Oleh: Ari Hidayat
Beri aku 10 pemuda, akan aku guncang dunia.
(Soekarno)
Begitulah Proklamator RI, Bung
Karno pernah berkata, seperti yang ditulis Rahmad Riyadi. Nampaknya Bung Karno
mau mengungkapkan kekuatan kaum muda. Tak perlu seratus, seribu, sejuta, dengan
“hanya” sepuluh pemuda, mantan presiden
pertama RI itu akan (mampu) mengguncang dunia. Ini bukan pernyataan hiperbola
(berlebihan) apalagi mengada-ada. Pemuda dari segi usia, dia memiliki kekuatan
fisik, kepadanya harapan bangsa kita sandarkan. Sehingga orang sering berkata,
pemuda adalah harapan bangsa. Pemuda pun mempunyai semangat dan keberanian
sehingga suara rakyat pun sering diberikan
kepadanya. Dari segi sikap dan pola pikir pemuda memiliki sikap
independen (mandiri) dan berpikir logis kritis.
Ada banyak ahli yang mengklasifikasikan
manusia dari segi umur. Ibnul Jauzi
(1995) menggolongkan insan menjadi: masa kanak-kanak (sejak dilahirkan-15
tahun), masa muda (usia 15-35 tahun), masa dewasa (35-50 tahun), masa tua
(50-70 tahun), dan masa lanjut usia (70-akhir hayat seseorang). Jadi, menurut
Ibnul Jauzi yang termasuk pemuda adalah mereka yang berusia antara 15 tahun
hingga 35 tahun. Sedangkan pemerintah Indonesia membatasi pemuda adalah
mereka yang berusia 18 tahun-35 tahun.
Menurut takaran biologi usia muda mengalami
puncak pertumbuhan sel-sel dalam tubuhnya, berdasarakan ukuran psikologi ia tak
termasuk remaja (teenager) lagi, dari
takaran hukum ia sudah termasuk rechtpersoon.
Dalam hukum Islam, baik laki-laki maupun perempuan yang berusia 15 tahun
dikatakan sudah aqil baligh (terikat hukum sara), meskipun ada perkecualian
yakni di bawah umur itu pun sudah baligh bila sudah bermimpi basah dan
perempuannya telah haid.
Di belahan negeri mana pun,
pemuda menjadi tulang punggung bangsa untuk kemajuan di masa mendatang. Kerena
itu, tak berlebihan bila perubahan suatu bangsa menuju kehidupan yang lebih
baik, tak terlepas dari peran kaum muda. Secara historis, kaum muda Indonesia
seperti, Soekarno, Hatta, dan Sjahrir
(tanpa mengenyampingkan peran pemuda yang lain) merupakan representasi kaum muda ketika itu
yang berjuang untuk kemerdekaan bangsanya dari cengkraman penjajah. Bagaimana
dengan pemuda saat ini? Apakah karakteristik seperti semangat, keberanian, independensi,
dan “ideologi perjuangan” termasuk daya juang yang tercermin pada kaum muda
pendahulunya masih ada?
Tidak sedikit kalangan yang
memandang skeptis (meragukan) karakteristik pemuda kini terutama tentang
lunturnya “ideologi perjuangan” dan spirit juang kaum muda. Kandidat doktor
ilmu komunikasi, Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung, Iding R Hasan dalam
sebuah tulisannya (2008) menilai bahwa kaum muda kini mengalami atau memiliki
problem kultural. Masalah-masalah kultural itu adalah dalam cara berpikir,
bertutur, berperilaku, gaya
hidup (life style), dsb. Di alam
globalisasi yang kerap diplesetkan orang jadi gombalisasi sekarang, pemuda kini digoda oleh pilihan hidup yang
hedonistis (mementingkan kesenangan duniawi)-materialistik (mementingkan kepuasan
benda/materi).
Gaya hidup hedonistis-materialistis sebagai
buah dari globalisasi itu, ternyata tidak hanya menyentuh kaum muda perkotaan,
tapi juga di desa. Media massa,
terutama televisi lewat tayangan-tayangannya termasuk iklannya sangat
memengaruhi pemuda desa. Sehingga, sikap dan pola pikir pemuda desa pun tak
jauh beda dengan kaum muda perkotaan. Selain mengalami godaan hidup hedonistis-materialistis,
kaum muda kita kini pun banyak yang terjebak dalam sikap pragmatis. Paham
pragmatisme, biasanya berorientasi pada tujuan politik sesaat atau jangka
pendek, sehingga akan memudarkan sikap independensi dan kekritisan, sebagai dua
hal yang merupakan karakteristik pemuda.
Realitas yang lebih mengkhawatirkan
yakni adanya kaum muda yang mengalami
dislokasi posisi. Terhadap kenyataan ini Menteri Negara Pemuda dan Olahraga ketika itu,
Adyaksa Dault, ketika berkunjung ke
Universitas Siliwangi (Unsil), Tasikmalaya sejumlah tahun lalu mengingatkan kita untuk tidak
terjebak dan larut dalam pergeseran posisi itu. Dislokasi posisi kaum muda akan
membuat ia kehilangan arah tujuan, akibat kegagalan sistematika, kegagalan
struktural dan kegagalan objektif.
Selain itu, alienasi kaum muda
menjadi fenomena yang menggugah hati kita. Menurut psikiater dari Universitas
Yale, AS, Kenneth Keniston dan seorang ahli dari bagian kesehatan remaja
Universitas Washington, AS, James A
Farrow seperti dikutip Dr Kartono Mohamad, kaum muda yang teralienasi
(terasingkan) adalah anak muda yang terpisah dari nilai-nili sosial dan
keluarga. Anak muda yang tidak menemukan tempatnya dalam masyarakat yang
berubah. Reaksi mereka dapat berupa pembangkangan, pelanggaran aturan hukum dan
sosial, pelarian ke kecanduan narkotika dan alkohol, dan ada pula yang
mengurung diri menjadi skizofren dan herotik.
Seperti di kita terjadi
peristiwa-peristiwa yakni tindakan anarkis (kekerasan) yang dilakukan kaum muda
dalam menyelesaikan persoalan, seks bebas, pornografi (VCD dan rekaman porno
dalam handphone) dan jatuhnya pemuda
dalam pelukan narkotika dan obat-obatan berbahaya (narkoba) cukup
memprihatinkan kita. Terhadap kaum muda yang teralisasi ini, perlu mendapat
perhatian dengan diakui kehadirannya, didengarkan pendapatnya, diajak untuk
mengaktualisasikan dan mengekspresikan diri, termasuk diajak untuk bersama-sama
membangun diri, masyarakat, bangsa dan
negara.
Meskipun begitu, kita pun patut
berbangga dengan kiprah kaum muda yang berprestasi baik bidang pendidikan, olahraga, ilmu pengetahuan, seni dan budaya
bahkan politik. Misalnya, menjelang pemilihan umum (pemilu) legislatif 2009
cukup banyak kaum muda yang meramaikan pencalonan anggota wakil rakyat itu.
Meskipun kaum muda baru sekira sepertiga (1/3) dari keseluruhan daftar calon
legislatif sementara, tapi itu menunjukkan gejala politik yang cukup
menggembirakan. Bahkan di Bandung direncanakan pada Selasa (28 Oktober 2008)
ini akan diadakan Kongres Kaum Muda Jawa Barat. Dalam acara ini sejumlah tokoh
muda akan berorasi dengan tema “Kepemimpinan Kaum Muda Menjawab Krisis
Kebangsaan.
Mempercepat perubahan
Dalam konteks perubahan, pemuda
berperan sebagai motor penggerak menuju kehidupan bangsa yang lebih baik. Dia
berperan sebagai katalisator (pemercepat) perubahan itu. Dalam reaksi kimia
dikenal adanya katalis atau katalisator.
Senyawa kimia ini berfungsi untuk mempercepat laju reaksi, tapi zai itu
sendiri tidak mengalami perubahan yang permanen. Kamus Besar Bahasa Indonesia,
cetakan ketiga tahun 1990, terbitan Balai Pustaka menuliskan dua pengertian
katalisator. Pertama, sebagai zat yang memengaruhi, memercepat reaksi kimia
tanpa mengalami peruabahn sendiri. Kedua, katalisator adalh tokoh cerita yang
menyebabkan terjadinya perubahan dan menimbulkan kejadian baru. Saya pun menganalogikan potensi dan
karakteristik pemuda itu dengan katalisator. Sejatinya, dengan potensi dan
kelebihan yang dimiliki kaum muda, dia akan mengabdikan dirinya untuk
mempercepat perubahan hidup dan kehidupan ke arah yang lebih baik
Perubahan adalah sebuah keniscayaan
sebagaimana keadaan manusia yang tak ada yang sempurna, dan tak lepas dari
kekhilapan-kekhilapan. Karena itu. kata
berubah harus terjadi demi kondisi yang lebih baik.Kalau Rahmad Riyadi menulis,
perubahan adalah kekuatan yang kita cari dan perjuangkan, memang demikianlah
adanya. Sayangnya, di era kini pemuda menginginkan perubahan yang serba instan
(langsung jadi). Ungkapan mantan Presiden Amerika Serikat (AS), Abraham Lincoln,
“they wants to get done” (mereka
ingin memiliki semuanya hari ini juga) tepat menggambarkan gejala itu. Padahal
perubahan itu adalah proses yang melibatkan banyak faktor di dalamnya.
Contohnya,
Malaysia merupakan negara
yang mengalami lompatan dalam peradaban dan pembangunan ini karena perubahan
yang dilakukan sejak era 70-an. Ketika kuliah di IKIP (kini UPI), Bandung akhir tahun
80-an, banyak mahasiswa Malaysia
yang tugas belajar di Kampus Isola itu, sebaliknya kini mahasiswa kita yang
belajar ke Malaysia.
. Perubahan di Malaysia, diawali dengan
keputusan strategis untuk mengarahkan sumber daya manusianya menuju sumber daya
insani yang mampu mengatasi tantangan zaman. Contoh lain, dulu Vietnam
mengimpor beras dari kita. Sekarang Vietnam sudah berhasil mengekspor
beras.
Di negeri kita pun sebetulnya, pemerintah
sudah menaruh perhatian kepada kaum muda. Tak kurang dari dibentuknya
kementrian negara pemuda dan olahraga. Kembali pada konteks perubahan, keadaan
ini (perubahan) akan cepat terjadi jika kaum muda lebih diberi kesempatan untuk
mengekspresikan diri. Seperti ditulis di atas, Bung Karno menyanjung pemuda sebagai nuklir
perubahan. Begitu pula Alquran menyinggung tentang pemuda ini. Ada dua (2) fenomena dalam
Alquran yang berbicara tentang pemuda.
Pertama, surat
Al-Kahfi, ditafsirkan yang disebut pemuda di sini adalah usia 6-17 tahun dan
demi pemuda-pemuda itu hukum alam semesta berubah. Menurut Alquran Allah
menjaga tubuh mereka sehingga tidak rusak sampai 300 tahun lebih. Kedua, sosok
pemuda lain yang mengubah hukum alam adalah Ibrahim. Api tak mampu membakarnya,
ketika Ibrahim berusi 16 tahun saat dirinya dibakar atas perintah Raja Namrudz,
api menjadi dingin atas perintah-Nya. Allah berfirman, “ Hai api menjadi
dinginlah dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim.” (QS: Al-Anbiya: 69).
Nabi Muhammad saw juga memberi perhatian
khusus kepada kaum muda. Dalam sebuah hadis disebutkan, “Tidak akan beranjak
sepasang kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai ia ditanya tentang 4 hal
yaitu, tentang usianya: ke mana ia menghabiskannya, tentang masa mudanya: ke
mana ia menunaikannya, tentang hartanya: dari mana ia memperolehnya dan ke mana
ia membelanjakannya, dan tentang ilmunya: apa yang telah diamalkannya. “ (HR:
Tirmidzi).
Dalam hadis disebutakan, kita akan
ditanya tentang umur secara umum, lalu ditanya secara khusus mengenai masa
muda, suatu masa yang sangat berharga. Masa muda itu, masih menurut hadis itu,
adalah setara dengan harta dan ilmu. Bahkan masa muda itu juga sejajar dengan
keseluruhan usia itu sendiri. Karena pentingnya masa muda itu, kaum muda
apalagi setiap 28 Oktober bangsa Indonesia memperingati Hari Sumpah
Pemuda, seyogianya berkontemplasi sebentar tentang hal itu. Apakah pemuda kini
perlu merevitalisasi semangat Sumpah Pemuda dan mengaplikasikannya sesuai
dengan kondisi sekarang? Bagaimana pemuda sekarang memaknai “ideologi
perjuangan” kaum muda dulu yang mampu menjadi elan vital pemuda sehingga berhasil
mengenyahkan penjajah dari bumi pertiwi?
Terlepas dari penilaian tentang
karakteristik pemuda kini, sudah
selayaknya bila kita ingin lompatan perubahan bangsa ini, apalagi dalam kondisi
karut-marut kehidupan politik dan ekonomi sekarang, maka kita tumpukan
perhatian lebih dan kesempatan bagi mereka untuk mengekspresikan dan
mengaktualisasikan diri. Sehingga, di tangannyalah rahmat dan keberkahan Allah
SWT akan datang dan mengubah keadaan menjadi lebih baik. Semoga saja. ***
(Tulisan ini dimuat di majalah DKI Jakarta)