Entri yang Diunggulkan

Di Sebuah Ranah

Saya menamainya   ranah   atau wilayah dalam arti seluas-luasnya di mana kebenaran dipersoalkan. Kebenaran dari yang mempersoalkan adalah k...

Senin, 30 Juli 2012

Keunikan Kata


       Dan ada sejumlah kata-kata yang ternyata sempat membuat saya agak ragu untuk menuliskannya. Selain kata-kata serapan dari bahasa Arab yang nampaknya setiap media atau sejumlah media berbeda menyerap lantas menuliskannya juga begitu dengan sejumlah kata serapan bahasa asing lainnya. Ada media yang tetap berpedoman pada panduan  lama semisal shalat dituliskan shalat, mushala diserap jadi mushala, ramadhan tetap dituliskan ramadhan. Tapi, terdapat pula media massa yang menuliskan dengan shalat menjadi salat, musala, Ramadan (Lihat esai saya, Memaknai Pluralitas Bahasa Media yang juga diposting di blog saya ini).
         Untuk kata-kata seperti itu biasanya saya memutuskan  menulis menurut keyakinan saya saja. Dalam makna lain yang saya anggap “benar”. Sepertinya belum lama ini sejumlah praktisi media seperti yang saya baca di sebuah media online sempat mengadakan pertemuan dengan bahasan tentang berbeda-bedanya bahasa media  kita.
         Sedangkan kata serapan dari bahasa asing lainnya seamsal,  pemakaian kata profesionalisme dan profesionalitas yang bermakna mirip . Keduanya merupakan kata bentukan dari kata dasar profesi. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)  edisi ketiga, menyebutkan profesi berarti : bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan, keahlian ( keterampilan, kejuruan, dsb) tertentu. Profesional adalah kata sifat yang bisa berarti: 1 bersangkutan dengan profesi;  2 memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya, contohnya, ia seorang juru masak-- ; 3 mengharuskan pembayaran untuk melakukannya (lawan amatir) misalnya,  pertandingan tinju --
        Profesionalisme adalah kata benda yang bermakna: mutu, kualitas, dan tindak tanduk yang merupakan ciri suatu profesi atau orang yang profesional. Profesionalitas juga kata benda yang berarti: perihal profesi, keprofesian; kemampuan untuk bertindak secara profesional. Contohnya, -- perusahaan ini perlu ditingkatkan dalam waktu belakangan ini. Sebenarnya, profesionalisme dan profesionalitas mengandung pengertian yang sama, yakni kemampuan penyandang suatu profesi untuk bertindak profesional . Dalam  Kamus Indonesia-Inggris karya John M. Echols dan Hassan Sadily dituliskan, profesionalisme dalam bahasa Inggris adalah professionalism yang bermakna keprofesionalan (profesionalitas).
        Kalau artinya serupa kenapa mesti diberikan pengertian masing-masing yang sesungguhnya akan membingungkan dalam pemakaian kata-kata bentukan itu? Maksud saya kelirukah bila saya memakai kata profesionalitas untuk yang orang kerap pula menuliskannya profesionalisme? Dalam bahasa Inggris itu sendiri- seperti  Kamus Kata Serapan yang disusun Surawan Martinus- menyebutkan, profesionalisme itu berasal dari bahasa Inggris, professionalism (kata professional ditambah -ism sebagai pembentuk kata benda) yang dalam bahasa Indonesia menjadi -isme.
       Uniknya kata serapan semacam itu yang memakai pembentuk kata atau akhiran (suffix)  -isme itu biasa pula untuk membentuk kata benda yang berarti paham dan aliran-aliran. Paham di sini misalnya nasionalism menjadi nasionalisme (paham kebangsaan atau kecintaan kepada tanah air), sistem ekonomi kapitalisme (dari bahasa Inggris capitalism,  yang berarti sistem ekonomi yang menganut paham kapitalis atau memihak kepada kepentingan pemodal), liberalisme (dari liberalism yakni paham liberal atau kebebasan), dsb. Begitu pula untuk -ism dalam bahasa Inggris menjadi isme dalam bahasa Indonesia untuk membentuk kata yang bermakna aliran-aliran. Misalnya, aliran-aliran dalam sastra diantaranya ekspresionisme (dari bahasa Inggris, expressionism), realisme, idealisme, dsb.
       Bila kita telaah lebih jauh terkadang ada pula pola yang sejenis seperti munculnya istilah formalisme (bahasa Inggris, formalism) padahal ada bentuk formality yang diindonesiakan, formalitas. Pluralisme (bahasa Inggris, pluralism) sejatinya plurality yang diterjemahkan menjadi pluralitas atau kemajemukan. Sering pula istilah imperialism (bahasa Inggris) dipakai untuk pengertian imperialisasi (penjajahan). Dalam kalimat saya contohkan:
      “Tuntutan barat bahwa pluralisme dapat dilaksanakan secara universal dan bahwa kebebasan menyatakan pendapat merupakan hak asasi, ditolak sebagai tidak relevan dan bentuk terburuk dari imperialisme kebudayaan.”
        Pluralisme di sini bermakna kemajemukan (pluralitas) dan imperialisme maknanya penjajahan (imperialisasi). Kenapa tidak kedua istilah terakhir itu yang dipakai?
        Berikutnya saya tuliskan sebuah contoh kalimat:
       “Sudah saatnya perusahaan ini meningkatkan profesionalitas untuk menanggapi banyaknya pengaduan dan keluhan dari pelanggan.”
         Meningkatkan profesionalitas di sini tentunya sudah termasuk peningkatan mutu kalangan profesional di perusahaan  itu untuk bertindak secara lebih berkualitas sesuai keahlian mereka (bertindak profesional) . Dengan begitu, tidak perlu hingga membentuk kata bentukan profesionalisme segala hanya untuk menunjukkan kualitas tindak tanduk seseorang yang merupakan ciri suatu profesi orang yang profesional. Frasa meningkatkan profesionalitas juga sudah berarti profesionalisasi (proses menuju kualitas profesi tertentu menjadi lebih baik dan lebih memuaskan dalam pelayanannya). Sehingga,   tidak perlu repot-repot membuat definisi baru tentang profesionalisasi.
        Kita bandingkan dengan kata jurnalisme (bahasa Inggris, journalism) keadaannya sama saja.  Menurut KBBI, jurnalisme adalah pekerjaan mengumpulkan, menulis, mengedit, dan menerbitkan berita di surat kabar dsb; kewartawanan. Sedangkan jurnalistik yaitu menyangkut kewartawanan dan persuratkabaran.  Dalam kenyataannya kedua kata itu berarti sama. Asep Syamsul M. Romli dalam pengantar bukunya, Jurnalistik Praktis untuk Pemula (2006) mengatakan jurnalistik (kewartawanan) adalah aktivitas pencarian, penulisan, dan penyebarluasan informasi atau berita.
        Begitu pula  sepertinya tidak lazim bila istilah jurnalisme dipakai untuk mengganti katakanlah, sebuah program studi (jurusan) yakni jurnalistik di fakultas tertentu seperti Fakultas Ilmu Komunikasi dengan perkataan jurnalisme. Contoh dalam kalimat: 
       “Penulis artikel Media Massa Teknologi Baru di majalah kampus edisi terbaru adalah Fulan, mahasiswa Jurusan Jurnalisme, Fakultas Ilmu Komunikasi, Institut Indonesia Satu.”
       Tentu lebih cocok menyebutkan mahasiswa jurnalistik.
       Meskipun kini, istilah yang sering dipakai adalah yang pertama. Misalnya, pada era multimedia sekarang,  muncul media massa baru sebagai media alternatif seperti cyber journalism (jurnalisme internet) yang sebetulnya sama saja dengan jurnalistik internet. Begitu pula dengan istilah citizen journalism (jurnalisme/jurnalistik warga). Akhirnya, kenapa tak ada bentuk baku yang menunjukkan konsistensi dan berlaku  umum dalam pemakaian dan penyerapan sejumlah peristilahan itu? (Ari Hidayat

Sabtu, 28 Juli 2012

Goresan Saya


Selain hobi menulis, filateli, numismatik, saya pun suka menggambar. Berikut lagi ini sejumlah gambar saya bermedia ballpoint di atas kertas HVS.








Ketika Rindu Kembali Menyapa

 Ada malam-malam Minggu aku cuma menyusuri jalanan kotaku
 Berbekal ingatan juga dalam hati ini yang dipenuhi bayanganmu
 Kukhayalkan bertemu denganmu di suatu tempat, sekadar duduk
 di sebelahmu, mendengarkan kau bercerita. Atau buat browsing
 bersama, berduaan. Seperti juga ini malam. Tapi, temaram khayalku
 seketika padam dihembus angin yang mengabarkan kau yang entah
 di mana
                                                                                               2012

Jumat, 27 Juli 2012

Tentang Perayaan Itu

     Suatu waktu, depan gedung sebuah Sekolah Dasar (SD) saya berjalan kaki seorang diri. Saat itu hari menunjukkan Senin pagi, telinga saya diusik oleh sebuah lagu. Nyanyian yang bagi saya masih membekaskan kesan tertentu di benak. Ya, lagu kebangsaan Indonesia Raya. Rupanya murid-murid SD itu sedang berupacara bendera pada Senin. Itu diketahui setelah saya melongok lewat pagar besi gedung sekolah. Lain waktu, saat berjalan pula dekat gedung sebuah SMA swasta di Tasikmalaya, lamat-lamat saya mendengarkan murid-murid yang secara koor menyanyikan lagu-lagu perjuangan, Maju Tak Gentar, Bangun Pemuda-Pemudi. 
     Dari dua (2)  peristiwa itu saya seakan diingatkan, bahwa upacara-upacara seperti kenaikan bendera (upacara Senin) di sekolah-sekolah masih diadakan. Jujur, dulu mungkin sampai sekarang, saya kurang begitu menyukai acara-acara seremonial seperti itu. Pun ketika harus mengikuti  upacara-upacara perayaan hari-hari besar kebangsaan Indonesia, semacam Hari Proklamasi dll. Pasalnya, dalam pikiran "sederhana" saya, acara seperti itu cuma superfisial, tidak membekaskan nilai-nilai yang sesungguhnya dalam diri saya, yang bisa dijadikan pelajaran bahkan "bekal" buat hidup dan kehidupan saya. Ya, hanya pidato dan menyanyikan sejumlah lagu.
     Tapi, setelah puluhan tahun saya tidak pernah mengikuti acara-acara seremonial itu, di dua kejadian upacara yang tak sengaja saya saksikan diam-diam dan saya tuliskan di muka, kok bisa muncul perasaan haru juga dalam diri saya. Siswa-siswa berseragam SD bertopi yang berbaris di halaman sekolah, suara murid-murid SMA menyanyikan lagu-lagu perjuangan Indonesia itu, mengusik ingatan saya hingga tiba di rumah. Apakah selama ini sikap hati dan pikiran saya kurang tepat? Apakah justru upacara-upacara seperti itu, khususnya bagi murid-murid sekolah, meski terkesan seremonial justru perlu dan penting pula. Dalam pengertian buat pembelajaran secara bersama?
     Terus dan terus berhamburan pertanyaan dalam benak saya tentang kegiatan seperti itu. Saya iseng mencari makna di balik kegiatan seremonial itu. Apakah ada motif buat  menanamkan kedisiplinan, nasionalisme, patriotisme, dll dalam seremonial seperti itu? Dan pikiran saya "mengembara"  ketika mata ini  melihat kalender.  Tak lama lagi di Jum'at 17 Agustus nanti, kita memeringati hari Proklamasi RI. Tapi, ingatan saya dimentahkan juga dihentak oleh ungkapan seorang sahabat, yakni upacara-upacara seperti itu di kita sudah lama terasa hambar. Saya tak bisa memungkirinya, sebab merasakan rasa yang serupa. Hingga ada tersiar kabar di media online sejumlah waktu lalu, bahwa buat menanamkan nasionalisme itu, pakar telematika UGM Yogya, Roy Suryo mengusulkan agar TV-TV kita sering menyiarkan lagu-lagu kebangsaan dan perjuangan.
     Apakah kita perlu kembali buat memeriahkan dalam makna seluas-luasnya hari-hari besar kebangsaan kita? Bukankah kebanyakan pada hari-hari seperti itu, ada arti buat mengenang pahlawan di sebaliknya? Tengoklah, Hari Kartini, 21 April, Hari Pahlawan 10 November. Bahkan mungkin  buat Hari Proklamasi, Hari Guru, Hari Pendidikan Nasional dll. Bukankah pula bangsa yang besar ialah bangsa yang tidak melupakan jasa-jasa para pahlawannya?
    Saya sedikit bergembira media massa baik konvensional maupun online masih suka juga mengingat tentang itu. Minimal, selalu ada esai-esai aktual dan tulisan-tulisan terselip yang muncul tentang peristiwa  yang seakan terjadwal/teragendakan itu, di samping tentu iklan-iklan ucapan selamat. Pun, ada aktivitas literasi (menulis) yang diselenggakan institusi-institusi itu, semisal perlombaan menulis berkaitan dengan hari-hari besar nasional itu, seperti yang pernah terposting di media-media sosial, maupun media online lainnya (Ari Hidayat) . 

Belajar dari Sejarah



        Tak kurang dari  Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sejumlah tahun lalu sempat berkata, jangan permainkan sejarah. Pernyataan Pak SBY patut kita garis bawahi, mengingat sejarahlah yang menjadi saksi “abadi” perjalanan hidup seseorang termasuk sebuah bangsa dan negara. Bagaimana jika sejarah dipermainkan atau dipalsukan? Tentu akan merugikan semua kalangan. Generasi pendahulu dan mendatang akan rugi terhadap kondisi yang demikian.
        Benarkah sejarah terkadang palsu? Tergantung seberapa besar pemahaman kita dan keyakinan kita akan keotentikan (keaslian) suatu sejarah. Tergantung pula pada sejauh mana para sejarawan mampu menjelaskan dan membuktikan keotentikan sejarah.
        Selain kesaksian berikut cerita para pelaku sejarah (kalau masih ada/hidup),  guru sejarah pun memegang peranan cukup penting buat menanamkan nilai-nilai positif sejarah kepada peserta didik. Menurut seorang ahli sejarah dari Universitas Padjajaran Bandung, Prof Dr Nina Lubis, sejarah di Rusia sangat ditentukan oleh para guru. Maukah kita belajar dari sejarah, baik sejarah kelam maupun sejarah kedigjayaan bangsa kita? Tentunya, akan lebih baik bila kita semua mau belajar dari sejarah, agar kekeliruan kita tidak terulang lagi di masa mendatang.
       Banyak hikmah yang bisa kita petik dengan belajar dari sejarah. Inilah yang bisa dijadikan bekal bagi hidup kita sekarang dan di masa mendatang. Sehingga tak kurang dari pujangga Thomas Carlyle sempat berujar, “Pelajarilah sejarah agar kita tidak tergelincir di masa mendatang.” Begitu pula mantan Presiden RI, Ir Soekarno mengingatkan kita, akan pentingnya sejarah. Yakni, ketika beliau dimintai pertanggung jawaban oleh  Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), Bung Karno membawakan pidato berjudul Jasmerah (Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah) (Ari Hidayat) ***  

Pemilu dalam Kemasan Media Massa


Oleh: Ari Hidayat
(Sebuah esai lama saya yg belum sempat dipublikasikan)

           Dinamika Pemilihan Umum (Pemilu) anggota DPR, DPD, dan DPRD 2009 mulai semarak. Di daerah-daerah termasuk di Kota dan Kabupaten Tasikmalaya, sejumlah figur menawarkan diri lewat media publik (media massa) lokal. Mereka tampil sebagai daftar calon sementara (DCS) anggota legislatif  kota atau kabupaten. Dalam konteks pemilu, politik di kita nampaknya masih menonjolkan citra, sedangkan kredibilitas, track record (pengalaman, jejak rekam), dan kemampuan menempati nomor urut berikutnya. Politik citra lebih dekat dengan popularitas figur. Untuk mewujudkan ini perlu iklan dalam media massa baik cetak maupun elektronik.
           Menurut praktisi media massa, Jacob Oetama (2005), media massa adalah organis, maka ia juga hidup, punya peranan, punya tujuan, memiliki pandangan hidup, sikap, dan orientasi nilai. Setiap peristiwa termasuk kejadian politik tak luput dari keterlibatan media massa yang juga kerap disebut pers itu. Media massa pun turut menaruh perhatian dan meliput peristiwa politik seperti pesta demokrasi (pemilu). Jadi, dalam pemilu pun media massa punya peran signifikan (berarti).
           Dalam kerjanya media massa bekerja berlandaskan peraturan perundangan tentang pers, kaidah jurnalisme, kode etik, dan kebijakan redaksi. Selain keempat elemen ini, Jacob Oetama menambahkan unsur lain yakni, kredibilitas (kepercayaan)  berita, dan media massa harus memenuhi unsur dapat dipercaya. Dapat dipercaya adalah syarat dan kondisi lain yang membuat media massa baik cetak (surat kabar, majalah, tabloid, dan buletin kantor berita) dan elektronik (televisi, radio, film) maupun media massa baru yakni cyber-journalism / jurnalisme internet) dapat dibaca dan dinikmati orang dan akhirnya berkembang.
            Dalam alam pascareformasi seperti sekarang media massa sudah mendapatkan kebebasan pers sebagai prasyarat utama untuk menjalankan tugas-tugas jurnalismenya. Kebebasan pers sangat diperlukan untuk mendukung kehidupan demokrasi kita. Satu dan  dua peristiwa sempat muncul untuk “menggoyang” kebebasan pers di kita. Pertengahan tahun lalu (Juli 2007) cukup ramai berita tentang bredel terhadap pers akan diberlakukan lagi. Namun, Menteri Komunikasi dan Informatika ketika itu, M Nuh segera membantahnya.                       
             Menurutnya, pemerintah tak berniat membredel pers. Namun, pers dalam mengemas informasi dan menyiarkannya kepada khalayak harus memenuhi 3 unsur. Ketiga unsur itu adalah informasi yang memiliki nilai edukasi (pendidikan), memberdayakan masyarakat, dan memiliki pesan moral dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
             Bredel terhadap pers sebenarnya bertentangan  dengan UU No. 40/1999 tentang Pers. Pasal 4 ayat (2) UU itu menyebutkan, “Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran.” Selain itu, pembredelan juga tidak sejalan dengan kebebasan pers (dalam UU tentang Pers disebut kemerdekaan pers) yang dijamin oleh UUD ’45 dan UU No. 40/1999. Berita terakhir yang muncul tentang adanya kesan mempersoalkan kebebasan pers di Indonesia adalah adanya sejumlah pasal dalam UU No. 10/2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, DPRD (PR, 22 September 2008, h. 27).
              Pasal 98 butir (1) UU itu menyebutkan, “Dewan Pers dan Komisi Penyiaran melakukan pengawasan atas pemberitaan dan iklan kampanye pemilu yang dilakukan oleh lembaga penyiaran atau oleh media massa cetak”. Begitu pula butir (2) UU itu menyebutkan, “Dalam hal terdapat bukti pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93, Pasal 94, Pasal 95 Komisi Penyiaran Indonesia atau Dewan Pers menjatuhkan sanksi sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
              Pasal ini bertentangan dengan UU tentang Pers. Menurut anggota Dewan Pers, Wikrama Iryans Abidin, tugas Dewan Pers adalah sebagai mediator antara pers dan pihak yang merasa dirugikan. Jadi, kata dibalas dengan kata (hak jawab), bukan dengan penjara. Sedangkan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) bertugas menilai tayangan-tayangan media elektronik. Apalagi, izin penerbitan sekarang sudah tidak berlaku lagi. Sehingga, pasal-pasal itu seyogianya direvisi dan seandainya belum sempat, ia tidak bisa diterapkan karena mengancam kebebasan pers yang dijamin UU No. 40/1999 tentang Pers. Selain UU tentang Pemilu itu, UU yang mengancam kebebasan pers adalah UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan UU No. 12/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
            Bagaimanapun kriminalisai terhadap pers tidak boleh terjadi. Meskipun, hasil uji materiil UU No 40/1999 ,  menyatakan keberadaan undang-undang tentang pers itu masih belum bisa dikatakan sebagai hukum khusus (lex specialis) dari hukum pidana di negara kita. Karena itu, jika menginginkan UU No. 40/1999 tentang Pers itu menjadi hukum khusus, beberapa ketentuan perdata dan pidana yang masih sumir (lemah) dalam UU Pers itu harus direvisi. Apalagi ada penjelasan yang menyatakan bahwa semua UU yang telah ada yang menyangkut pers masih tetap berlaku.
        Bagaimanapun media massa berperan penting dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Media massa berfungsi menyampaikan informasi, edukasi, hiburan, dan kontrol sosial. Fungsi yang terakhir ini (kontrol sosial) berbentuk kritik.  Di Indonesia, seyogianya disampaikan secara tepat dan benar (di jalur yang benar) serta menawarkan solusi. Akhirnya, kita pun tak perlu alergi dengan kebebasan pers karena ia lahir sesuai fitrah media massa dan sejalan dengan semangat demokrasi serta dijamin perundang-undangan yang berlaku.***

Rabu, 25 Juli 2012

Metode Baru Komunikasi Politik



Komunikasi politik kini tidak hanya dilakukan lewat cara-cara konvensional seperti pertemuan langsung atau politisi berbicara kepada media massa (pers) dan pers menyampaikan kepada publik, tapi juga menggunakan cara-cara baru baik lewat saluran media massa konvensional (pers cetak dan elektronik) maupun media berbasis teknologi  internet (lewat blog dan laman/situs/website). Sering saat pesta demokrasi sebagai bagian dari aktivitas politik para kandidat menggunakan bentuk baru komunikasi politik untuk promosi diri, sosialiasasi program, dan kampanye.
            Dalam perspektif politik, komunikasi (politik) berperan sangat strategis. Sebab, kegiatan itu sebagai media untuk menyampaikan pesan-pesan politik terutama program-program kepada khalayak. Karena politik lebih banyak bersentuhan dengan massa (publik), maka  komunikasi politik biasanya menggunakan paradigma komunikasi massa. Komunikasi massa (Schram, 1971) dalam Wuryanto diartikan sebagai jenis komunikasi yang menggunakan media massa untuk pesan-pesan yang disampaikannya. Terdiri atas bagaian-bagian  narasumber (komunikator), media, penerima pesan (komunikan, audience). Massa berpengertian orang banyak, tapi mereka tidak harus berada di satu tempat tertentu yang sama. Mereka dapat tersebar di berbagai lokasi yang pada waktu yang sama atau hampir bersamaan dapat memeroleh pesan-pesan komunikasi yang sama. Massa di sini meliputi semua lapisan masyarakat dalam tingkat umur, pendidikan, keyakinan, dan sosial tertentu. Tentunya yang terjangkau media massa.
           Elemen-elemen komunikasi massa adalah unsur-unsur (sources), pesan (message), saluran (channel), dan penerima (receiver), serta efek (effect). Selanjutnya, Harorld D Lasswell memormulasikannya menjadi, who says what in which channel to whom and with what effect? Sedangkan karakteristik pesan-pesan komunikasi massa yakni, publicly (bersifat terbuka untuk umum/publik), rapid ( dirancang untuk mencapai audiens luas dalam tempo singkat dan simultan serta dibuat secara massal), dan transient (pesan-pesan komunikasi massa umumnya dibuat untuk kebutuhan segera , dikonsumsi “sekali pakai”, dan bukan untuk tujuan yang permanen).
         Komunikasi massa dalam konteks politik sekarang nampaknya mengalami transformasi mendasar seiring kemajuan teknologi komunikasi dan informasi. Pemanfaatan produk-produk teknologi komunikasi informasi itu, seperti telepon seluler (ponsel) dan internet menjadi efektif. Kita bisa melihat saat pemilihan umum (pemilu) sampai pemilu kepala daerah (pemilukada) ada calon yang meminta dukungan via pesan singkat (SMS). Juga untuk promosi, sosialiasi, dan berkampanye lewat ponsel. Sedangkan efektivitas dan efisiensi saat pesta demokrasi dilihat dari penggunaan blog dan laman (website/situs) di internet.  Kabarnya kemenangan Presiden Amerika Serikat (AS),  Barack Obama pun salah satunya karena adanya kampanye lewat internet. Di kita pun ada pula pejabat publik dan anggota dewan yang memenfaatkan internet buat komunikasi politik mereka.
        Di luar metode komunikasi politik via internet, di kita juga (dalam media cetak, khususnya surat kabar) ada fenomena kepala daerah yang berinteraktif dengan rakyat  dalam bentuk tanya jawab - biasanya via SMS. Keadaan ini sangat bagus karena menyangkut akuntabilitas pemerintahan dan sebagai upaya pemerintah guna  menjaring informasi dari rakyat dengan setumpuk persoalan mereka. Meski lewat surat kabar, nampaknya ada kedekatan emosional antara komunikator (pejabat pemerintahan) dan audiens (rakyat). Bahkan kita bisa membaca komunikasi seperti itu terkesan bebas dengan pertanyaan-pertanyaan (kritikan) yang bisa memerahkan kuping pejabat bersangkutan.
          Pemerintah daerah (Pemda) termasuk instansi-instansi, dan lembaga-lembaganya banyak pula yang membuat website sampai membikin akun situs jejaring sosial Facebook segala. Tak hanya di kita di luar negeri pun, Presiden Iran Ahmadinejad dulu punya blog. Dalam tampilan weblog yang mulai aktif 13 Agustus 2006 itu kita bisa berkirim salam dengan sang presiden melalui shoutbox situs beralamat www.ahmadinejad.ir. Blog ini berpilihan bahasa Inggris, Perancis, dan Arab ini juga mencantumkan online polling. Polling pertama berisi mengapa AS dan Israel menyerang Lebanon ( Ari Hidayat,  sempat bergiat di Forum Diskusi Wartawan Politik (FDWP), Jakarta, 1994-1997 )

Selasa, 24 Juli 2012

Meningkatkan Fungsi Sosial dan Ekonomi Masjid


Oleh : Ari Hidayat

     Selama bulan Ramadhan, masjid menjadi ramai. Setiap hari ada saja kegiatan di tempat ibadah umat muslim itu. Mulai dari  salat tarawih, kuliah subuh, tadarus dan aktivitas lainnya. Semua ini, menyangkut kegiatan ritual keagamaan. Sayangnya bila kita cermati, baik di bulan suci maupun hari-hari lainnya,  orang baru meramaikan masjid dari sisi ritual keagamaan (aspek religius). Padahal masjid memiliki fungsi yang banyak termasuk sosial dan ekonomi, sesuai suri tauladan Rasulullah SAW.
         Rasulullah Muhammad menjadikan masjid sebagai tempat sentral dakwah termasuk untuk kepentingan sosial dan ekonomi. Beliau benar-benar memakmurkan masjid. Bahkan ketika hijrah dari Makkah ke Madinah tempat yang pertama dibangun Nabi adalah masjid. Ironinya, kini  kedua aspek ini kurang diperhatikan. Bahkan masjid terkesan  sepi seperti kuburan, Jauh dari keramaian syiar Islam. Oleh karena itu, fungsi sosial dan ekonomi masjid perlu ditingkatkan. Sehingga keberadaan masjid bisa dirasakan manfaatnya terutama bagi warga sekitar.
          Upaya ini terutama harus dijalankan terutama oleh personil Dewan Keluarga Masjid (DKM). Hampir setiap masjid sudah memiliki DKM. Lembaga ini harus proaktif, kreatif dan inovatif dalam upaya memakmurkan masjid.  Saat ini. Idealnya DKM harus diisi oleh orang-orang profesional yang sedikit mengerti tentang manajemen (pengelolaan) masjid. Menyangkut fungsi sosial masjid secara sederhana dapat dicontohkan antara lain masjid turut berperan dalam meningkatkan kualitas SDM umat terutama warga sekitar masjid. Selain itu, masjid berperan dalam kegiatan-kegiatan sosial dan memajukan pendidikan agama Islam. Sedangkan, menyangkut fungsi ekonomi antara lain masjid turut berperan aktif mengatasi persoalan-persoalan ekonomi umat. Bahkan, kalau bisa mampu memecahkannya. Masjid menjadi solusi bagi masalah-masalah ekonomi umat.
         Selain itu, karena di masjid pun ada BAZ (Badan Amil Zakat), pengurusnya perlu menyosialisasikan peran lembaga ini kepada masyarakat. BAZ tidak hanya bekerja setahun sekali waktu mengumpulkan zakat fitrah saja. Tetapi untuk kepentingan zakat-zakat lainnya, shodaqah dan infak. Secara persuasif pengurus DKM termasuk BAZ masjid dapat mengajak umat khususnya warga sekitar untuk gemar menunaikan zakat, berinfak dan bershodaqah.
            Untuk transparansi dan akuntabilitas masjid pengurus masjid harus mengumumkan keuangan masjid kepada umat. Terutama, saat-saat tertentu yang strategis seperti, sebelum khotbah shalat Jum'at. Di samping, itu, pengurus masjid harus jeli melihat potensi-potensi ekonomi warga. Dan , aktif menjalin kerjasama dengan lembaga-lembaga ekonomi  serta pelaku-pelaku ekonomi baik pengusaha kecil, menengah bahkan kalau bisa dengan pengusaha besar. Jelaskan pada mereka bahwa masjid tidak hanya sebagai tempat solat dan  tausyiah (ceramah) keagamaan, tapi juga memiliki fungsi ekonomi dan sosial. Syukur-syukur mereka mau menjadi donatur tetap bagi masjid.
            Kenyataan lain yang lebih dirasakan ironis oleh umat Islam sendiri terkadang pada masjid-masjid tertentu saat ada jamaah mau shalat di masjid pintu masjid terkunci. Karena, itu di masjid harusnya memiliki petugas kebersihan (marbot?) dan muadzin serta imam-imam tetap. Sebaiknya bila keuangan memungkinkan bagi mereka diberikan imbalan yang selayaknya. Ini, sejalan dengan yang terjadi di kota suci Makkah al-Mukarramah. Konon, di sana muadzin dan imam masjid digaji. Bahkan, gajinya pun sangat menggiurkan setara dengan pejabat.
         Semoga, saat ini masih ada orang yang peduli dengan  kondisi dan realita tempat ibadah yang memprihatinkan dan terkesan ironis itu. Bikankah salah satu orang yang dicintai Allah SWT adalah muslim yang dekat dengan masjid. Wallahu a’lam bishawab.

Sabtu, 21 Juli 2012

Pemimpin yang Adil


         Belasan abad yang lampau, pada masa kejayaan Islam di Spanyol, di pintu gerbang masuk Universitas Andalusia, tertulis kata-kata mutiara yaitu: sebuah negara yang baik ditunjang oleh 4 aspek. Keempat aspek itu adalah keadilan para pemimpin, kebijaksanaan kaum cendekiawan, keperkasaan orang-orang yang berani dan doa orang-orang jujur.
        Keadilan para pemimpin ditulis di muka, sebab pemimpin adalah faktor yang paling dominan dalam menentukan kebijakan sebuah negara. Apalagi, pemimpin yang adil selalu didambakan oleh setiap rakyat. Bukankah Allah SWT sendiri sangat mencintai pemimpin yang adil. Bahkan,  Alquran antara lain menggambarkan keadilan itu seperti dalam QS: 16: 90. Sayangnya, pemimpin acapkali mudah berkata, bahwa dirinya sudah memimpin dengan adil. Namun demikian, adilnya belum bisa dirasakan oleh rakyatnya.
        Dengan kata lain, orang lebih mudah mengatakan keadilan ketimbang melaksanakannya. Memang agak sulit untuk mendeskripsikan bagaimanakah pemimpin yang adil itu? Hanya rakyat sendiri yang bisa merasakan tentang keadilan para pemimpinnya. Sementara itu, sudah tidak terhitung orang yang menjadi korban dari pemimpin yang tidak adil. Termasuk di Tanah Air kita sendiri. Tidak sedikit pula orang yang harus kehilangan nyawanya saat memperjuangkan keadilan. Mereka mati menjadi martir (syuhada).
       Banyak pemikir  mengakui agak sulit untuk mendefinisikan keadilan. Aristoteles mencoba merumuskan keadilan sebagai kelayakan dalam tindakan manusia. Kelayakan diartikan sebagai titik tengah diantara kedua ujung ekstrem yang terlalu banyak atau sedikit. Kedua ujung itu,  menyangkut dua orang atau benda. Penulis mencoba mendefinisikan keadilan adalah keadaan di mana rakyat sebagai objek kebijakan pemimpin sudah menerima bagiannya sesuai dengan porsi (takaran) yang harus mereka terima. Pengertian ini, untuk membedakan dengan paham komunis yakni sama rata, sama rasa.  Selain itu, keadilan pun merupakan harmonisasi antara menuntut hak dan melaksanakan kewajiban.
       Dalam konteks mutakhir di Kota Tasik yang sudah sukses menyelenggarakan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung ini, kita berharap pemimpin yang terpilih itu adalah seorang pemimpin yang adil. Adil pada bangsa dan negaranya, adil pada rakyat Tasik, adil pada lingkungan alam, adil pada keluarganya. Pemimpin seperti inilah yang kita butuhkan saat ini. Selamat datang walikota dan wakil walikota Kota Tasik 2012 – 2017. Selamat bertugas semoga bisa menjadi pemimpin yang adil sehingga tidak hanya dicintai oleh rakyatnya, tapi juga oleh Allah SWT ( Ari Hidayat )

 

Rabu, 18 Juli 2012

Kedermawanan dalam Kemasan Freetainment

Sebuah tulisan esai lawas saya,



               Berawal dari istilah infotainment (informasi hiburan dalam kemasan televisi) berkembang jargon-jargon baru,  seperti edutainment (pendidikan yang dikemas secara hiburan), dakwahtainment, zikirtainment,  dan freetainment (acara-acara gratisan yang dikelola secara hiburan). Televisi-televisi (TV) swasta kita, menyajikan program freetainment yang sebetulnya menghibur pemirsa (meski ada fungsi edukatifnya). Katakanlah seperti “Bedah Rumah” dan program lainnya misalnya host yang memberikan sejumlah uang kepada masyarakat tertentu (miskin) dan dikemas dalam sebuah acara TV yang menarik.
               Memang sepertinya kelompok masyarakat kurang mampu (miskin), menjadi suatu komoditas yang menjanjikan bagi industri hiburan. Bahkan masyarakat miskin menjadi isu populis yang strategis diangkat dalam peristiwa-peristiwa politik seperti pemilihan umum pusat dan daerah. Menonton program seperti itu, pemirsa menjadi terhibur, ternyata di tengah situasi kini yang penuh politik, trik, agresivitas, ekonomis, kurang prorakyat miskin, bahkan kelicikan masih ada orang yang dermawan (membantu warga miskin). Meski itu sebuah tontonan, tapi program itu (bukan fiksi seperti film dan sinetron atau tak ada unsur rekayasa) sehingga diklasifikasikan atau dinamakan reality show.
              Freetainment tepatnya diistilahkan bagi media massa cetak yang mengolah informasi program gratisan  dalam kemasan yang menghibur. Sesungguhnya acara-acara –tainment (berasal dari kata entertainment yang bermakna hiburan) tidak hanya disajikan TV dan media elektronik lain, tapi juga cetak. Bukankah media cetak seperti koran, tabloid, dan majalah pun tidak sedikit yang menampilkan info seputar dunia hiburan baik yang menyangkut artis lengkap dengan topik-topik yang relevan dengan jagat itu. Hanya saja gebyar hiburan yang ditampilkan media cetak tidak se-wah tampilan layar kaca. Dan nuansa hiburan yang disajikan media cetak bila dicermati secara mendalam tak kalah menarik dengan tayangan TV. 
            Sejalan dengan edutainment, dakwahtainment, zikirtainment, maka freetainment pun dikemas sebagai program hiburan. Sebuah acara untuk menghibur sejenak- bagi warga miskin boleh jadi sangat bermakna- dari kesulitan hidup kelompok marjinal itu. Freetainment tidak hanya menjadi sasaran pengelola TV (swasta), tapi juga pejabat, pengusaha, orang-orang kaya, orang ternama, dan kandidat untuk jabatan politik tertentu. Seperti di kota kita ini, sejak tahun lalu diadakan program makan gratis (Radar Tasikmalaya, 19/10 tahun-tahun lalu) . Walaupun tidak secara eksplisit ditujukan buat masyarakat miskin, mana ada dari kalangan menengah dan atas mengikuti acara seperti itu. Maksudnya sampai rela berdesak-desakan, berebutan semangkuk dua mangkuk, sepiring dua piring atau sekotak makanan.
              Makan gratis atau apa pun namanya yang dilangsungkan untuk sebuah pesta maupun maksud lain dan diwarnai dengan acara-acara hiburan lainnya, sudah menjelma menjadi freetainment yang terlihat unsur hiburannya ketimbang lainnya. Suatu hiburan yang edukatif dan cukup bermakna (bagi masyarakat miskin). Ada kegembiraan ( kalau boleh dibilang kebahagiaan) bersama antara penyelenggara program dan masyarakat yang masih merindukan dan membutuhkan sesuatu yang gratis-gratisan itu. Sebuah program yang demi kepentingan edukasi sejatinya dilakukan temporer atau  tidak terus-menerus Selanjutnya, karena makan gratis seperti itu terjadi di daerah, tentu gaungnya sebagai freetainment pun berjangkauan lokal dan menjadi konsumsi media cetak dan elektronik lokal.
              Acara freetainment seperti itu, bila ditelisik lebih jauh ternyata membawa berkah tersendiri tidak hanya bagi yang menikmati aneka makanan gratis itu, tapi juga  pedagang atau wirausahawan yang dipesan untuk menyediakan makanan di acara itu (kabarnya penyelenggara memanfaatkan pedagang di sekitar Alun-alun Kota Tasikmalaya). Berkah pun tentu secara tidak langsung diharapkan melimpah  kepada “para dermawan” itu. Apalagi di saat para ekonom masih sibuk merumuskan perangkat  ekonomi Indonesia yang tepat untuk mengentaskan kemiskinan, para pengusaha yang abai terhadap kaum papa,  masih ada orang-orang yang “memandang hina” kemiskinan, pejabat yang tak hirau terhadap rakyat miskinnya, “kedermawan” seperti itu lumayan ampuh melupakan sejenak dari kesumpekan hidup kaum dhuafa.
                Banyak teori dikemukakan pakar untuk mengentaskan 31 juta rakyat Indonesia yang miskin, sistem ekonomi mutakhir kita yang dipertanyakan (diragukan), dan kepedulian sosial kita (personal maupun institusional) digugat, dan sekali lagi ternyata “sosialita” menjadi obat ampuh agar sedikit hak-hak kaum dhuafa itu terpenuhi. Sejarah telah mencatat, rasul setingkat Muhammad Saw sendiri terkenal sebagai insan paling mencintai orang miskin bahkan kepada peminta-minta (sehingga terkenal dengan sifat dermawannya). Sekadar contoh, dalam sebuah riwayat dikisahkan, saat Rasulullah Saw melihat Bilal ra menyimpan makanan, seketika beliau bersabda kepada Bilal, “Hai, Bilal, sedekahkanlah…jangan sekali-kali kamu takut bahwa Zat yang bersemayam di arsy akan melakukan pengurangan.” (HR. Thabrani). Lebih jauh Nabi Saw pun bersabda, “Harta tidak akan berkurang dengan disedekahkan.” (HR. Muslim). Allahu a’lam (Ari Hidayat)     

Minggu, 15 Juli 2012

Gambar-gambar karya Ari Hidayat


Sejumlah gambar karya saya dengan media pensil 2B di atas kertas HVS, pulpen/ballpoint di atas HVS juga, 




Jumat, 13 Juli 2012

Korupsi Moral?


       Setelah reformasi, kita menjadi lebih akrab dengan kata yang satu ini, korupsi. Ketika reformasi bergulir, mahasiswa dan elemen masyarakat lainnya gencar menyuarakan anti-KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Setelah itu, negeri kita pun menggalakkan upaya-upaya memberantas korupsi. Sehingga, nyaris tiap hari media massa kita memberitakan soal perbuatan yang melanggar hukum itu. Ada pejabat yang kesandung kebijakannya yang korup dan berakhir di balik terali besi. Begitu pula dengan mantan-mantan pejabat publik. Yang lebih memprihatinkan, sebuah media asing menyiarkan suatu laporan yang menyatakan bahwa Indonesia masih sebagai negara terkorup di Asia.
        Korupsi memang lebih gencar diberitakan ketimbang kolusi (kongkalikong, praktik suap, sogok-menyogok) atau pun nepotisme (menempatkan anggota keluarga, kerabat, dan kenalan seorang pejabat untuk duduk di suatu jabatan tanpa mekanisme dan prosedur yang benar/langsung tunjuk). Gencarnya pemberitaan ini, lantaran korupsi lebih kentara nilai materi (uang) yang disalahgunakan koruptor. Bahkan nilainya bisa mencapai miliaran rupiah segala. Sejatinya, setelah dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan bermunculannya lembaga swadaya mesyarakat (LSM) pemantau pemerintah, seperti Indonesian Corruption Watch (ICW) dan terungkapnya kasus-kasus korupsi membuat aparatur negara lebih berhati-hati menjalankan tugasnya dan menghindari praktik korupsi. Namun demikian, korupsi masih tetap saja marak. Sehingga ada orang yang mengatakan korupsi di kita sudah menjadi suatu kebudayaan. Benarkah?
         Kita selama ini lebih mengenal korupsi dari segi penyalahgunaan (kalau tidak mau disebut sebagai pencurian) uang negara yang notabene adalah uang rakyat pula. Padahal, kalau kita telisik lebih jauh korupsi pun tidak hanya menyangkut materi tapi juga moral. Korupsi moral lebih menyangkut moralitas seseorang (individu) dan juga kolektif. Ia bisa berhubungan dengan kebijakan yang menyimpang (tidak prorakyat), pemborosan waktu, kebijakan yang terkesan akal-akalan, pelayanan birokrasi yang diskriminatif, seorang aparatur negara yang tidak sungguh-sungguh menjalankan tugasnya bahkan membolos (mangkir), dsb.
        Penyalahgunaan ini terkesan sebagai pelanggaran yang ringan, sebab tidak ada yang secara langsung negara dirugikan dari segi keuangannya. Tapi, tetap saja itu sebagai tindakan yang korup. Sebuah korupsi moral. Ini sungguh ironis ketika dulu bahkan sekarang kita mendengungkan-dengungkan moralitas sebagai identitas negeri yang patut dibangga-banggakan. Pada kenyataannya mana? Lebih banyak pejabat publik, termasuk aparatur pemerintah, anggota dewan bahkan aparat penegak hukum yang tersangkut kasus-kasus korupsi dan kolusi.
        Lantas di manakah ciri-ciri keindonesiaan yang menjunjung tinggi moral ketimuran yang patuh taat kepada hukum, sopan-santun, kekeluargaan, menghargai adat-istiadatnya termasuk nilai-nilai lokal, gotong royong, sistem keamanan lingkungan (Siskamling) berbentuk ronda bersama, musyawarah,  kesederhanaan, dan toleransi? Nampaknya identitas kita seperti itu sudah menghilang, tinggal kenangan. Yang ada dan seringkali muncul adalah fenomena individualisme, ekonomi kapitalistik yang meniscayaan satu-satu-satunya jalan ekonomi kita adalah uang dengan hukum untung-rugi meteri semata. Bukankah kita menganut sistem ekonomi keadilan dan kesejahteraan? Di mana letak keadilannya apalagi kesejahteraannya, apalagi kebijakan pemerintah kebanyakan terkesan korporatis dan malahan menambah jumlah rakyat yang tidak sejahtera (miskin)?
       Lantas di manakah letak peran anggota dewan jika ia kerjaannya (maaf) hanya bermasturbasi politik. Apalagi sejak reformasi digulirkan digembar-gemborkan tentang pentingnya gerakan moral sebab, krisis sebelumnya ditengarai berpangkal kepada krisis moral. Moral secara umum menyangkut sikap dan tindakan seseorang baik yang menyangkut kehidupan pribadinya maupun berhubungan dengan orang lain. Sehingga tak berlebihan bila kata ini disandingkan dengan yang lainnya, seperti gerakan moral. Pers sebagai kekuatan keempat dalam trias politika (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) disebut-sebut sebagai watchdog (penjaga moral) masyarakatnya.  Sedangkan mahasiswa sebagai calon kaum intelektual (cendekiawan) kerap dikatakan mempunyai kekuatan moral (moral force).
         Seorang anggota legislatif pusat yang akan maju lagi dalam pemilihan 2009 lalu, di sebuah televisi swasta mengatakan terang-terangan bahwa modal untuk menjadi anggota dewan hanya dua yakni uang dan mental. Benarkah cuma itu? Tidak bergunakah pengalaman organisasi, kemampuan lobi, kapabilitas politik, dan tentunya moralitas seorang calon anggota dewan? Pada akhrirnya moral tidak cukup hanya diperbincangkan (sebagai wacana) ia perlu perwujudan. Sebagaimana teori memerlukan pembuktian, gagasan, konsep, dan ide membutuhkan pengujian sekaligus pembuktian, maka moral bersentuhan dengan sikap dan perilaku individu bersinggungan dengan kehidupan kita sehari-hari baik sebagai makhluk individu maupun sosial. Karena itu, solusinya adalah pembelajaran agar kehidupan moralitas kita lebih baik dari hari ke hari (Ari Hidayat).

Selasa, 10 Juli 2012

Utopia Kebebasan Pers




Oleh: Ari Hidayat



             Kebebasan pers atau istilah dalam UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers disebut kemerdekaan pers sangat dibutuhkan dalam era informasi dan transparansi kini. Pers atau media massa cetak, elektronik, online dan segala turunannya yang bebas itu diperlukan pula guna mendukung kehidupan yang lebih demokratis. Bahkan Pasal 28 E dan F Amandemen UUD 1945 menjamin seseorang untuk menyampaikan informasi. Meski dijelaskan selanjutnya tentang itu diatur kembali dalam undang-undang lain. Kebebasan seseorang menyatakan pendapat di media massa  menghasilkan UU tentang Pers tadi.
              Ya,  yang namanya kebebasan sejatinyat etap  saja kebebasan. Tentang “batas-batasnya” seperti adanya  peraturan perundangan, kode etik, kaidah jurnalistik, dsb sebetulnya sudah inheren melekat pada diri pers. Jelas saja, kalau ditelisik lebih mendalam mana ada di dunia ini yang namanya kebebasan. Kebebasan mutlak (yang sebebas-bebasnya) akan merusak makna kebebasan  itu sendiri dan menafikan kebebasan lainnya. Begitu pula setelah reformasi dan pascareformasi dengan dihapusnya sistem lisensi pers, media massa memeroleh kemerdekaannya. Pers pun bermunculan seperti cendawan di musim hujan. Apalagi di era multimedia kini, orang begitu mudah mencari, mengolah, dan menyiarkan informasi (news) dan opini (view).
                Sehingga wajarlah bila dibentuk pula UU Keterbukaan Informasi Publik  sekira dua tahun lalu. Konsekuensinya seyogianya pemerintah pusat dan daerah membentuk komisi informasi. UU ini untuk merespon tuntutan akan adanya transparansi informasi khususnya yang menyangkut kebijakan publik. Sedangkan komisi informasi itu berperan sebagai mediator antara pemerintah dan publik jika terjadi perselisihan yang menyangkut informasi kebijakan publik. Walaupun seakan dijamin oleh peraturan perundangan tentang kebebasan pers itu termasuk kebebasan masyarakat (publik) buat memeroleh informasi, tapi sebetulnya itu hanyalah utopia (impian atau khayalan belaka).
                 Betapa tidak,  dalam realitanya terkadang pers pun tak luput dari gugatan publik dan penguasa menyangkut pemberitaan tertentu. Masih belum lekang dalam ingatan kita persengketaan majalah Tempo dan Polri soal pemberitaan kepemilikan rekening tak wajar sejumlah perwira Polri. Kasus ini berakhir dengan jalan damai setelah dimediasi Dewan Pers. Belum lama ini, Ketua Umum Partai Golkar, Aburizal Bakrie diberitakan akan melaporkan sejumlah media ke polisi dan Dewan Pers menyangkut pemberitaan Ical, sapaan akrab Aburizal bertemu dengan tersangka mafia pajak Gayus H Tambunan di Denpasar, Bali  (Yahoonews, 24 November 2010).  Alangkah baiknya bila perselisihan  itu  diselesaian lewat jalur yang tepat sesuai peratuan perundangan pers yang berlaku sebelum dibawa ke kepolisian yang mungkin bermuara di pengadilan.
                  Dilemanya adalah Undang-undang tentang Pers itu sendiri belum bisa disebutkan sebagai hukum khusus (lex specialis) dari hukum pidana di negara kita. Undang –undang yang disahkan pada 1999 lalu itu menyatakan, peraturan perundangan tentang pers sebelumnya masih berlaku. Belum lagi bila sengketa pers dengan publik dan penguasa sampai ke pengadilan maka pers biasanya tidak berdaya menghadapi pasal-pasal Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Berawal dari kata-kata, ada yang berakhir di penjara. Padahal sejatinya kata dibalas dengan kata bukan dengan pidana kurungan badan.
                       Bukankah UU tentang Pers pun mengamanatkan hak jawab yang dapat digunakan seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya (Pasal 1 ayat 11). Dan  hak koreksi yakni hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun orang lain (Ayat 1 pasal 12). Serta kewajiban koreksi yaitu keharusan melakukan koreksi atau ralat terhadap suatu informasi, data, fakta, opini, atau gambar yang tidak benar yang telah diberitakan oleh pers yang bersangkutan. Begitu pula ada lembaga mediasi seperti Dewan Pers (pers cetak) dan Komisi Penyiaran (media elektronik) untuk kasus-kasus media massa.
                       Berkaca pada kasus-kasus sengketa media seyogianya   insan pers, narasumber  berita termasuk penguasa dan publik lebih mengedepankan prasangka baik dan kedewasaan sikap dalam menyikapi media. Secara garis besar (dari segi tatakelola) dapatlah dikatakan media itu ada yang profesional dan nonprofesional. Tanpa bermaksud mendikotomikan apalagi menafikan media yang terakhir, bagaimanapun profesionalitas, kompetensi, kredibiitas, termasuk akuntabilitas media menjadi prasyarat utama apakah entitas media itu dapat diperhitungkan secara profesional atau tidak.
                       Namun, tentunya “panggilan jiwa” atau spirit setiap  insan pers dilihat dari paradigma psikologi media pada dasarnya sama. Yakni, sikap yang umumnya dimiliki praktisi pers yang dalam tugas jurnalistiknya mengabdi untuk mencari kebenaran demi kepentingan masyarakat umum. Insan pers yang baik bekerja bukan untuk kepentingan perusahaan tempat ia bekerja (walau dia terikat kebijakan redaksi), bukan pula demi kepentingan dirinya, individu, kelompok, organisasi, bahkan negara dan bangsa sekalipun. Dalam menjalankan tugasnya itu tidak jarang sama juga dengan orang lain insan pers pun terkadang melakukan kekhilafan dan kelalaian. Termasuk mungkin yang bisa berbuah delik (aduan) dari publik dan penguasa.
                       Perlu dikesampingkan kecurigaan-kecurigaan terhadap insan pers (media) semacam jurnalis yang terkesan “bermain” politik praktis, membawa pesan-pesan tertentu, dll. Adalah terlalu naif jika ada jurnalis (profesional)  sampai mengemas informasi dan menyiarkan berita tidak faktual (berita bohong, fitnah, memutar balikkan fakta). Ritme kerja yang cepat (ada tenggat waktu/deadline) ditambah sekarang dengan suasana persaingan lebih ketat di antara media itu sendiri tidak menutup kemungkinan pers pun melakukan kelalaian. Tapi, media yang kredibel tidak akan mungkin jurnalisnya melakukan kekeliruan fatal seperti itu. 
                      Dalam kasus perselisihan pers dan publik seperti itu, alangkah bijaknya bila ditempuh upaya-upaya seperti di atas dulu seamsal menggunakan hak jawab, hak koreksi, melaporkan ke Dewan Pers sebelum ke polisi. Muara kasus sampai di persidangan pidana, nampaknya tidak mungkin untuk dinegasikan mengingat pers itu sendiri bukanlah sebuah lembaga superbody, untouchable, dan kebal hukum. Mengingat tiadalah dikenal kebebasan itu yang sepertinya adalah sebuah utopia, namun layaknya bila disebutkan, media sejatinya diberi ruang yang seluas-luasnya untuk memroduksi informasi dan pandangan  atau opini (view) dengan fondasi insan pers yang profesional, kredibel, kapabel, dan akuntabel. Semoga.***
                   Penulis, praktisi jurnalistik, tinggal di Kota Tasikmalaya, Jawa Barat

Kamis, 05 Juli 2012


                             Pemburu Kenangan

            Saat senja turun, kabar yang dibawa angin pun
            tentang itu-itu saja. Ingin kudengar cerita lain,
            tapi kata-katamu serupa satu wajah waktu itu saja
            kupungut sejumput kata lain dan ternyata ia
            berjalan ke depan                 
                                                                             
                                                                               2011




                                   Kepada Kawan

            Cukup sudah kau eja masa lalumu beserta sekalian
            daun-daun pahit kehidupan yang kau kunyah,
            boleh jadi obat buatmu. Dan jalan-jalan berbatu
            beserta kabut menghadang yang boleh jadi kau retas
            dan dedah tanpa kau sadari.  Tak perlu kau mabuk
            dalam sesal lalu.  Kau punya mampu, berbuatlah
            sesuatu
                                                                                 2011
                



                          Ketika Dia Datang Lagi
             Seorang bapak hendak memetik sekuntum bintang
             dari tangkainya dan menghadiahkannya buat ulang
             tahun anaknya yang masih mungil
             ia mengambil busur beserta anak  panahnya dan
             menungggang kuda ke hutan berburu bintang
             lima tahun kemudian ia baru pulang. Di rumahnya
             disambut setangkai janur kuning dan di pelaminan
             Istrinya berdampingan dengan seorang lelaki
                                                                                   2011



                         Ketika Banjir Itu Datang
               Ketika kau datang seperti banjir ke ruangku
               merah nyala  hatiku ingin menepismu
               tapi di luap airmu kulihat ranting-ranting,
               daun-daun segar seperti yang tumbuh di
               halaman rumahku
               kutanggalkan buku kebijaksanaan yang kubaca,
               sebab sepertinya kebijakan hanyalah mencoba
               memahami kedatangan derasmu sambil memberi
               jalan alir genangmu dengan tangan berkeringat juga
               kerna memilah mana yang perlu dan tidak
                                                                                     2011





                         Sebuah Pertanyaan
                   Ketika kubisikkan cinta padanya
                   dan berbuah pertanyaan apa yang
                   bisa kuberikan untuknya, seketika
                   saku beserta isinya yang ada di
                   celanaku menghilang entah
                                                            2011 
                       


                                  Sajak Sayang
                   Keluarkan semua isi hatimu, mimpi,
                   juga keinginanmu , sayang.  Akan aku
                   dengarkan.  Ya, cuma itu punyaku,
                   sayang
                                                                   2011
                         

    
                             Pernikahan Penyair
                 Selamat menulisi hari baru dengan puisi
            

                                                                  2011     
             



                                      Ketika Musim Meledak
                   Ada kata meledakkan cuaca, lewat busur para penyair
                   beribu kata melesat di langit maya menembus
       ke angkasa. Musim pecah menjadi hujanan kata
       Memenuhi    semesta pun ruang  ini
       Taman seperti kunang-kunang di lengkung penglihatan 
                             
                                                                           2011   
 





Minggu, 01 Juli 2012

Mimbar


Mimbar

Oleh: Ari Hidayat
                                                                                                             

              Entah sejak kapan dan sudah berapa lama lelaki itu tinggal di pondok sebuah bukit di Kampung Sukasunyi, Desa Sukasepi. Warga kampung mengetahuinya saat suatu hari Sudi tak sengaja melewati tempat itu . Yang jelas tadinya tak ada gubuk atau pondok di tanah bukit yang tak terlalu tinggi itu. Orang-orang kampung hanya ingat, tanah itu tadinya milik Abah Karta yang kabarnya dijual ke orang kota. Itu saja. Sudi memergoki lelaki penghuni pondok sederhana itu lagi duduk sendiri di dekat pintu. Yang mengherankannya ketika Sudi menyapanya, lelaki itu hanya membalas denga senyuman lantas bergegas masuk ke pondoknya.
              Bukannya Sudi tersinggung, hanya sudah jadi kebiasaan warga kampung bila berkenalan dengan orang baru apalagi yang masuk ke daerahnya,  lebih dari sekadar  saling bertukar senyum. Sebuah perkenalan yang akrab, bersahabat, dan terbuka. Tapi, lelaki itu “aneh”.
              “Ah lelaki itu mungkin lagi ada perlu , hingga ia buru-buru masuk ke dalam,” benak Sudi.
                Ia pun tak mengacuhkannya dan melintas di dekat pagar bambu yang tak jauh dari pondok lelaki itu. Sekilas Sudi melihat pondok itu sederhana terbuat dari kayu beratapkan sirap dan berdiri di bawah pohon rambutan.
             Sepulang mencari kayu bakar, Sudi melewati pondok itu, namun lelaki itu tak dilihatnya lagi. Mungkin dia lagi di dalam. Atau ada keperluan keluar. Sudi melangkahkan kaki seraya memanggul kayu bakar di pundaknya. Kakinya dengan lincah menuruni tangga-tangga bukit yang disangga bebatuan itu. Ia menuju rumahnya. Kedatangannya disambut dengan wangi ikan asin bakar. Ya, sekarang lagi zaman sulit. Tadinya Sumi, istri Sudi memasak dengan kompor minyak tanah. Sekarang minyak harganya membengkak hingga tak terjangkau orang kecil seperti dirinya. Terpaksa keluarganya  mamakai kayu bakar untuk memasak.
             “Kang nasinya sudah matang, Nih ikan asinnya mau diangkat. Akang cuci tangan dulu lantas makan, ya,” seru Sumi.
               Rupanya ia tahu suaminya sudah datang dari suara jejak-jejak kaki melangkah dan suara ikatan kayu bakar yang setengah dijatuhkan dari panggulan  Sudi di pojok luar dekat dapur.
               “Iya, iya, Nyi. Aku cuci tangan dulu di pancuran. Gimana sambel dan lalapnya udah siap?” sahut Sudi.
                Tak terdengar jawaban istrinya di telinga Sudi, rupanya ia lagi sibuk mempersiapkan makan pada siang itu. Apalagi sebentar lagi anak semata wayangnya pulang dari sekolah SD.

***

              Ini hari keempat setelah Sudi melihat lelaki penghuni pondok. Dengan cepat kabar lelaki itu menyebar ke seantero kampung. Ia menjadi bintang pembicaraan warga kampung. Sebelumnya Sudi sempat mendengar lelaki itu terkadang suka juga terlihat di pasar kecamatan. Yang mengherankannya, kenapa berita itu begitu cepat tersiar? Seingat  Sudi, dia baru menceritakan tentang lelaki itu kepada istrinya. Mungkin ada juga warga kampung lain yang melihat lelaki itu. Sehingga terjadilah kabar getok tular, dari mulut ke mulut yang cepat menyebar. Maklum warga kampung kalau ada sesuatu yang di luar kebiasaan mereka bisa menjadi bahan perbincangan.
              Hari berbilang hari, sudah hampir dua pekan, lelaki itu tetap menutup diri. Dia tetap menjadi bahan percakapan warga kampung. Mulai obrolan santai di rumah, di sela-sela kesibukan di sawah dan ladang, juga  gardu ronda.  Sumi pernah cerita ke suaminya bahwa, Sodik pemuda kampung yang terbilang berani sempat pula menyambangi pondok lelaki itu. Namun kebetulan lelaki itu tak ada di pondokannya. Sodik hanya disambut pintu depan pondok yang terkunci gembok. Ia pun gagal untuk bertemu dengan lelaki itu.
             Kini warga nyaris melupakan lelaki penyendiri yang tak pernah bergaul dengan warga kampung itu. Apalagi sebenarnya kenapa warga mesti terusik, toh dia tak pernah membikin masalah dengan mereka. Hanya cara dia hidup yang menyepi bahkan memutuskan hubungan dengan warga kampung yang membuat mereka penasaran. Sudah menjadi tradisi di kampung Sukasunyi, kalau ada warga baru, ya, dia mengadakan sekadar perkenalan dengan selamatan mengundang tetangga terdekat. Seandainya tidak pun,  sebagaimana warga negara yang taat aturan, seharusnya lapor dulu ke RT dan RW. Di sinilah letak keheranan warga. Lelaki itu tetap dengan kesendiriannya.
             Perbincangan tentang lelaki itu sedikit terlupakan, ketika warga disibukkan dengan musibah yang menimpa mereka. Berawal dari anak Samta yang badannya panas-panas dan tak kunjung reda. Bahkan setelah disuntik Pak Mantri pun badan anak itu masih saja demam. Setelah anak Samta, kini ibunya pun terjangkit penyakit yang sama tubuhnya panas dingin. Ibu dan anak itu kini tergolek lemas di kasur. Yang membuat panik warga dengan cepat penyakit yang sama menyebar. Kini sudah terhitung 6 warga terserang penyakit panas-panas di badan mereka. Tak sempat dibawa ke Puskesmas kecamatan yang jaraknya cukup jauh anak  Kang Samta terburu menghembuskan napas yang terakhir.
             Keluarga Samta pun dirundung duka. Entah berawal dari apa, di sela-sela mengurus jenazah anak Samta terjadi obrolan yang cukup hangat tentang wabah yang menyerang warga. Berbagai spekulasi penyebab musibah itu pun bermunculan. Tak terkecuali yang tidak masuk akal, yakni mengerah ke tuduhan santet segala. Dan tuduhan ini pun langsung tertuju ke lelaki penyepi itu. Saat pulang dari pekuburan, obrolan itu kian ramai saja dan sudah mengkristal ke tuduhan sebagai biang keladi kesusahan warga itu adalah si lelaki penyepi.
             “Coba, Kang Samta pikirkan. Masa dalam waktu kurang seminggu banyak warga berjatuhan sakit dengan gejala yang sama. Dan makan korban lagi. Jelas ini karena lelaki sombong dan aneh itu. Saya yakin dia punya maksud jahat dengan menyendiri seperti itu,” kata seorang warga kepada Samta.
              ” Iya, kalau bukan dukun santet, mungkin dia buronan atau mungkin teroris yang sempunyi di kampung kita, karena takut ketahuan aparat. Yang jelas pasti orang itu tidak baik,” tambah yang lain.
               Samta hanya manggut-manggut sekenanya, tapi hatinya belum sepenuhnya menerima perkataan-perkataan itu.
                  “Tapi, kita jangan keburu menuduh dulu. Mungkin ini memang penyakit biasa. Itu tuh, kan ada penyakit yang suka menular,” timpal Abah Wira.
                 Meski begitu nampaknya sebagian warga terpengaruh oleh omongan tentang dukun santet itu. Sebagian di antara mereka ada yang tidak bisa menyembunyikan kekesalannya lagi kepada lelaki penghuni pondok itu. Mereka mengumpat-ngumpat lelaki itu sebagai penyebab wabah yang menimpa warga kampung.
***
                 Gelap masih memeluk bumi.  Waktu shalat subuh baru saja usai.  Orang-orang yang bersembahyang di langgar sudah pulang. Beberapa warga tampak beriringan dengan hati yang sama, menaruh prasangka dan dendam dalam dada. Di antara mereka ada yang memegang obor, balok kayu, bahkan golok segala. Mereka melangkah menuju lereng bukit tempat pondok lelaki asing itu berada. Dalam pikiran dan hati mereka membuncah tuduhan bahwa lelaki itulah sebagai penyebab penyakit yang menimpa sebagian warga kampung, bahkan sampai merenggut nyawa di antara yang sakit itu.
                 Langkah mereka sudah mendekati pondok. Tanpa permisi mereka langsung melabrak pagar bambu dan menerobos dengan cara mendobrak pintu masuk. Salah seorang di antara mereka mendahului berteriak,
                ”Keluar hai lelaki pembawa sial. Kalau tidak akan kubakar pondok ini,” teriak orang itu.
                Yang lainnya seperti terbakar ikut-ikutan menyemprotkan kata-kata senada.
              . “Keluar lelaki sialan. Keluar,”,“ teriak mereka  seraya masuk ke dalam pondok.
                  Tapi, di dalam senyap.
                Lewat penerangan seadanya dari obor yang dibawa mereka,  tak terlihat ada orang di sana.  Pondok itu hanya satu ruangan,  di pojok kanan terdapat dipan sederhana.                                  
                 Dan di atas dipan hanya terhampar sajadah. Mereka pun kaget ketika kaki-kaki mereka rupannya menginjak sajadah pula. Ya, pondok itu dipenuhi sajadah di atas lantai tanah yang ditutupi tikar berjejer rapi sajadah. Begitu pula di atas dipan. Sajadah dan sajadah. Sejenak mereka saling pandang. Tapi kemarahan sudah memuncak, mereka menjambak sajadah-sajadah itu dan melemparnya keluar pondok. Pondok itu pun diobrak-abrik lantas dibakar. Api dengan cepat menelan bagian-bagian pondok yang terbuat dari kayu dan bambu itu. Kini yang ada tinggal arang hitam dan abu, sisa-sisa yang terbakar.
               Mentari muncul mengganti gelap jadi terang. Waktu bergulir seperti biasa. Warga lelaki bersiap-siap menuju masjid untuk shalat Jum’at. Sebagian sudah tampak di masjid duduk bersila. Ada yang berdoa, wiridan, dan membaca Alquran. Adzan berkumandang. Beberapa saat kemudian khatib pun naik ke mimbar, Dan yang berdiri di mimbar adalah lelaki penyepi yang ganjil itu. ***   



Ari Hidayat kelahiran Tasikmalaya, 27 April 1969. Alumnus Kimia FPMIPA , UPI Bandung (1993) dan Program Pendidikan Wartawan Profesional, LP3Y, Yogya, (1994). Pernah bekerja sebagai wartawan di sejumlah media terbitan ibukota dan daerah. Kini sebagai penulis lepas dan menulis esai yang dipublikasikan di media seperti Republika, Pikiran Rakyat, Kabar Priangan, Radar Tasikmalaya, dan majalah DKI, Jakarta. Menulis juga sajak dan cerpen. Sajak-sajak dan cerpennya dipublikasikan media l seperti Kabar Priangan (Grup Pikiran Rakyat), Radar Tasikmalaya (Grup Jawa Pos) dan media online. Buku antologi puisinya yang telah terbit, “Rumah Bernomor Nol” (Hasfa Arias,  2011) dan kumpulan esaii  “Rampai Media Massa” (Hasfa Arias, 2011). Kini ,menetap di kota kelahirannya dan bergiat di Sanggar Sastra Tasik (SST).