Entri yang Diunggulkan

Di Sebuah Ranah

Saya menamainya   ranah   atau wilayah dalam arti seluas-luasnya di mana kebenaran dipersoalkan. Kebenaran dari yang mempersoalkan adalah k...

Rabu, 16 Mei 2012

Budaya Baca dan Nonton






      Ketika stasiun televisi (TV) mulai bermunculan di negeri Barat, para ahli komunikasi memprediksi tidak lama lagi media massa cetak akan lenyap. Begitu pula, saat di Indonesia bermunculan stasiun-stasiun TV swasta, banyak yang memperkirakan, pers cetak akan terdesak oleh media elektronik itu. Nyatanya, media massa cetak (surat kabar, majalah, tabloid, dan buletin kantor berita) tidak sirna, namun tetap eksis di tengah gempuran TV. Bahkan, belakangan ini seiring dengan otonomi daerah dan untuk keberagaman kepemilikan dan isi media, bermunculan  media-media massa cetak lokal di tanah air.
     Berbagai penelitian menunjukkan, masyarakat  lebih banyak mengonsumsi imformasi dan hiburan lewat TV ketimbang media massa cetak. Kehadiran TV juga film telah menggeser kebiasaan orang mencari informasi dan hiburan yang semula diperoleh dengan membaca, kini menjadi menonton media elektronik itu. Sehingga budaya nonton (watching culture) lebih kuat melekat pada masyarakat ketimbang budaya baca. Pergeseran inilah yang menjadi salah satu sebab, mengapa kebiasaan membaca kian menurun dalam masyarakat kita.
       Tulisan ini, tidak bermaksud membela salah satu media atau berusaha meproyeksikan seluruh dinamika, persoalan, dan latar belakang tradisi atau kebiasaan nonton dan baca, tapi sekadar memotret fenomena yang ada di tengah masyarakat.  Menonton TV atau film memang  disukai karena kelihatannya lebih atraktif, efektif, dan lebih gampang ketimbang membaca. Padahal, dengan membaca ada keasyikan tersendiri dan berguna untuk mengembangkan imajinasi.
       Dalam konteks penyedia informasi TV memang jauh lebih unggul ketimbang media cetak. Informasinya lebih cepat tersaji kepada pemirsa. Namun,  kita sering melupakan bahwa, orang pun perlu informasi yang lebih lengkap, mendalam termasuk latar belakang dan sisi lain dari informasi yang tersaji melalui media massa elektronik. Informasi seperti ini hanya bisa diperoleh dari pers cetak. Selain itu, media cetak pun dapat dibawa ke mana-mana dan lebih mudah mendokumentasikannya (dikliping).
     Media cetak pun (khususnya rubrik sastra dan budaya) dapat dijadikan alat untuk mengasah kepekaan perasaan kita, mengembangkan imajinasi, belajar tentang bahasa yang indah, dan untuk hiburan yang cerdas dan bermutu.  Apalagi program-program hiburan di TV kerap menuai kritikan seperti mengumbar kekerasan, sikap hidup hedonistis (terlalu mementingkan duniawi), takhayul, dan terlampau menjual mimpi. Tema-tema yang berkutat seputar balas dendam, tumpahan air mata berlebihan, dan persoalan-persoalan kalangan high class (kelas atas) yang sangat kontras dengan kehidupan sebagian besar masyarakat kita.
     Ironisnya,  khalayak pun nampaknya menyukai  tayangan-tayangan (sinetron, film televisi, infotaintment) seperti itu. Tengoklah para ibu yang rela duduk berjam-jam di depan TV hanya untuk menonton program semacam itu.  Budaya menonton, memang telah menggerus kebiasaan membaca kita termasuk di kalangan muda dan anak-anak kita. Gejala ini sungguh mengkhawatirkan, karena itu perlu mendapat perhatian bersama. Tradisi membaca kini perlu digairahkan kembali agar bangsa kita bisa lebih maju. Dengan membaca berarti kita telah membuka pintu dunia, di mana kita akan menemukan beribu jalan yang bisa memperluas cakrawala pemikiran, menambah wawasan, menimba ilmu, dan “komunikasi” intelektual dengan penulis. Guna mewujudkan ini, yang paling penting adalah mengubah kebiasaan dan membiasakan diri membaca  secara teratur. Sehingga dari sana akan muncul kecintaan pada bacaan (Ari Hidayat)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar