Setelah Kepergian Itu
Oleh: Ari Hidayat
Irna terkejut
ditelepon kepolisian yang memberitahukan adiknya yang lelaki, Bani mengalami
kecelakaan lalu-lintas. Mobil yang dikendarai Bani bertabrakan dengan truk.
Mendengar kabar itu rinai air mata pun meleleh di pipinya, tubuhnya gemetar dan
mendadak lemas. Dadanya sesak menahan sedih. Meski begitu, ia sempat menelepon saudara-saudaranya. Tak
berapa lama Irna bersama suaminya, Adi menuju rumah sakit (RS) tempat adiknya
mendapat pertolongan.
Di kotanya akhir-akhir ini hujan
sering turun memanjang di tubuh kemarau. Sepertinya peristiwa alam tidak bisa
diramalkan lagi. Cuaca membawa anomalinya tersendiri. Hari itu pun hujan
mengguyur deras. Dari kaca mobil yang disetiri suaminya itu, Irna melihat
jari-jari hujan menetes kencang di luar kendaraannya dan menyentuh-nyentuh
badan luar mobil. Di kendaraan itu
mereka berdua membisu. Sempat ia sekali berkata pada suaminya, berharap adiknya
dapat terselamatkan. Adi, suami Irna hanya menggangguk pelan.
Setiba di rumah sakit, Irna
memburu meja resepsionist. Ada
jawaban adiknya memang dirawat di RS itu
dan sekarang ada di ICU. Irna dan Adi
diminta menunggu sebentar di ruang tunggu. Sesaat kemudian dokter
menghampirinya, mengabarkan kondisi Bani. Buat menolong jiwanya dokter akan
mengoperasi Bani. Kata dokter ada pendarahan di otaknya yang harus segera
ditangani. Dokter meminta Irna selaku keluarga korban menandatangani
persetujuan operasi itu. Ia menoleh ke suaminya. Adi menggangguk. Dan Irna
membubuhkan tanda tangannya di berkas itu. Setelah itu, hati Irma sibuk dalam doa-doanya. Tangan Adi
menggenggam tangan istrinya buat menentramkan. Mereka duduk berdampingan di
ruang tunggu tak jauh dari ICU.
Sesekali dalam benak Irna dan Adi
melintas bayangan-bayangan kenangan bersama Bani. Irna berpikir bagaimana ia
harus mengatakan keadaan Adi kepada Zahra dan Naufal, anak-anaknya Bani mengingat mereka masih
kecil. Mungkin Zahra yang sudah duduk di kelas empat SD bisa memahami, tapi
bagaimana dengan adiknya yakni Naufal yang masih berusia empat tahun itu? Irna
jadi ingat peristiwa dua tahun lalu saat Bani memutuskan bercerai dengan
istrinya. Dan setelah itu, mantan istrinya pergi ke sebuah kota di luar Pulau Jawa. Karena suatu alasan
tertentu dari istrinya itu dan dikukuhkan hakim pengadilan agama, meski kedua
anak mereka masih di bawah umur, akhirnya diputuskan diasuh oleh Bani.
Setelah orangtuanya bercerai
Zahra dan Naufal hidup bersama Bani dan seorang janda tua sebagai pembantu
merangkap babysitter di rumah Bani
yang masih satu kota dengan Irna. Haruskah Irna berusaha
jujur mengatakan bapaknya Zahra dan Naufal kecelakaan? Tidakkah untuk sementara
mengatakan alasan yang lain saja. Sepertinya kurang elok kalau anak-anak itu
diberitahu kejadian yang sesungguhnya,
toh di rumah mereka masih ada pembantu. Selain itu, Irna pun akan meminta familinya yang
bersedia untuk sementara menemani keponakan-keponakannya itu.
“Bani, oh Bani. Semoga Allah
menyelamatkanmu,” batin Irna.
Dokter sudah selesai mengoperasi Bani dan
mengabarkan, Bani belum siuman. Adik Irna itu masih di bawah pengawasan tim
dokter untuk melihat perkembangan selanjutnya. Irna dan Adi menengok ke dalam
ruang ICU lewat jendela kaca. Tampak oleh mereka adiknya terbaring di sebuah
ranjang dengan peralatan medis di dekatnya. Begitulah Bani, hingga dua minggu
setelah kecelakaan, sudah dua kali menjalani operasi. Bahkan kini tulang
rusuknya yang patah, kata dokter, harus diganti dengan pin khusus dan untuk itu
akan dioperasi lagi.
Ya, dua minggu. Bagi Irna waktu
terasa bergerak lambat. Untuk penunggu Bani di RS, ia bergiliran dengan
saudara-saudaranya yang lain. Tapi, yang lebih sering adalah Irna. Hampir tiap
hari Irna ada di RS. Apalagi kondisi Bani yang mengkhawatirkan. Adiknya itu
dalam keadaan koma, sadar sebentar dan koma lagi. Saat sadar itu sebenarnya
belum pulih benar. Dalam keadaaan seperti ini perawat di ICU bertanya dengan
pelan dan hati-hati, ya, semacam terapi singkat menurut perawat itu.
“Pak Bani, sudah agak baikan ya. Masih ingat nggak ini siapa?” tanya perawat
itu seraya tangannya menyentuh
pundak Irna sebentar.
Irna melihat Bani menggangguk.
Mulutnya menyebut nama Irna dengan pelan nyaris tanpa suara . Perasaan Irna
tersentuh lagi, melihat Bani dengan kondisi begitu . Dalam hati Irna bercampur
aduk antara senang, sedih, sekaligus
setengah kabut kekhawatiran. Dan benar
saja, sehari setelah itu, Bani kembali tak sadarkan diri. Kembali hati
Irna berbalut kecemasan. Dalam keadaan semacam itu Irna jadi teringat pada
Zahra dan Naufal. Irna telah berbohong pada mereka bahwa Bani sedang tugas ke
luar kota. Ya,
kebohongan tetap saja kebohongan.
“Papa ke luar kota kok lama?” tanya si kecil, Naufal.
” Tante, Papa kok nggak pernah nelpon Zahra. Ke mana sih tugasnya?” tambah Zahra.
Dan Irna pun hanya terdiam, seperti kucing
yang ketahuan mencuri ikan di dapur. Malu juga dia terhadap
keponakan-keponakannya itu.
“Bani, oh Bani, adikku. Maafkan tantemu,
Zahra dan Naufal,” kata Irna dalam hatinya.
Begitulah mungkin manusia
terkadang sulit untuk mengubur prasangka. Sebuah prasangka yang berbalut
kecemasan. Menerka-nerka tentang sesuatu yang belum tentu terjadi. Begitu pun
Irna, diam-diam memeram kekhawatiran, bagaimana kalau Bani tak tertolong?
Hatinya berusaha menepisnya. Tidak. Allah pasti akan menyelamatkan adiknya
lewat perantaraan dokter dan paramedis di rumah sakit itu. Tapi. Tapi. Keadaan
Bani belum menggembirakan pula, bahkan seperti semakin gawat. Kalau sudah
sumpek dengan pikiran seperti itu, Irna kembali larut dalam doa dan berusaha
melupakannya dengan istirahat.
Dan benar saja kekhawatiran itu, ketika suatu
malam dengan tergesa-gesa seorang perawat mendekati Irna dan memintanya ke ICU.
Di ruangan itu sudah berdiri dokter jaga dekat tempat tidur Bani, tangannya masih memegang alat bantu
pemicu detak jantung. Mata dokter itu
seperti tak lepas mengamati monitor pendeteksi
detak jantung yang sinyalnya terlihat makin datar, hingga sama sekali nyaris
lurus dan terdengar bunyi seperti ,”Tut… tut… tut.
Irna membaca isyarat itu.
”Bagaimana dokter. Dok,
bagaimana adik saya?” tanyanya terbata-bata. Suaranya seperti tercekat.
“Dia sudah pulang. Yang tabah
ya Bu. Kami sudah berusaha keras menyelamatkan Pak Bani, tapi Allah berkehendak
lain,” tutur dokter.
Dada Irna kian bergejolak,
tubuhnya bergetar, Ada
sesuatu yang mengalir mungil di pipinya. Matanya tak lepas memandangi wajah
Bani, untuk yang terakhir kali.
***
Lima
puluh hari setelah kepergian Bani, tanpa diduga ada sepucuk surat dari Pangadilan Agama (PA). Intinya
mantan istri Bani mempersoalkan lagi dan mengharapkan Zahra dan Naufal diasuh
oleh ibu kandungnya sepeninggal Bani sebagai ayah kandung mereka. Namun,
seminggu setelah wafatnya Bani, Irna sempat berunding dengan adik-adiknya dan
secara hati-hati bertanya pada
anak-anaknya almarhum kemungkinan mereka untuk diangkat menjadi anak oleh Irna.
Ya, tentunya dengan bahasa yang dipahami anak-anak seusia mereka.
Saudara-saudara Irna dan Zahra dan Naufal nampaknya setuju saja. Namun, kini
muncul soal baru tentang surat
gugatan mantan istri Bani itu.
Zahra memang masih ingat
dengan ibu kandungnya. Sedangkan Naufal mungkin sama sekali belum ingat tentang
peristiwa dua tahun lalu. Sebelum
memenuhi panggilan PA, Irna meski dengan berat hati mengabarkan tentang masalah
itu pada Naufal dan kakaknya. Yang mengejutkan Irna, Zahra begitu pula Naufal
tidak mau untuk ikut dengan ibu kandungnya. Apalagi kini mantan istri Bani itu
sudah menikah lagi dan mempunyai satu anak dari suaminya sekarang. Bahkan Zahra
dan Naufal mengatakan, ibunya itu adalah “orang asing” bagi mereka, dan
berharap ikut dengan Irna dan Adi saja.
Meski di PA hakim tidak
menanyakan atau melibatkan Zahra dan Naufal, sebab mereka masih di bawah umur,
namun Irna sempat juga mengungkapkan keinginan anak-anak angkatnya itu sebagai
fakta pendukung agar Zahra dan Naufal ada di bawah pengasuhannya. Sidang pun
cukup alot. Mantan istri Bani memakai jasa pengacara, sedangkan Irna tidak.
Irna sendiri yang terlibat dalam persidangan-persidangan itu didukung sejumlah
saksi dari saudara-saudara dan juga suaminya, yakni Adi. Walau hatinya sempat dirundung kecemasan akan kalah
di persidangan, tapi akhirnya saat hakim memutuskan bahwa Zahra dan Naufal di
bawah pengasuhan Irna sebagai orangtua angkat yang sekaligus tante dari kedua
anak yatim itu, hati Irna pun melonjak
kegirangan. Bagi Irna keberhasilan persidangan itu adalah kelanjutan kegigihan Bani agar anak-anaknya tidak jatuh
ke pengasuhan mantan istrinya. Melihat
wajah Naufal pun Zahra ada bayang-bayang
Bani yang tak jua menghilang.***
(Dimuat di Harian Radar
Tasikmalaya, 22 Mei 2011)