Oleh: Ari
Hidayat
Semasa Orde Baru (Orba), seorang
pemain sinetron terkenal sempat merasa kesal. Pasalnya, saat dia membuat Kartu
Tanda Penduduk (KTP), mencantumkan pemain sinetron sebagai pekerjaannya dalam Formulir
Permohonan Kartu Tanda Penduduk (FPKTP). Profesi itu, dipersoalkan petugas
pembuat KTP lantaran, pemain sinetron termasuk seniman bukanlah suatu profesi.
Akhirnya, pemain sinetron itu pun mencantumkan jenis pekerjaan lain dalam
formulir itu.
Ketika reformasi belum bergulir,
sebenarnya bukan hanya pemain sinteron, sejumlah seniman pun sempat mengalami
pengalaman serupa. Ini menunjukkan pekerjaan di bidang seni masih dipandang
sebelah mata oleh birokrasi saat itu. Kesenian masih dipandang sebagai
pekerjaan yang nonekonomis (tidak menguntungkan). Namun, di era reformasi ada
fenomena yang menggembirakan. Dalam daftar isian pekerjaan (profesi) di FPKTP
seperti di Kota Tasikmalaya ini terdapat pilihan profesi seniman. Bahkan, tak
tanggung-tanggung tersedia 88 jenis pekerjaan yang bisa dicantumkan dalam KTP,
termasuk profesi seniman.
Meskipun sastrawan Inggris, William
Shakespeare, pernah bilang what is a
name, the more important is a content (apalah arti sebuah nama, yang
penting isi), namun nama bagi saya penting juga. Dalam tradisi Islam,
memberikan nama kepada anak yang baru lahir dianjurkan dengan nama yang baik.
Dalam masyarakat Sunda ada tradisi ngabubur
bodas jeung beureum saat anak diberi nama. Pengakuan atas sebuah nama
termasuk kelompok profesi dan organisasi juga penting.
Mungkin tidak sedikit seniman yang
sependapat dengan Shakespeare, apalah arti nama seniman, jika ia tidak mampu
bekerja (berkarya) secara baik dan profesional. Yang penting, dia berkarya dan
berkarya. Syukur-syukur bisa menghasilkan karya seni yang mendunia. Dan yang
lebih penting, karyanya bisa memperluas cakrawala manusia dalam hidup dan
kehidupan. Karyanya dapat memperkaya rongga-rongga batin seseorang. Namun
demikian, pengakuan birokrasi terhadap profesi seniman, setidaknya akan
memperkukuh kepercayaan akan keberadaan profesi itu. Bukan untuk gagah-gagahan
atau riya (pamer).
Siapakah Seniman?
Sebenarnya siapakah seniman itu? Tentu
saja, dia adalah insan yang bekerja (berkarya) di bidang seni secara
berkesinambungan dan profesional. Ragamnya bisa seni sastra, rupa, tari, musik, dan drama. Sejatinya dia mengabdikan
sebagian besar waktunya untuk berkesenian. Dalam kenyataan kini, walaupun
birokrasi sudah mengakui seniman sebagai suatu profesi, tapi mereka kurang
mendukung aktivitas-aktivitas berkesenian. Alasan birokrasi bersifat klasik,
yakni minimnya dana untuk kegiatan itu. Memang di negara kita, sistem
pengayoman terhadap kepentingan seniman masih kurang.
Dengan demikian, seniman harus
berkompromi dengan keadaan agar harmoni hidupnya tetap terjaga. Seniman pun ada
yang terpaksa bekerja rangkap sebagai pedagang, guru, dosen, wartawan dsb. Ini
dilakukan karena karya seni terutama sastra belum bisa menopang kebutuhan hidup
sehari-hari. Seniman juga sama dengan orang lain, dia butuh dana untuk, bayar sewa
rumah, transportasi, biaya kesehatan, uang sekolah anaknya, dsb. Karya seni
masih dianggap kurang laku seperti pisang goreng, komputer, dan alat
telekomunikasi. Sehingga mereka memilih kerja rangkap. Padahal, karya seni
tidak kurang penting dari benda-benda fisik tadi. Sebab, karya seni memperkaya
batin kita. Dia pun bisa mengisi rongga-rongga jiwa kita, sehingga muncul kesadaran
baru, pencerahan, memperhalus budi, dan menggetarkan jiwa kita.
Seyogianya, bentuk pengakuan
pemerintah terhadap seniman seperti di atas, akan lebih mengintenskan perhatian
birokrasi kepada insan yang bekerja di bidang seni itu. Perhatian yang utama
menyangkut dukungan dana bagi kegiatan kesenian. Berkesenian adalah
berkebudayaan. Dan berkebudayaan menyangkut manusia. Karena menyangkut manusia,
seharusnya perhatian pemerintah pun lebih besar terhadap seniman. Sebaliknya,
kalangan seniman juga dituntut untuk lebih mengenali politik birokrasi,
khususnya tentang pencarian dana dari pemerintah. Janganlah terlalu apriori menganggap
pemerintah tak mampu mengurus kesenian.
Salah satu peluang yang
dapat dikembangkan sebagaimana diungkapkan penyair Acep Zamzam Noor, yakni
seniman pun harus tanggap terhadap persoalan-persoalan lingkungan hidup. Sehingga,
para seniman dapat bekerja sama dengan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan dan juga
Pemerintah Daerah (Pemda). Isu-isu seputar lingkungan hidup pun bisa menjadi
tema bagi seniman. Sebagai contoh, pemanasan global, lunturnya kearifan untuk
memanfaatka kekayaan alam secara seimbang, meningkatnya polusi, hilangnya ruang
hijau terbuka di perkotaan dsb.
Memang sebenarrnya, tanpa dana
dari pemerintah kegiatan kesenian tetap bisa jalan. Misalnya, sejumlah seniman
daerah mampu berkesenian dengan biaya dari perusahaan swasta seperti yang
berlangsung di Sumatra Barat dan Sulawesi .
Namun, alangkah lebih indah dan ideal, jika keterlibatan pemerintah tidak
dinafikan. Syukur-sykur pemerintah bisa mengalokasikan dana yang memadai bagi
kesenian. Sehingga keluhan-keluhan beberapa seniman, tentang minimnya dukungan
dana pemerintah untuk kegiatan kesenian tidak terdengar lagi. Semoga saja.
Penulis, penikmat
seni, selain menulis esai, juga puisi dan cerpen.