Memaknai Pluralitas
Bahasa Media
Bahasa Media
Terlepas dari tudingan sebagian masyarakat yang menganggap
media massa cetak terutama koran (surat kabar) merusak bahasa, bagaimanapun surat kabar, tabloid, dan
majalah menunjukkan peran signifikan dalam pengembangan bahasa. Bahkan bila
dibandingkan dengan peran linguis, jasa media massa cetak itu lebih dominan. Sehingga, tak
jarang kata-kata baru yang
disosialisasikan khususnya oleh surat
kabar banyak ditemukan dalam kehidupan kita sehari-hari. Artinya, kata-kata itu
dengan cepat sudah menjadi milik publik dan hidup serta dipakai terus-menerus.
Misalnya, kata santai sebagai pemadan kata relax
(bahasa Inggris), mantan (bekas), canggih, ekspektasi (harapan), Alih-alih
(bukannya), sejatinya (seharusnya), tengarai (sinyalemen, pertanda, firasat) dll.
Begitu pula dengan akronim untuk eufemisme, contohnya pekerja seks komersial
(PSK) menggantikan singkatan WTS (wanita tuna susila).
Pada tiap Oktober kita biasa memeringati sebagai bulan
bahasa. Kegiatan kemasyarakatan menyangkut kebahasaan itu, biasa dilakukan sejumlah
kalangan dan institusi. Seperti tahun ini yang dilakukan Fakultas Sastra Unpad,
Bandung dengan mengadakan acara-acara termasuk Lomba Monolog dan “Gebyar Bulan
Bahasa 2010” oleh Himpunan Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Unsil, Tasik .
Dalam konteks ini bahasa berusaha didekatkan dengan pemakainya. Berbahasa merupakan aktivitas sosial. Sama
dengan kegiatan-kegiatan sosial yang lain, berbahasa menuntut peran serta aktif
para pelibat bahasanya. Jadi, berbahasa tidak hanya bertujuan personal tapi
juga menyangkut hubungan sosial (dengan pebahasa lainnya). Dalam kebutuhan dan
kondisi tertentu pebahasa terkadang memerlukan media untuk aktivitas berbahasa
(lisan dan tulisan). Surat
kabar sebagai salah satu saluran komunikasi berperan penting bagi tumbuh
kembangnya bahasa. Dalam interaksi berbahasa itu baik lisan maupun tulisan, antarpelibat bahasanya sama-sama menyadari
hadirnya kaidah kebahasaan yang mengatur. Aturan ini bisa menyangkut ejaan,
sintaksis, morfologis, fonetik, semantik
dsb.
Meskipun bahasa media massa (pers) memiliki
ragam tersendiri yakni laras jurnalistik, pada prinsipnya sama dengan bahasa
lainnya. Menurut JS Badudu (1988) bahasa pers adalah suatu ragam bahasa yang
bersifat khas, yakni singkat, padat, sederhana, lancar, jelas, dan menarik.
Bahasa yang lancar akan membuat tulisan menarik. Kejelasan tulisan haruslah
menjadi syarat utama agar pembaca tak perlu mengulang-ulang apa yang dibacanya
karena ketidakjelasan tulisan itu. Bahasa pers juga berperan dalam pembinaan
bahasa Indonesia .
Apalagi dalam bahasa yang masih tumbuh dan berkembang seperti bahasa Indonesia .
Peranan pers bisa positif jika bahasa yang digunakan media adalah bahasa yang
baik dan terpelihara, tentunya pengaruh terhadap pembacanya pun baik.
Sebaliknya bila bahasa yang dipakai pers adalah bahasa yang tak terpelihara,
kacau, baik struktur kata dan kalimatnya maupun pemakaian kata-katanya tentunya
berpengaruh negatif (merugikan) khalayak pembacanya.
Pada era multimedia kini, peran
media massa
cetak dalam tumbuh kembangnya bahasa Indonesia sangat signifikan. Kita bisa
melihat istilah baru baik yang menyangkut jargon yang belum memasyarakat (istilah-istilah
dalam suatu ilmu) maupun yang sudah sering digunakan muncul di media cetak.
Kata account untuk makna rekening
bank menurut Rohman Budianto (2010) diterjemahkan bercabang dalam dunia maya
menjadi akun. Orang tak akan menyebut ”membuka akun di bank”, tapi “membuka
rekening di bank”. Begitu pula orang tak akan mengatakan “membuka rekening di
internet”, melainkan “membuka akun di internet”.
Selain itu, dari kata berita
khas (feature) diserap atau diterjemahkan secara cerdik menjadi fitur dalam
istilah benda elektronik seperti telepon selular yang berarti fasilitas yang
tersedia. Orang tak bisa menerjemakah berita khas dalam istilah jurnalistik
menjadi fitur. Istilah-istilah yang belum umum, misalnya kata mangkrak yang
bermakna molor atau terlambat waktu pengerjaannya dan moncer (lagi tren).
Contoh dalam kalimat “Proyek itu mangkrak lebih dari tiga tahun”. Juga, orang
sudah terbiasa dengan istilah-istilah konfirmasi (mencek suatu persoalan),
klarifikasi (meluruskan informasi), klenik (rahasia), gendam (hipnotis).
Begitu pula istilah-istilah lain
yang diserap dari bahasa asing dan sering muncul, seperti signifikan (berarti), justifikasi
(pembenaran), ekspektasi (harapan), an-sich (semata-mata), dan quo vadis (mau
dibawa ke mana), entitas (kesatuan) dsb. Media massa tertentu pun tidak jarang memunculkan
istilah yang merupakan jargon-jargon dalam ilmu pengetahuan tertentu, seperti
apologi, bahasa esoteris, eskapisme,
dsb.
Bahasa pers sejatinya didasarkan pada bahasa baku (dapat dipakai oleh seluruh khalayak pembaca Indonesia ).
Bahasa baku
seyogianya bersifat kemantapan yang dinamis berupa kaidah dan aturan yang
tetap. Meski begitu, kemantapan itu
haruslah cukup terbuka untuk perubahan yang bersistem di bidang kosakata,
peristilahan, dan perkembangan beragam gaya
di bidang kalimat dan makna.
Dalam konteks pembakuan, amatan
terhadap sejumlah media cetak lokal, daerah, dan nasional menunjukkan fenomena
menarik, yaitu dalam pemakaian kata-kata baku
yang berasal dari bahasa Arab. Berbeda dengan pedoman penyerapan unsur-unsur
bahasa asing untuk bahasa Arab yang selama ini dipatuhi, yakni sesuai dengan
aslinya yang dilatinkan. Contohnya, shalat, ramadhan, fardhu, mushala, ustadz,
jamaah, dll, dulu termasuk kata-kata baku . Namun, kini
kata-kata itu menjadi tidak baku- bagi media
yang memakai pedoman lain- dan bentuk bakunya adalah salat, ramadan, fardu,
musala, ustaz, dan jemaah (seperti yang bisa dilihat dalam buku Dargo
Sabariyanto, Mengapa Disebut Bentuk Baku dan Tidak Baku ,
2000). Meski begitu kita bisa melihat koran nasional seperti Kompas dan Republika masih memakai pedoman yang lama dalam penyerapan
kata-kata dari bahasa Arab itu.
Kata-kata atau gabungan kata
lain yang kini kadaluarsa (tidak baku
lagi) seperti mataair (dulu mata air), airmata (dulu air mata), matahati ( dulu
mata hati), orangtua (dulu orang tua). Lebih menarik lagi sejumlah media cetak
lokal dan daerah (di Jawa Barat) justru menuliskan istilah-istilah baru, ambil contoh wali kota
(dulunya menuliskan walikota), ibukota sekarang ditulis menjadi ibu kota .
Bagaimana kita (khalayak
pembaca) bersikap terhadap fenomena keberagaman bahasa media massa cetak seperti itu? Apakah justru
membingungkan pembaca? Kenapa tidak berpegang pada satu pedoman? Sebenarnya
tidak ada yang salah dari media-media seperti itu, sebab masing-masing mempunyai
model pendekatan dan teori tersendiri
yang akuntabel. Memang lebih baik jika media memiliki semacam “buku” pedoman
bahasa sebagai pedoman yang digunakan media itu secara konsisten dalam setiap
penerbitannya.
Lebih jauh media pun berperan
dalam mengoreksi kekeliruan dalam penyerapan kata asing itu yang telanjur
sering digunakan pebahasa. Misalnya, tentang selebritis seharusnya selebritas.
Menurut pedoman penulisan unsur serapan, akhiran –ty (Inggris) atau –teit
(Belanda) berubah menjadi –tas dalam bahasa Indonesia . Contohnya, university atau universiteit menjadi universitas,
quality atau qualiteit menjadi
kualitas (PR, 3 Mei 2008, h. 31).
Kita bisa menambahkan kata-kata lain seperti activity, solidarity, actuality, validity, dan morality, yang
berubah menjadi aktivitas, solidaritas, aktualitas, validitas, dan moralitas.
Dalam bahasa Inggris, kata celebrity
berarti seorang yang terkenal (masyhur). Bentuk jamaknya adalah celebrities. Bentuk jamak inilah yang
kerap kita temukan dipakai pengguna bahasa (pebahasa) Indonesia menjadi selebritis. Tentu
saja ini bentuk yang keliru, sama kelirunya ketika kita menulis tips atau fans
dalam
bahasa
Indonesia. Dengan pedoman seperti di atas, kata celebrity harus berubah menjdi
selebritas, bukan selebriti atau (apalagi) selebritis.
Nampaknya bahasa media massa kita kini semakin
pluralis. Keberagaman ini patut diapresiasi
untuk memperkaya bahasa Indonesia yang diharapkan bermuara pada
pengayaan kebudayaan kita. Pasalnya ada keterkaitan yang erat antara media,
bahasa, dan kebudayaan.
Lalu, bagaimanakah hubungan
yang terjadi antara media, bahasa, dan kebudayaan itu? Di atas sudah diuraikan
keterkaitan media dan bahasa (pebahasa memerlukan media untuk berbahasa). Perlu
dicatat dulu, bahwa kebudayaan merupakan
indikasi dan dediksi yang secara turun–temurun diwariskan (Harry Fauzy, 2008).
Dapat pula bermakna hasil kreativitas atau buah akal budi (pemikiran) yang
sudah menjadi kebiasaan dan diwariskan. Karena kebudayaan menyangkut manusia,
maka berbahasa juga saling berkelindan dengan budaya. Menurut teori relativitas
linguistik Edward Sapir dan dilanjutkan Benjamin Lee Woorf dalam Kunjana
Rahardi (2001:162) menjelaskan, bahwa bahasa membentuk pikiran seseorang.
Setelah pikiran orang itu terbentuk dan tertata dengan baik selanjutnya ia akan
mampu berkreasi, mencipta, dan berinovasi membentuk bangunan kebudayaan.
Kebudayaan akan dapat maju dan
berkembang dengan baik dan optimal manakala jaringan pemikiran warga masyarakat
tertata secara baik. Jaringan pemikiran mereka akan dapat tertata dengan baik
hanya apabila penguasaan bahasa masyarakat juga berkualifikasi baik. Begitulah
realita hubungan antara media, bahasa, dan kebudayaan dan gambaran bagaimana
ketiganya dapat saling berpengaruh. Akhirnya,
saya ingin mengatakan bahwa pergulatan dengan bahasa Indonesia termasuk
bahasa laras jurnalistik sepertinya mudah untuk digunakan, namun dalam
praktiknya jagat bahasa seperti benua yang akrab kita kenal, tapi banyak
ranah-ranah yang masih perlu dijelajahi. Dan sepertinya penjelajahan ini tak
berujung berkesudahan (Ari Hidayat)
(Dimuat di Harian Radar Tasikmalaya, 2010)