Entri yang Diunggulkan

Di Sebuah Ranah

Saya menamainya   ranah   atau wilayah dalam arti seluas-luasnya di mana kebenaran dipersoalkan. Kebenaran dari yang mempersoalkan adalah k...

Rabu, 09 Mei 2012

Antara yang Maya dan Tercetak




         Kini ada kebiasaan baru sejumlah masyarakat Indonesia, yakni suka membuat status di jejaring sosial Facebook (Fb) dan juga Twitter. Tentang kebiasaan ini seseorang sempat bertanya kenapa kebiasaan itu muncul,  apakah saluran komunikasi dengan orang-orang terdekat sudah tercekat dan tersumbat? Memang membikin status di Fb dan “berkicau” di Twitter seakan menjadi gaya hidup baru masyarakat di era posmodern ini. Apa pun bisa dituliskan di status, dinding Fb maupun mikroblog Twitter, mulai dari aktivitas terbaru,  informasi, bahkan puisi hingga sekadar narsis dan keluh-kesah dalam kehidupan ini.    Nampaknya mereka itu sedang “deman” dengan jejaring sosial, seamsal laman Fb dan Twitter.
         Tak kurang dari pernyataan dia, sempat pula  diungkapkan sejumlah kalangan,   tentang adanya pergeseran kebiasaan masyarakat kita dalam mengakses informasi termasuk untuk interaksi sosial lewat dunia maya (internet). Meski maya, namun bentuk media komunikasi dan informasi ini sudah menjadi ruang publik. Sebuah jagat dengan karekteristik ambigu antara yang nyata dan semu. Dalam konteks kebiasaan baru itu, Presiden Global Ethic Foundation Prof Hans Kung (82) mengungkapkan dalam salah satu bukunya, “Kita hidup di suatu masa, di mana banyak kekuasaan moral kehilangan kredibilitasnya, banyak lembaga terperangkap dalam krisis identitas yang parah, tidak sedikit nilai yang diselewengkan, suatu masa di mana orang bisa duduk berjam-jam berhadapan dengan realitas maya.”
           Ya, kebiasaan baru yang mementingkan realitas maya ketimbang saluran-saluran komunikasi lain yang dekat, yang lebih bernuansakan nilai-nilai pembelajaran intens, memerlukan etika dan pranata komunikasi tertentu, dan lebih mempribadi. Sepertinya, kita sedang larut dalam euforia (ingar-bingar atau kegembiraan yang berlebihan) banjir elektronika era posmodern kini, terutama dengan kemajuan di bidang teknologi komunikasi dan informasi. Belum lagi proses  penggunaan (akses) seperti kecepatan hasil pencarian, kemudahan, pun kecepatan publikasi  menjadi keunggulan tersendiri yang ditawarkan media maya. Akankah media teknologi berbasis internet ini menggerus saluran-saluran komunikasi yang ada? Bisakah suatu saat media-media massa konvensional (terutama cetak dan elektronik) menjadi punah?
           Bagaimanapun, tidak ada kata mati untuk media massa (pers) cetak (surat kabar/koran, majalah, tabloid, dan buletin kantor berita) termasuk media elektronik juga sumber pengetahuan yang lebih serius dan terkesan ilmiah yakni jurnal-jurnal dan buku-buku. Ketika televisi (TV) ditemukan lantas mulai berkembang di masyarakat, banyak ahli komunikasi Barat yang memrediksikan tak lama lagi media cetak akan mengalami kepunahan. Tapi, kenyataannya sampai kini media cetak tetap eksis, mampu bertahan, dan berkembang. Di kita pun manakala bermunculan TV swasta akhir 80-an, ada kekhawatiran pengelola dan prakstisi pers cetak seperti yang diramalkan pakar komunikasi Barat itu. Hingga diakui saat itu, bahwa media massa  cetak terdesak oleh TV.
           Survei Menneg Komunikasi dan Informasi tahun 2003 menunjukkan, bahwa jumlah penerbitan pers kita tinggal 450 penerbit dengan total tiras sekira 7 juta eksemplar. Dari jumlah itu surat kabar mencapai 4,2 juta eksemplar, majalah 1,4 juta, dan tabloid 1,1 juta eksemplar. Sebagai perbandingan pada era Orde Baru hingga awal Reformasi angka tiras penerbitan masih 14 juta eksemplar dengan jumlah surat kabar mencapai 6 juta buah. Data Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS) pada 2008 menyatakan dari 429 anggota SPS yang terdaftar hanya sekira 30 persen yang dikategorikan sehat secara bisnis. Sebenarnya merosotnya tiras media cetak dari waktu ke waktu tidak hanya  terjadi di kita, tapi terjadi di belahan dunia lainnya termasuk di Inggris, seperti yang selalu dilaporkan World Association Newspaper (WAN).
            Fenomena penurunan tiras itu tidak serta merta bisa dijadikan parameter, bahwa pers cetak sudah mati suri dan  akan punah. Hidup dan matinya media tidak semata-semata ditentukan tiras, tapi lebih oleh faktor intern dan kebijakan politik. Hanya pers dulu yang menjadikan tiras sebagai nafas atau nyawa media. Pada era  ekonomi kini, iklanlah yang menjadi “nafas” sedangkan isi menjadi “jantung” media. Dengan tiras yang sedang saja, banyak kini media termasuk daerah dan lokal yang masih bertahan dan tetap berkembang. Memang, sejatinya kini media cetak lebih gesit mengembangkan kreativitas, inovasi, meningkatkan kinerja termasuk kekompakan sumber-sumber internal,  meraih pembaca baru, dan mengembangkan “suasana” atau terobosan interaktif dengan pembaca potensialnya di tengah situasi sekarang yang lebih kompetitif.
             Menanggapi terdesaknya pers cetak oleh media elektronik dan digital, beberapa waktu lalu  sejumlah surat kabar pun melakukan perubahan . Media-media terutama surat kabar praktis berubah baik dalam ukuran, kolom, dan kemasannya. Ada surat kabar yang mengadopsi tabloisasi dalam tampilannya dan menampilkan warna dalam kemasannya untuk membantu pembaca dalam visualisasi. Namun, meski berubah media-media itu tetap mempertahankan “isi” atau identitas dan jatidiri surat kabar. Juga “gila-gilaan” dalam merengkuh iklan sebagai nafas media.  Hingga sekarang media cetak pun masih berkembang, mengeksplorasi diri, bahkan berkolaborasi dengan  media internet. Contohnya, dengan membentuk media online bahkan ada media yang menampilkan interaksi dengan pembacanya lewat jejaring sosial yang kini moncer, yaitu Facebook.
               Dengan demikian dapatlah dikatakan, perkembangan “ganas” dalam teknologi hanya menyangkut perangkat keras (produk teknologi) . Kita bisa melihat bagaimana keping cakram (CD, VCD, DVD, dan juga MP3)  nyaris memunahkan kaset rekaman seluloid (pita), kamera digital menyingkirkan alat foto berfilm (seluloid),  disket termasuk (floppy disk) diganti flashdisk, dan telepon genggam yang “mengubur” radio panggil (pager). Sedangkan, dalam teknologi komunikasi dan informasi dengan perkembangannya baik yang tercetak, digital, elektronik, dan kini berbasis internet ada “software” berupa spirit (jiwa) dan nilai-nilai komunikasi yang pada dasarnya  mirip. Kesamaan kedua elemen itu, menjadi landasan dalam perkembangan media-media itu yang akan saling mengisi dan melengkapi.
           Seyogianya pandangan dan sikap yang cenderung  memosisikan keduanya  secara kontras ataupun paradoksal, walau secara alami tentu saja ada persaingan di antara media-media itu. Kita pun tak perlu apriori terhadap media baru berbasis internet sepanjang motif kita mencari sesuatu dan berinteraksi dengan sesama dalam bingkai nilai-nilai yang penting, bermanfaat, dan bermakna melalui ruang maya sekalipun. Bukankah dengan sikap dewasa seperti itu  kita bisa menjadikan media massa konvensial dan yang berbasis internet sekaligus sebagai sarana pembelajaran bermakna?  Di sinilah mungkin terdapat nilai pembelajaran bagi hidup dan kehidupan kita melalui  “ruang sekolah” atau “bangku kuliah” bentuk lain, yakni internet. Yang dibutuhkan untuk belajar sambil bermain ataupun bermain sambil belajar di jagat maya itu, antara lain sikap  kehati-hatian, sebab “murid” terkadang berperan ganda sebagai “guru” dan guru kerap merangkap sekaligus murid. Adakah kelas lain untuk belajar  “sebebas” di ruang maya? (Ari Hidayat)
(Dimuat di  Radar Tasikmalaya, 4 Desember 2010)

2 komentar:

  1. terima kasih atas tulisannya, tentu saja bermanfaat bagi penulisnya memberi masukan keadaan maya n nyata dalam dunia informasi ini.Bagi pembaca menambah wawasan.

    BalasHapus