang. Namun demikian, pengakuan birokrasi terhadap profesi seniman, setidaknya akan memperkukuh kepercayaan akan keberadaan profesi itu. Bukan untuk gagah-gagahan atau riya (pamer).

Siapakah Seniman?
             Sebenarnya siapakah seniman itu? Tentu saja, dia adalah insan yang bekerja (berkarya) di bidang seni secara berkesinambungan dan profesional. Ragamnya bisa seni sastra, rupa, tari,  musik, dan drama. Sejatinya dia mengabdikan sebagian besar waktunya untuk berkesenian. Dalam kenyataan kini, walaupun birokrasi sudah mengakui seniman sebagai suatu profesi, tapi mereka kurang mendukung aktivitas-aktivitas berkesenian. Alasan birokrasi bersifat klasik, yakni minimnya dana untuk kegiatan itu. Memang di negara kita, sistem pengayoman terhadap kepentingan seniman masih kurang.
               Dengan demikian, seniman harus berkompromi dengan keadaan agar harmoni hidupnya tetap terjaga. Seniman pun ada yang terpaksa bekerja rangkap sebagai pedagang, guru, dosen, wartawan dsb. Ini dilakukan karena karya seni terutama sastra belum bisa menopang kebutuhan hidup sehari-hari. Seniman juga sama dengan orang lain, dia butuh dana untuk, bayar sewa rumah, transportasi, biaya kesehatan, uang sekolah anaknya, dsb. Karya seni masih dianggap kurang laku seperti pisang goreng, komputer, dan alat telekomunikasi. Sehingga mereka memilih kerja rangkap. Padahal, karya seni tidak kurang penting dari benda-benda fisik tadi. Sebab, karya seni memperkaya batin kita. Dia pun bisa mengisi rongga-rongga jiwa kita, sehingga muncul kesadaran baru, pencerahan, memperhalus budi, dan menggetarkan jiwa kita.
                    Seyogianya, bentuk pengakuan pemerintah terhadap seniman seperti di atas, akan lebih mengintenskan perhatian birokrasi kepada insan yang bekerja di bidang seni itu. Perhatian yang utama menyangkut dukungan dana bagi kegiatan kesenian. Berkesenian adalah berkebudayaan. Dan berkebudayaan menyangkut manusia. Karena menyangkut manusia, seharusnya perhatian pemerintah pun lebih besar terhadap seniman. Sebaliknya, kalangan seniman juga dituntut untuk lebih mengenali politik birokrasi, khususnya tentang pencarian dana dari pemerintah.  Janganlah terlalu apriori menganggap pemerintah tak mampu mengurus kesenian.
                     Salah satu peluang yang dapat dikembangkan sebagaimana diungkapkan penyair Acep Zamzam Noor, yakni seniman pun harus tanggap terhadap persoalan-persoalan lingkungan hidup. Sehingga, para seniman dapat bekerja sama dengan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan dan juga Pemerintah Daerah (Pemda). Isu-isu seputar lingkungan hidup pun bisa menjadi tema bagi seniman. Sebagai contoh, pemanasan global, lunturnya kearifan untuk memanfaatka kekayaan alam secara seimbang, meningkatnya polusi, hilangnya ruang hijau terbuka di perkotaan dsb.
               Memang sebenarrnya, tanpa dana dari pemerintah kegiatan kesenian tetap bisa jalan. Misalnya, sejumlah seniman daerah mampu berkesenian dengan biaya dari perusahaan swasta seperti yang berlangsung di Sumatra Barat dan Sulawesi. Namun, alangkah lebih indah dan ideal, jika keterlibatan pemerintah tidak dinafikan. Syukur-sykur pemerintah bisa mengalokasikan dana yang memadai bagi kesenian. Sehingga keluhan-keluhan beberapa seniman, tentang minimnya dukungan dana pemerintah untuk kegiatan kesenian tidak terdengar lagi. Semoga saja.

                                   Penulis, penikmat seni, selain menulis esai, juga puisi dan cerpen.