Pujangga Inggris,William
Shakespeare berkata, apa arti sebuah nama yang lebih penting adalah isi.
Perkataan pengarang antara lain drama klasik Romeo dan Juliet itu ada benarnya. Sebagus, sepopular, dan sebesar
apapun nama seseorang kalau ”isi”-nya
tidak baik, tak bermakna, dan tak bermanfaat tentu tidak akan ada artinya.
Jadi, isi memang lebih berharga ketimbang nama. Dari isi, baik berupa karya,
kerja maupun amalan lain seseorang yang berkualitas tentunya akan berdampak pada
pengenalan terhadap orang itu. Dalam ranah tertentu seperti tulis-menulis, tidak
jarang orang lebih mengenal dan akrab dengan karya atau tulisan seseorang
ketimbang penulisnya.
Di ranah leterasi seperti puisi
dan penulisan kreatif ada yang menarik untuk dicermati. Penyair peraih South East Asia
(SEA) Write Award, Acep Zamzam Noor dalam blognya, menyebutkan puisi
yang baik adalah yang menggetarkan pembacanya. Tak peduli apakah itu puisi
cinta atu protes, puisi panjang atu pendek. Ketergetaran itu tentunya relatif.
Ia bisa tergetar oleh nama penyair yang puitis atau aneh. Dia pun menganggap
penting sebuah nama. Karena itu, Acep Zamzam Noor kerap mengusulkan nama
(calon) penyair yang biasa-biasa saja supaya diganti saja. Sedangkan dalam
jagat perbukuan, tak jarang pula penerbit yang menyarankan menggunakan nama
pena kepada penulis yang naskahnya akan diterbitkan.
Dalam budaya kita, pemberian nama kepada anak yang baru lahir
oleh orangtuanya, memiliki makna tersendiri. Orangtua biasanya memberikan nama
kepada bayinya dengan nama sebagus mungkin. Dari nama itulah orangtua berharap
anak mereka dalam amal perbuatannya kelak sesuai dengan nama yang dimilikinya.
Tidak sedikit orangtua menamai anaknya dengan nama tokoh-tokoh yang ada di dunia
ini. Dalam tradisi Sunda kita mengenal ada kebiasaan ngabubur bodas bubur beureum (membuat bubur putih dan merah) saat pemberian nama kepada bayi.
Makanan ini dibagi-bagikannya kepada tetangga dan sanak famili semacam
pemberitahuan bahwa bayi itu telah bernama.
Nama merupakan identitas agar
sebentuk makhluk (hidup maupun benda mati) dapat dikenal, diketahui, dan
diidentifikasi. Ada
orang yang mati-matian menjaga nama baiknya (reputasi) agar dia tetap bisa
menjaga hubungan profesional dalam bidangnya. Ada pula nama orang besar yang sekejap
terasosiasi tidak baik karena perilakunya yang menyimpang, melanggar hukum, dan
etika atau norma-norma tertentu. Tidak sedikit pula dalam profesi-profesi
tertentu yang berhubungan dengan publik,
ketenaran menjadi impian orang yang berkecimpung di dalamnya. Kalau
popularitas itu diperoleh dengan cara yang baik dan benar, apalagi dia bisa
menjaga reputasinya secara konsisten,
tentunya publik pun akan meresponsnya dengan baik pula. Jika sebaliknya,
nama yang terkenal didapatkan dengan segala cara atau keterkenalan hanya karena
setelah dia membuat sensasi tertentu maupun karena perilakunya yang tidak baik,
tentunya khalayak pun akan mencibirkannya.
Popularitas yang berkelindan
dengan nama sekarang ini sudah menjadi tren tersendiri dalam tata budaya massa
kita. Mulai untuk menjadi selebritas sampai bakal calon dalam pemilukada, kepopuleran
menjadi komoditas yang menjanjikan. Dari sini nampaknya pernyataan Shakespeare
itu menjadi ambigu. Nama telah mengalahkan isi. Yang penting nama dikenal
dahulu, tak peduli tentang rekam jejak, kiprah, dan pengalaman untuk menduduki
posisi itu. Padahal seperti kata seorang penyair Arab, tidak semua orang
terkenal besar, dan tidak semua orang besar terkenal. Ambisi seseorang untuk
popular sebatas tidak menimbulkan arogansi, pamer, narsis, dan
membangga-banggakan diri tentunya sah-sah saja.
Di lain pihak, bagi orang tertentu
popularitas ternyata bisa menjadi sesuatu yang menakutkan dan tidak sesuai dengan
kepribadiaannya. Nama yang terkenal berkonsekuensi dengan ‘ketidakbebasan”,
interaksi sosial, dan tuntutan mekanisme kerja tertentu (protokoler) yang
berbeda dengan orang biasa. Contohnya, penulis tetralogi Laskar Pelangi, Andrea Hirata mengungkapkan bahwa setelah dia
menulis novel itu hingga difilmkan, dirinya menjadi terkenal. Namun,
popularitas dengan segala konsekuensinya ini, tidak sesuai dengan karakternya.
Akhirnya, Andrea mengumumkan kepada publik untuk pamit dari jagat kepenulisan.Tapi,
ini tidak lama sebab Andrea belum lama ini muncul kembali dengan novel-novel
terbarunya, dwilogi Padang Bulan dan Cinta di Dalam Gelas. Andrea malahan
tadinya menginginkan dirinya seperti sastrawan Ahmad Tohari dimana publik lebih
kenal dan dekat dengan karya-karyanya ketimbang penulisnya.
Dalam dunia tulis-menulis ada
fenomena menarik menyangkut nama. Tak jarang orang (pembaca) hanya mengetahui
nama penulis seperti yang tertera dalam bukunya atau nama popularnya, padahal
penulis itu menggunakan nama pena (samaran). Misalnya, orang akan lebih
mengenal nama tokoh gerakan puisi Mbeling,
Remy Sylado ketimbang nama aslinya,
Yapi Panda Abdiel Tambayong, begitu pula novelis Pipiet Senja sesungguhnya
bernama asli Etty Hadiwati Arief, dan novelis Nurhayati Srihandini yang lebih
populer dengan nama Nh Dini. Begitu pula di Barat orang lebih mengenal George
Orwell sebagai pengarang novel Animal
Farm, ketimbang nama aslinya, Eric Arthur Blair.
Pada era multimedia kini dengan
internet sebagai sarana utamanya, kita menjumpai dalam fasilitasnya seperti
blog, dan Facebook para penggunanya banyak yang memakai nama samara (akun
anonym). Tentunya mereka menyamarkan identitas asli bukan untuk tujuan tak
baik, sebatas menjaga ruang privat bahkan mungkin hanya iseng. Apalagi internet
adalah dunia maya yang berbeda dengan interaksi sosial secara tradisional .
Blogger dan Facebooker mengetahui itu, sehingga untuk urusan-urusan yang lebih
serius mungkin mereka lebih suka berkomunikasi dan berinteraksi secara lain
yang lebih cocok. Bagaimanapun, kultur komunikasi baru ini, baik yang main-main
ataupun yang serius, baik yang memakai nama samaran maupun nama asli, tentu mengasyikkan dan banyak manfaatnya.
Sayangnya, tentang nama itu, orang
yang bermotivasi buruk banyak yang memanfaatkannya untuk tujuan-tujuan berbau
kriminal. Sehingga kita mengenal istilah pencatutan nama yang berbau fitnah
untuk kepentingan negatif baik menjatuhkan nama baik seseorang atau pun
institusi. Tidak sedikit nama pejabat, institusi, dan perusahaan yang dicatut
oleh orang tak bertanggung jawab untuk kepentingan yang biasanya ujung-ujungnya
penipuan seperti pengumuman pemenang undian tertentu dan permintaan uang “jasa”
pelicin untuk menyelesaikan suatu kasus. Dari kasus-kasus seperti ini tentunya
kita perlu hati-hati dan bagi yang tercatut namanya seyogianya mengklarifikasinya.
Seperti dunia ini yang fana, khususnya bagi nama orang dan institusi, dalam
keadaan dan periode tertentu ternyata tidak bersifat langgeng. Untuk urusan
penggantian nama seseorang (karena alasan tertentu) sebelum dibuatkan akta
kelahirannya tidak memerlukan proses administratif. Penggantian nama itu
sah-sah saja termasuk untuk lembaga baik pemerintah maupun swasta. Biasanya
untuk lembaga swasta seperti perusahaan penggantian nama terjadi kalau ada
pengalihan kepemilikan modal, persoalan internal, dan untuk mengembangkan atau
meningkatkan kinerja perusahaan. Sedangkan untuk institusi pemerintah perubahan
nama adalah karena penggantian lembaga dengan yang baru meskipun sejenis,
menghilangkan kesan kurang baik masa lalu,
perubahan struktural institusi, dan
untuk meningkatkan profesionalitas aparaturnya (Ari Hidayat)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar