Ketika stasiun televisi (TV) mulai
bermunculan di negeri Barat, para ahli komunikasi memprediksi tidak lama lagi
media massa
cetak akan lenyap. Begitu pula, saat di Indonesia bermunculan
stasiun-stasiun TV swasta, banyak yang memperkirakan, pers cetak akan terdesak
oleh media elektronik itu. Nyatanya, media massa
cetak (surat
kabar, majalah, tabloid, dan buletin kantor berita) tidak sirna, namun tetap
eksis di tengah gempuran TV. Bahkan, belakangan ini seiring dengan otonomi
daerah dan untuk keberagaman kepemilikan dan isi media, bermunculan media-media massa cetak lokal di tanah air.
Berbagai penelitian menunjukkan, masyarakat
lebih banyak mengonsumsi imformasi dan
hiburan lewat TV ketimbang media massa cetak. Kehadiran TV juga film telah
menggeser kebiasaan orang mencari informasi dan hiburan yang semula diperoleh
dengan membaca, kini menjadi menonton media elektronik itu. Sehingga budaya
nonton (watching culture) lebih kuat
melekat pada masyarakat ketimbang budaya baca. Pergeseran inilah yang menjadi
salah satu sebab, mengapa kebiasaan membaca kian menurun dalam masyarakat kita.
Tulisan ini, tidak bermaksud membela
salah satu media atau berusaha meproyeksikan seluruh dinamika, persoalan, dan
latar belakang tradisi atau kebiasaan nonton dan baca, tapi sekadar memotret
fenomena yang ada di tengah masyarakat.
Menonton TV atau film memang
disukai karena kelihatannya lebih atraktif, efektif, dan lebih gampang
ketimbang membaca. Padahal, dengan membaca ada keasyikan tersendiri dan berguna
untuk mengembangkan imajinasi.
Dalam konteks penyedia informasi TV
memang jauh lebih unggul ketimbang media cetak. Informasinya lebih cepat
tersaji kepada pemirsa. Namun, kita
sering melupakan bahwa, orang pun perlu informasi yang lebih lengkap, mendalam
termasuk latar belakang dan sisi lain dari informasi yang tersaji melalui media
massa
elektronik. Informasi seperti ini hanya bisa diperoleh dari pers cetak. Selain
itu, media cetak pun dapat dibawa ke mana-mana dan lebih mudah mendokumentasikannya
(dikliping).
Media cetak pun (khususnya rubrik sastra
dan budaya) dapat dijadikan alat untuk mengasah kepekaan perasaan kita,
mengembangkan imajinasi, belajar tentang bahasa yang indah, dan untuk hiburan
yang cerdas dan bermutu. Apalagi
program-program hiburan di TV kerap menuai kritikan seperti mengumbar
kekerasan, sikap hidup hedonistis (terlalu mementingkan duniawi), takhayul, dan
terlampau menjual mimpi. Tema-tema yang berkutat seputar balas dendam, tumpahan
air mata berlebihan, dan persoalan-persoalan kalangan high class (kelas atas)
yang sangat kontras dengan kehidupan sebagian besar masyarakat kita.
Ironisnya,
khalayak pun nampaknya menyukai tayangan-tayangan
(sinetron, film televisi, infotaintment) seperti itu. Tengoklah para ibu yang
rela duduk berjam-jam di depan TV hanya untuk menonton program semacam
itu. Budaya menonton, memang telah
menggerus kebiasaan membaca kita termasuk di kalangan muda dan anak-anak kita.
Gejala ini sungguh mengkhawatirkan, karena itu perlu mendapat perhatian
bersama. Tradisi membaca kini perlu digairahkan kembali agar bangsa kita bisa
lebih maju. Dengan membaca berarti kita telah membuka pintu dunia, di mana kita
akan menemukan beribu jalan yang bisa memperluas cakrawala pemikiran, menambah
wawasan, menimba ilmu, dan “komunikasi” intelektual dengan penulis. Guna
mewujudkan ini, yang paling penting adalah mengubah kebiasaan dan membiasakan
diri membaca secara teratur. Sehingga
dari sana akan muncul kecintaan pada bacaan (Ari Hidayat)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar