Kini ada kebiasaan baru sejumlah
masyarakat Indonesia ,
yakni suka membuat status di jejaring sosial Facebook (Fb) dan juga Twitter.
Tentang kebiasaan ini seseorang sempat bertanya kenapa kebiasaan itu muncul, apakah saluran komunikasi dengan orang-orang
terdekat sudah tercekat dan tersumbat? Memang membikin status di Fb dan
“berkicau” di Twitter seakan menjadi gaya
hidup baru masyarakat di era posmodern ini. Apa pun bisa dituliskan di status,
dinding Fb maupun mikroblog Twitter, mulai dari aktivitas terbaru, informasi, bahkan puisi hingga sekadar narsis
dan keluh-kesah dalam kehidupan ini. Nampaknya
mereka itu sedang “deman” dengan jejaring sosial, seamsal laman Fb dan Twitter.
Tak kurang dari pernyataan dia, sempat
pula diungkapkan sejumlah kalangan, tentang
adanya pergeseran kebiasaan masyarakat kita dalam mengakses informasi termasuk
untuk interaksi sosial lewat dunia maya (internet). Meski maya, namun bentuk
media komunikasi dan informasi ini sudah menjadi ruang publik. Sebuah jagat
dengan karekteristik ambigu antara yang nyata dan semu. Dalam konteks kebiasaan
baru itu, Presiden Global Ethic Foundation Prof Hans Kung (82) mengungkapkan
dalam salah satu bukunya, “Kita hidup di suatu masa, di mana banyak kekuasaan
moral kehilangan kredibilitasnya, banyak lembaga terperangkap dalam krisis
identitas yang parah, tidak sedikit nilai yang diselewengkan, suatu masa di
mana orang bisa duduk berjam-jam berhadapan dengan realitas maya.”
Ya, kebiasaan baru yang mementingkan
realitas maya ketimbang saluran-saluran komunikasi lain yang dekat, yang lebih
bernuansakan nilai-nilai pembelajaran intens, memerlukan etika dan pranata
komunikasi tertentu, dan lebih mempribadi. Sepertinya, kita sedang larut dalam
euforia (ingar-bingar atau kegembiraan yang berlebihan) banjir elektronika era
posmodern kini, terutama dengan kemajuan di bidang teknologi komunikasi dan
informasi. Belum lagi proses penggunaan
(akses) seperti kecepatan hasil pencarian, kemudahan, pun kecepatan
publikasi menjadi keunggulan tersendiri
yang ditawarkan media maya. Akankah media teknologi berbasis internet ini
menggerus saluran-saluran komunikasi yang ada? Bisakah suatu saat media-media massa konvensional (terutama
cetak dan elektronik) menjadi punah?
Bagaimanapun, tidak ada kata mati
untuk media massa (pers) cetak (surat kabar/koran, majalah, tabloid, dan
buletin kantor berita) termasuk media elektronik juga sumber pengetahuan yang
lebih serius dan terkesan ilmiah yakni jurnal-jurnal dan buku-buku. Ketika
televisi (TV) ditemukan lantas mulai berkembang di masyarakat, banyak ahli
komunikasi Barat yang memrediksikan tak lama lagi media cetak akan mengalami
kepunahan. Tapi, kenyataannya sampai kini media cetak tetap eksis, mampu
bertahan, dan berkembang. Di kita pun manakala bermunculan TV swasta akhir
80-an, ada kekhawatiran pengelola dan prakstisi pers cetak seperti yang
diramalkan pakar komunikasi Barat itu. Hingga diakui saat itu, bahwa media massa cetak terdesak oleh TV.
Survei Menneg Komunikasi dan Informasi
tahun 2003 menunjukkan, bahwa jumlah penerbitan pers kita tinggal 450 penerbit
dengan total tiras sekira 7 juta eksemplar. Dari jumlah itu surat kabar mencapai 4,2 juta eksemplar,
majalah 1,4 juta, dan tabloid 1,1 juta eksemplar. Sebagai perbandingan pada era
Orde Baru hingga awal Reformasi angka tiras penerbitan masih 14 juta eksemplar
dengan jumlah surat
kabar mencapai 6 juta buah. Data Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS) pada 2008
menyatakan dari 429 anggota SPS yang terdaftar hanya sekira 30 persen yang
dikategorikan sehat secara bisnis. Sebenarnya merosotnya tiras media cetak dari
waktu ke waktu tidak hanya terjadi di
kita, tapi terjadi di belahan dunia lainnya termasuk di Inggris, seperti yang
selalu dilaporkan World Association Newspaper (WAN).
Fenomena penurunan tiras itu tidak
serta merta bisa dijadikan parameter, bahwa pers cetak sudah mati suri dan akan punah. Hidup dan matinya media tidak
semata-semata ditentukan tiras, tapi lebih oleh faktor intern dan kebijakan
politik. Hanya pers dulu yang menjadikan tiras sebagai nafas atau nyawa media.
Pada era ekonomi kini, iklanlah yang
menjadi “nafas” sedangkan isi menjadi “jantung” media. Dengan tiras yang sedang
saja, banyak kini media termasuk daerah dan lokal yang masih bertahan dan tetap
berkembang. Memang, sejatinya kini media cetak lebih gesit mengembangkan
kreativitas, inovasi, meningkatkan kinerja termasuk kekompakan sumber-sumber
internal, meraih pembaca baru, dan
mengembangkan “suasana” atau terobosan interaktif dengan pembaca potensialnya
di tengah situasi sekarang yang lebih kompetitif.
Menanggapi terdesaknya pers cetak
oleh media elektronik dan digital, beberapa waktu lalu sejumlah surat kabar pun melakukan perubahan . Media-media
terutama surat
kabar praktis berubah baik dalam ukuran, kolom, dan kemasannya. Ada surat
kabar yang mengadopsi tabloisasi dalam tampilannya dan menampilkan warna dalam
kemasannya untuk membantu pembaca dalam visualisasi. Namun, meski berubah media-media
itu tetap mempertahankan “isi” atau identitas dan jatidiri surat kabar. Juga “gila-gilaan” dalam
merengkuh iklan sebagai nafas media. Hingga sekarang media cetak pun masih
berkembang, mengeksplorasi diri, bahkan berkolaborasi dengan media internet. Contohnya, dengan membentuk
media online bahkan ada media yang
menampilkan interaksi dengan pembacanya lewat jejaring sosial yang kini moncer,
yaitu Facebook.
Dengan demikian dapatlah
dikatakan, perkembangan “ganas” dalam teknologi hanya menyangkut perangkat keras
(produk teknologi) . Kita bisa melihat bagaimana keping cakram (CD, VCD, DVD,
dan juga MP3) nyaris memunahkan kaset
rekaman seluloid (pita), kamera digital menyingkirkan alat foto berfilm (seluloid),
disket termasuk (floppy disk) diganti flashdisk,
dan telepon genggam yang “mengubur” radio panggil (pager). Sedangkan, dalam
teknologi komunikasi dan informasi dengan perkembangannya baik yang tercetak,
digital, elektronik, dan kini berbasis internet ada “software” berupa spirit (jiwa)
dan nilai-nilai komunikasi yang pada dasarnya mirip. Kesamaan kedua elemen itu, menjadi
landasan dalam perkembangan media-media itu yang akan saling mengisi dan
melengkapi.
Seyogianya pandangan dan sikap yang
cenderung memosisikan keduanya secara kontras ataupun paradoksal, walau
secara alami tentu saja ada persaingan di antara media-media itu. Kita pun tak
perlu apriori terhadap media baru berbasis internet sepanjang motif kita
mencari sesuatu dan berinteraksi dengan sesama dalam bingkai nilai-nilai yang
penting, bermanfaat, dan bermakna melalui ruang maya sekalipun. Bukankah dengan
sikap dewasa seperti itu kita bisa
menjadikan media massa
konvensial dan yang berbasis internet sekaligus sebagai sarana pembelajaran
bermakna? Di sinilah mungkin terdapat
nilai pembelajaran bagi hidup dan kehidupan kita melalui “ruang sekolah” atau “bangku kuliah” bentuk
lain, yakni internet. Yang dibutuhkan untuk belajar sambil bermain ataupun
bermain sambil belajar di jagat maya itu, antara lain sikap kehati-hatian, sebab “murid” terkadang
berperan ganda sebagai “guru” dan guru kerap merangkap sekaligus murid. Adakah
kelas lain untuk belajar “sebebas” di
ruang maya? (Ari Hidayat)
(Dimuat di Radar Tasikmalaya, 4 Desember 2010)
terima kasih atas tulisannya, tentu saja bermanfaat bagi penulisnya memberi masukan keadaan maya n nyata dalam dunia informasi ini.Bagi pembaca menambah wawasan.
BalasHapusterima kasih kembali. Semoga,
Hapus