Entri yang Diunggulkan

Di Sebuah Ranah

Saya menamainya   ranah   atau wilayah dalam arti seluas-luasnya di mana kebenaran dipersoalkan. Kebenaran dari yang mempersoalkan adalah k...

Selasa, 31 Januari 2012

Memaknai Pluralitas Bahasa Media


   Memaknai Pluralitas 
   Bahasa Media


            Terlepas dari  tudingan sebagian masyarakat yang menganggap media massa cetak terutama koran (surat kabar) merusak bahasa, bagaimanapun surat kabar, tabloid, dan majalah menunjukkan peran signifikan dalam pengembangan bahasa. Bahkan bila dibandingkan dengan peran linguis, jasa media massa cetak itu lebih dominan. Sehingga, tak jarang  kata-kata baru yang disosialisasikan khususnya oleh surat kabar banyak ditemukan dalam kehidupan kita sehari-hari. Artinya, kata-kata itu dengan cepat sudah menjadi milik publik dan hidup serta dipakai terus-menerus. Misalnya, kata santai sebagai pemadan kata relax (bahasa Inggris), mantan (bekas), canggih, ekspektasi (harapan), Alih-alih (bukannya), sejatinya (seharusnya), tengarai (sinyalemen, pertanda, firasat) dll. Begitu pula dengan akronim untuk eufemisme, contohnya pekerja seks komersial (PSK) menggantikan singkatan WTS (wanita tuna susila).
             Pada tiap  Oktober kita biasa memeringati sebagai bulan bahasa. Kegiatan kemasyarakatan menyangkut kebahasaan itu, biasa dilakukan sejumlah kalangan dan institusi. Seperti tahun ini yang dilakukan Fakultas Sastra Unpad, Bandung dengan mengadakan acara-acara termasuk Lomba Monolog dan “Gebyar Bulan Bahasa 2010” oleh Himpunan Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Unsil, Tasik . Dalam konteks ini bahasa berusaha didekatkan dengan pemakainya.   Berbahasa merupakan aktivitas sosial. Sama dengan kegiatan-kegiatan sosial yang lain, berbahasa menuntut peran serta aktif para pelibat bahasanya. Jadi, berbahasa tidak hanya bertujuan personal tapi juga menyangkut hubungan sosial (dengan pebahasa lainnya). Dalam kebutuhan dan kondisi tertentu pebahasa terkadang memerlukan media untuk aktivitas berbahasa (lisan dan tulisan). Surat kabar sebagai salah satu saluran komunikasi berperan penting bagi tumbuh kembangnya bahasa. Dalam interaksi berbahasa itu  baik lisan maupun tulisan,  antarpelibat bahasanya sama-sama menyadari hadirnya kaidah kebahasaan yang mengatur. Aturan ini bisa menyangkut ejaan, sintaksis, morfologis, fonetik,  semantik dsb.
            Meskipun bahasa media massa (pers) memiliki ragam tersendiri yakni laras jurnalistik, pada prinsipnya sama dengan bahasa lainnya. Menurut JS Badudu (1988) bahasa pers adalah suatu ragam bahasa yang bersifat khas, yakni singkat, padat, sederhana, lancar, jelas, dan menarik. Bahasa yang lancar akan membuat tulisan menarik. Kejelasan tulisan haruslah menjadi syarat utama agar pembaca tak perlu mengulang-ulang apa yang dibacanya karena ketidakjelasan tulisan itu. Bahasa pers juga berperan dalam pembinaan bahasa Indonesia. Apalagi dalam bahasa yang masih tumbuh dan berkembang seperti bahasa Indonesia. Peranan pers bisa positif jika bahasa yang digunakan media adalah bahasa yang baik dan terpelihara, tentunya pengaruh terhadap pembacanya pun baik. Sebaliknya bila bahasa yang dipakai pers adalah bahasa yang tak terpelihara, kacau, baik struktur kata dan kalimatnya maupun pemakaian kata-katanya tentunya berpengaruh negatif (merugikan) khalayak pembacanya.
               Pada era multimedia kini, peran media massa cetak dalam tumbuh kembangnya bahasa Indonesia sangat signifikan. Kita bisa melihat istilah baru baik yang menyangkut jargon yang belum memasyarakat (istilah-istilah dalam suatu ilmu) maupun yang sudah sering digunakan muncul di media cetak. Kata account untuk makna rekening bank menurut Rohman Budianto (2010) diterjemahkan bercabang dalam dunia maya menjadi akun. Orang tak akan menyebut ”membuka akun di bank”, tapi “membuka rekening di bank”. Begitu pula orang tak akan mengatakan “membuka rekening di internet”, melainkan “membuka akun di internet”.
               Selain itu, dari kata berita khas (feature) diserap atau diterjemahkan secara cerdik menjadi fitur dalam istilah benda elektronik seperti telepon selular yang berarti fasilitas yang tersedia. Orang tak bisa menerjemakah berita khas dalam istilah jurnalistik menjadi fitur. Istilah-istilah yang belum umum, misalnya kata mangkrak yang bermakna molor atau terlambat waktu pengerjaannya dan moncer (lagi tren). Contoh dalam kalimat “Proyek itu mangkrak lebih dari tiga tahun”. Juga, orang sudah terbiasa dengan istilah-istilah konfirmasi (mencek suatu persoalan), klarifikasi (meluruskan informasi), klenik (rahasia), gendam (hipnotis).
             Begitu pula istilah-istilah lain yang diserap dari bahasa asing dan sering muncul,  seperti signifikan (berarti), justifikasi (pembenaran), ekspektasi (harapan), an-sich (semata-mata), dan quo vadis (mau dibawa ke mana), entitas (kesatuan) dsb. Media massa tertentu pun tidak jarang memunculkan istilah yang merupakan jargon-jargon dalam ilmu pengetahuan tertentu, seperti apologi,  bahasa esoteris, eskapisme, dsb.        
              Bahasa pers  sejatinya didasarkan pada bahasa baku (dapat dipakai oleh seluruh khalayak pembaca Indonesia). Bahasa baku seyogianya bersifat kemantapan yang dinamis berupa kaidah dan aturan yang tetap. Meski begitu,  kemantapan itu haruslah cukup terbuka untuk perubahan yang bersistem di bidang kosakata, peristilahan, dan perkembangan beragam gaya di bidang kalimat dan makna.
             Dalam konteks pembakuan, amatan terhadap sejumlah media cetak lokal, daerah, dan nasional menunjukkan fenomena menarik, yaitu dalam pemakaian kata-kata baku yang berasal dari bahasa Arab. Berbeda dengan pedoman penyerapan unsur-unsur bahasa asing untuk bahasa Arab yang selama ini dipatuhi, yakni sesuai dengan aslinya yang dilatinkan. Contohnya, shalat, ramadhan, fardhu, mushala, ustadz, jamaah, dll,  dulu termasuk kata-kata baku. Namun, kini kata-kata itu menjadi tidak baku- bagi media yang memakai pedoman lain- dan bentuk bakunya adalah salat, ramadan, fardu, musala, ustaz, dan jemaah (seperti yang bisa dilihat dalam buku Dargo Sabariyanto, Mengapa Disebut Bentuk Baku dan Tidak Baku, 2000). Meski begitu kita bisa melihat koran nasional seperti Kompas dan Republika masih memakai pedoman yang lama dalam penyerapan kata-kata dari bahasa Arab itu.
                Kata-kata atau gabungan kata lain yang kini kadaluarsa (tidak baku lagi) seperti mataair (dulu mata air), airmata (dulu air mata), matahati ( dulu mata hati), orangtua (dulu orang tua). Lebih menarik lagi sejumlah media cetak lokal dan daerah (di Jawa Barat) justru menuliskan istilah-istilah baru,  ambil contoh wali kota (dulunya menuliskan walikota), ibukota sekarang ditulis menjadi ibu kota.
                Bagaimana kita (khalayak pembaca) bersikap terhadap fenomena keberagaman bahasa media massa cetak seperti itu? Apakah justru membingungkan pembaca? Kenapa tidak berpegang pada satu pedoman? Sebenarnya tidak ada yang salah dari media-media seperti itu, sebab masing-masing mempunyai model pendekatan dan teori  tersendiri yang akuntabel. Memang lebih baik jika media memiliki semacam “buku” pedoman bahasa sebagai pedoman yang digunakan media itu secara konsisten dalam setiap penerbitannya.
              Lebih jauh media pun berperan dalam mengoreksi kekeliruan dalam penyerapan kata asing itu yang telanjur sering digunakan pebahasa. Misalnya, tentang selebritis seharusnya selebritas. Menurut pedoman penulisan unsur serapan, akhiran –ty (Inggris) atau –teit (Belanda) berubah menjadi –tas dalam bahasa Indonesia. Contohnya, university atau universiteit menjadi universitas, quality atau qualiteit menjadi kualitas (PR, 3 Mei 2008, h. 31). Kita bisa menambahkan kata-kata lain seperti activity, solidarity, actuality, validity, dan morality, yang berubah menjadi aktivitas, solidaritas, aktualitas, validitas, dan moralitas. Dalam bahasa Inggris, kata celebrity berarti seorang yang terkenal (masyhur). Bentuk jamaknya adalah celebrities. Bentuk jamak inilah yang kerap kita temukan dipakai pengguna bahasa (pebahasa) Indonesia menjadi selebritis. Tentu saja ini bentuk yang keliru, sama kelirunya ketika kita menulis tips atau fans dalam
bahasa Indonesia. Dengan pedoman seperti di atas, kata celebrity harus berubah menjdi selebritas, bukan selebriti atau (apalagi) selebritis.
                  Nampaknya bahasa media massa kita kini semakin pluralis. Keberagaman ini patut diapresiasi  untuk memperkaya bahasa Indonesia yang diharapkan bermuara pada pengayaan kebudayaan kita. Pasalnya ada keterkaitan yang erat antara media, bahasa, dan kebudayaan.
                 Lalu, bagaimanakah hubungan yang terjadi antara media, bahasa, dan kebudayaan itu? Di atas sudah diuraikan keterkaitan media dan bahasa (pebahasa memerlukan media untuk berbahasa). Perlu dicatat dulu,  bahwa kebudayaan merupakan indikasi dan dediksi yang secara turun–temurun diwariskan (Harry Fauzy, 2008). Dapat pula bermakna hasil kreativitas atau buah akal budi (pemikiran) yang sudah menjadi kebiasaan dan diwariskan. Karena kebudayaan menyangkut manusia, maka berbahasa juga saling berkelindan dengan budaya. Menurut teori relativitas linguistik Edward Sapir dan dilanjutkan Benjamin Lee Woorf dalam Kunjana Rahardi (2001:162) menjelaskan, bahwa bahasa membentuk pikiran seseorang. Setelah pikiran orang itu terbentuk dan tertata dengan baik selanjutnya ia akan mampu berkreasi, mencipta, dan berinovasi membentuk bangunan kebudayaan.
             Kebudayaan akan dapat maju dan berkembang dengan baik dan optimal manakala jaringan pemikiran warga masyarakat tertata secara baik. Jaringan pemikiran mereka akan dapat tertata dengan baik hanya apabila penguasaan bahasa masyarakat juga berkualifikasi baik. Begitulah realita hubungan antara media, bahasa, dan kebudayaan dan gambaran bagaimana ketiganya dapat saling berpengaruh. Akhirnya,  saya ingin mengatakan bahwa pergulatan dengan bahasa Indonesia termasuk bahasa laras jurnalistik sepertinya mudah untuk digunakan, namun dalam praktiknya jagat bahasa seperti benua yang akrab kita kenal, tapi banyak ranah-ranah yang masih perlu dijelajahi. Dan sepertinya penjelajahan ini tak berujung berkesudahan (Ari Hidayat)         
(Dimuat di Harian Radar Tasikmalaya, 2010)

Minggu, 29 Januari 2012

Mengerling Kenangan

Cerpen



Mengerling Kenangan

Oleh: Ari Hidayat

             Waktu seperti ini adalah saat paling menyiksa bagiku. Ketika mengisi formulir pendaftaran, aku kebingungan mengisi identitas orang yang lekat dengan diriku. Nama seseorang yang telah aku kubur bersama bangkai kenangan selama lebih dari sepuluhan tahun. Dialah ayahku yang telah kabur setelah ibuku menggugat cerai dia, ketika aku masih kecil.  Kini aku pun seperti biasanya menuliskan status pekerjaan ayahku dengan profesi wirausaha. Sebuah pekerjaan yang sepertinya itulah yang dengan terpaksa aku tuliskan, sebab aku tak tahu  apa profesi ayahku sekarang.
              Ya, kini aku diterima di sebuah perguruan tinggi negeri di kotaku. Saat-saat seperti itulah, seperti mengisi formulir pendaftaran ini,  yang sering mengingatkanku terhadap sosok ayahku. Dalam ingatanku, hanya muncul sepotong-sepotong gambar tentang lelaki itu. Meski begitu, sesungguhnya aku merindukannya. Tapi, setiap mengeja kenangan tentangnya segera muncul perih dalam hatiku. Sehingga, bertahun-tahun aku dilanda kebencian terhadap sosok ayahku. Begitulah berulang. Dan aku pun berusaha untuk melupakannya. Bukankah dia juga sudah melupakanku?
               Hari ini di kampusku hanya mengadakan pendaftaran ulang. Begitu selesai urusan administratif itu, aku pulang ke rumah menumpang angkot. Pukul 10-an begini rumah masih sepi, hanya Ijah pembantu kami yang ada, sedangkan ibuku tentunya masih bekerja di kantornya dan biasanya baru pulang sore. Dalam angkot di hadapanku duduk seorang bapak dan entah kenapa aku pun seketika teringat akan ayahku. Ayah yang telah menguap bersama angin dan tidak kuketahui lagi keberadaannya. Dulu ketika di SMP sempat aku berpikir, kalau perpisahan dengannya disebabkan oleh maut tentu rasa kehilangan itu tak terlalu pahit seperti ini. Hingga kini aku pun tak tahu apakah dia masih hidup atau telah tiada. Semuanya gelap.
                  Menuju rumahku, dari luar terlihat mobil ibu terparkir di garasi yang pintunya terbuka. Ternyata dugaanku meleset, ibu sudah pulang. Ataukah beliau cuma mampir ke rumah karena ada suatu keperluan? Aku tak tahu pasti. Di depan pintu kuucapkan salam seraya langsung membuka pintu. Dari dalam kamarnya, kudengar suara ibu memanggilku. Aku pun melangkah ke kamarnya. Kulihat ibu sedang berbaring di tempat tidur.
                   “Ibu agak kurang enak badan, karena itu pulang lebih cepat,” ucapnya seraya menggeser posisi tubuhnya ke tengah ranjang. Aku pun duduk di tepi tempat tidur.
                    “Kalau ibu sakit, Santi antar ke dokter,” pintaku. Ibu menggelengkan kepala.
                    “Tidak perlu, ibu sudah minum obat dari warung, dibelikan Ijah. Mungkin hanya flu,” kata ibu.
                      “Bagaimana daftar ulangnya sudah beres?” tanyanya.
                       Aku menjawab dengan anggukan kepala. Sepertinya ibu mengetahui pasti aku kurang nyaman hati kalau membicarakan urusan-urusan admistratif seperti di kampusku tadi. Betapa tidak,  kami sepertinya menyimpan luka yang sama dan akan  tergores lagi setiap membuka percakapan tentang status keluarga, yang memang meskipun sudah lenyap nama ayahku terbawa terus.
                  “Sudahlah San, lupakan saja  lelaki itu. Dia tak pantas menjadi ayahmu. Anggap saja seperti mimpi buruk yang tak perlu kita ingat-ingat lagi,” katanya.      
                    “Iya, Bu,” jawabku pelan. Hatiku berkelahi antara benci dan rindu, antara membenamkan kenyataan atau menggalinya. Sesungguhnya, aku sudah lama memaafkan ayahku. Bagaimanapun dia tetap ayah biologisku. Apalagi kalau berpikir jauh, suatu saat nanti jika aku menikah tentu aku memerlukan dia sebagai wali karena aku wanita. Meski dalam keadaan seperti itu, ibu suka menghiburku dengan alasan bisa saja wali nikahku dikuasakan kepada wali hakim. Hingga kini, aku pun tidak paham kenapa ibu demikian membenci ayahku. Waktu itu, saat ayah masih bersama kami, aku belum mampu menggambar dalam ingatanku tentang makna cinta dan kebencian pun tentang pertemuan dan perpisahan.
                   Berkali-kali pembicaraan seperti itu membuat suasana hatiku tak nyaman. Aku lebih banyak diam dan menggores-goreskan pensil khayalan dalam benakku untuk menerka-nerka apa yang sesungguhnya terjadi. Dari mulut ibu pun tak banyak yang kuketahui soal itu. Yang jelas, intinya bahwa ayah  sudah tidak layak lagi sebagai kepala keluarga, sehingga ibu pun menggugat cerai dia. Kata ibu setelah bercerai dengannya, ayah pindah ke pulau lain. Mengingat sosok ayah, seperti mengeja mimpi samar. Dalam kenyataan hidupku kerap menjelma sejuta heran. Pertanyaan yang terus memburu jawaban tentang seseorang yang tega melupakan dan meninggalkan orang-orang yang pernah dicintainya.
                 Cinta pun ternyata bisa kandas dan berujung perselisihan. Itulah mungkin dunia, tidak ada yang langgeng di dalamnya. Akhirnya, aku dan ibuku hidup tanpa kehadiran seorang ayah. Sempat aku tak merelakan ibu mencari sosok penggantinya, meskipun aku kasihan juga melihat ibu tanpa pendamping. Lambat laun aku pun merelakan ibu jika menikah lagi. Namun, kenyataannya ibu masih sendiri. Bukannya tak ada lelaki yang berusaha mendekati ibu, tapi ibu tak menanggapinya. Sempat kutanyakan mengenai itu, ibu hanya menjawab singkat tak akan menikah lagi, karena kasihan kepadaku.
               Meskipun kami hanya berdua di kamar ibu, kalau menyinggung kenangan tentang ayah, aku merasakan sosok lelaki itu seperti hadir di hadapanku. Membicarakannya sepetirnya menjadi perbuatan sia-sia dan tidak bijak sehingga harus lekas-lekas diakhiri saja. Aku pun pamit pada Ibu yang sedang sakit dan meninggalkanya sendirian.
                Keesokan harinya, selepas tidur aku menuju kamar ibu dan kulihat dia sedang duduk di atas sajadah dengan kedua tangannya menengadah doa. Aku bersyukur ibu sudah sembuh, selanjutnya melangkahkan kaki ke kamar mandi untuk berwudu. Kaki-kaki hari terus merangkak, jam dinding di kamarku menunjukkan angka delapan . Ibu sudah berangkat kerja, sedangkan aku bersiap-siap untuk pergi ke kampus. Ini hari pertama aku kuliah. Agak canggung juga sebab sebelumnya pergi belajar memakai seragam kini berpakaian bebas. Saat  berkemas-kemas itu, dari luar mendadak terdengar suara petikan dawai gitar dilajutkan dengan seorang lelaki yang bernyanyi. Ah, pengamen, sepagi ini. Aku pun memanggil Ijah untuk memberi pengamen itu uang recehan.
                    Ijah mengambil uang receh itu dan melangkah ke teras depan dan aku tergesa-gesa segera berangkat ke kampus. Tapi, di pintu kamar aku nyaris bertubrukan dengan Ijah yang berlari tergopoh-gopoh menghampiriku.
                     “Aduh,  Ijah ini bagaimana ,” kataku kaget.
                      “Anu, Neng Santi,  pengamen itu aneh, tidak mau bibi kasih uang, malah dia menitipkan ini buat Neng,”  tutur Ijah sambil menyerahkan sebuah amplop plastik ukuran folio.
                    Aku pun heran ada juga orang iseng sekarang ini. Buat apa pengamen sampai nitip amplop segala. Tadinya, aku mau menyuruh Ijah agar amplop itu dibuang ke tempat sampah saja, tapi tak jadi. Aku hanya penasaran ingin mengetahui isi amplop itu. Ternyata isinya sepucuk surat, selembar foto ukuran kartu pos bergambar seorang perempuan muda menggendong bayi didampingi seorang lelaki. Kutatap sejenak foto itu, entah kenapa mataku cepat beranjak melihat dua lembar dokumen. Lembar yang satu kubaca, sebuah surat wasiat di dalamnya tertulis nama-nama yang mirip dengan nama seorang lelaki yang biasa kutuliskan sebagai ayah kandungku dalam formulir atau daftar isian lainnya dan nama yang mirip dengan namaku. Selembar kertas berikutnya adalah sertifikat hak milik rumah. Sejenak aku tertegun dan kaget. Kejadian itu, nama lelaki yang tercantum dalam kedua dokumen itu,  hanyalah kukenal lewat ingatan redup  dan kini muncul kembali mengerling kebisuan kenangan,  mengetuk pintu kenyataan. ***

(Dimuat di Radar Tasikmalaya, Minggu, 20 Maret 2011)

Jumat, 27 Januari 2012








Telepon


Telepon


.
             Teknologi komunikasi  saat ini berkembang dengan cepatnya. Komunikasi secara teknologis antarmanusia yang dulu hanya lewat telepon kabel,  kini melaju lewat penggunaan telepon selular (ponsel). Kalau di awal 90-an, ponsel masih belum memasyarakat seperti sekarang. Ketika itu, ponsel belum mengenal  kartu pascabayar dan belum tersedia fasilitas Short Message Service (SMS) atau pesan singkat. Tapi, sekarang dalam waktu yang cepat ada saja perkembangan baru dalam dunia ponsel ini.
             Bagaimanapun alat komunikasi ini telah menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat kita kini. Suatu komunitas yang menghendaki adanya efektivitas dan efisiensi dalam hidupnya termasuk saat berkomunikasi dengan sesamanya. Betapa tidak, kini ponsel bisa dibawa ke mana saja dan dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas yang menarik, seperti foto digital dan akses internet. Pengguna ponsel pun kini beragam mulai dari pejabat sampai rakyat biasa, dari mahasiswa hingga siswa SD.
              Dengan kata lain pemakaian ponsel kini sudah menjadi kebiasaan (budaya) di antara kita. Dulu di kalangan pers, budaya telepon dikenal sebagai adanya campur tangan pihak luar (tertentu) untuk menyensor atau melarang suatu pemberitaan. Tentunya, ini sangat kontradiktif dengan makna budaya itu sendiri yang sejatinya berarti positif. Kini, kebiasaan kurang baik terhadap media massa itu sudah ditinggalkan. Saya hanya ingin mengungkapkan budaya telepon dalam pengertian kebiasaan masyarakat kita dalam berkomunikasi kini yang telah menggeser cara tradisional seperti dari mulut ke mulut, korespondensi dll dengan cara baru itu. Sehingga kini dalam komunikasi sehari-hari kita sering mendengar istilah hubungi via telepon atau SMS.
              Bahkan praktisi pers dari Kompas di Koran Tribun Jabar  pernah mengatakan, budaya kerja jurnalis kini mengalami pergeseran. Cukup dengan alat komunikasi tertentu dalam genggaman dia dapat sekaligus mengirimkan berita, foto, dan video. Fenomena budaya telepon itu sesungguhnya mengikuti era konvergensi (multimedia). Suka maupun tidak suka  teknologi multimedia  diakui tak hanya memudahkan kerja jurnalis namun juga pekerjaan-pekerjaan lainnya ( dengan online).
               Hingga pada era multimedia itu pun  kita dituntut untuk mengikuti dan memanfaatkan produk-produk teknologi termasuk dalam bidang komunikasi. Pun pemanfaatan teknologi itu selaras dengan "gaya" masyarakat industri yang menuntut segalanya serbacepat, praktis, dan efisien.
           Nampaknya, dalam  silaturahim pun sebagai salah satu bentuk interaksi antarmanusia tidak jarang sekarang sudah tergantikan dengan cukup telepon saja atau hanya SMS. Korespondensi (surat-menyurat) yang dulu sempat menjadi bagian dari kehidupan kita pun sepertinya kini meluntur. Sekarang budaya surat-menyurat mungkin dianggap kuno dan hanya ada saat perlombaan saja. Namun, dalam kehidupan kini, korespondensi  praktis sudah ditinggalkan banyak orang. Ponsel dengan SMS dan fasilitas internetnya lebih menarik ketimbang dengan korespondensi itu.
               Memang kita menghendaki sesuatu yang mudah dalam hidup ini. Kita pun tidak bisa menutup mata terhadap perkembangan teknologi komunikasi itu agar kita bisa berinteraksi dengan dunia global. Meskipun teknologi informasi dan komunikasi berkembang pesat, namun kita saat ini masih dianggap sebagai bangsa user  belum sebagai creator.
               Oleh karena itu, seyogianya antusiasme masyarakat terhadap alat komunikasi terutama di kalangan muda membuat mereka terpacu untuk bisa berkarya seperti produsen ponsel itu (Koran Tribun Jabar). Dan nampaknya, di kita pun  upaya ke arah itu sudah ada. Misalnya, perlombaan menyangkut ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Sehingga, suatu saat kita pun bisa menghasilkan produk-produk teknologi komunikasi yang sejajar dengan Negara maju. Pemerintah pun perlu mengalokasikan dana yang memadai untuk pengembangan iptek. Jangan sampai seperti dulu, ada lembaga penelitian yang  kerja pegawainya hanya duduk membaca koran dari pagi hingga sore diselingi tidur siang. Pekerjaan seperti itu, menurut mereka karena kurangnya dana untuk riset termasuk penelitian.              
                  Selain membawa kemudahan dalam hidup,  kita pun perlu mewaspadai ekses-ekses negatif dari budaya telepon ini. Seperti, pornografi dalam ponsel, penipuan via telepon dan judi bola via SMS. Bagaimanapun, ponsel  sudah menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat modern. Ponsel pun bisa menjadi inspirasi bagi seniman untuk berkarya seperti lagu dangdut “SMS”. (Ari Hidayat)                                                

Kamis, 26 Januari 2012

Resensi Buku







Resensi Buku


Judul             : Seperti Aku
Jenis buku     : Novel
Penulis          : Bayu Asmara
Tebal            : iv + 267 hlmn
ISBN            : 978-602-225-024-1
Cetakan ke-1: Juli 2011
Penerbit        : Leutikaprio, Yogyakarta


NovelSeperti Aku”
Sketsa Orang Gedongan Tasik Tempo Dulu

         Novel ini menceritakan tokoh anak cewek bernama Cece yang mengejar jawaban tentang bapaknya yang selalu mengharapkan kelahiran anak lelaki setiap ibunya mengandung. Hingga setiap terlahir dari rahim ibunya itu bayi perempuan ayah Cece nyeletuk, “Kawas (seperti) kamu.” Cece yang masih bersekolah SD berusaha mencari jawaban dengan caranya sendiri kenapa ayahnya bisa seperti itu dan siapa anak cowok itu.
        Cece pun seperti berdialog dengan dirinya sendirinya dalam menjawab pertanyaannya yang suka muncul dalam benaknya itu. “Seperti kamu”. “Seperti aku, anak cewek.”Begitulah kata-kata Cece. Dengan gaya penuturan yang lumayan lancar dan bernuansa populer penulis novel ini Bayu Asmara (nama samaran dari Mariana Diah Susilawaty) menuliskan “petualangan” Cece untuk beroleh jawaban atas pertanyaan itu. Cece mulai mengamati kebiasaan kakak dan adik cowoknya. Tapi, pertanyaan itu tak terjawab tuntas sampai akhir cerita.
         Sehingga, novel ini pun lebih banyak mendeskripsikan sebagian perjalanan keluarga Cece, tentunya dalam kacamata anak seusianya. Cerita ini cukup menarik mengilustrasikan keadaan keluarga orang kaya dengan latar tempat Tasikmalaya tempo dulu. Tasik pada era akhir 1960-an, atau awal thaun 1970-an. Bagi kita yang mengalami masa kanak di era itu seakan dibawa kemabali membuka catatan lalu tentang kota ini.
         Seamsal ketika Kolam Renang Gunung Singa masih ada (kini Hotel Santika) lengkap pula dengan kebiasaan-kebiasaan anak-anak  ketika itu. Termasuk kebiasaan orangtua terhadap anaknya. Soal ini ada kejadian konyol ayah Cece (maaf) yang mengencingi wajah anak perempuannya itu saat matanya sakit. Bapak Cece melakukan itu dengan alasan agar anaknya itu cepat sembuh. Cukup konyol memang, tapi mungkin pernah dilakukan pula oleh orangtua dahulu.  
            Karena berlatar Tasik dulu, maka   tak heran banyak pula kosa kata bahasa Sunda seperti ririwit, jalingkak masuk dalam cerita ini. Sedang keberadaan orang gedongan Tasik saat itu, diceritakan tentang pembantu rumah tangga, anak-anak yang selalu diberi uang jajan, rumah di pinggir jalan, mobil sebagai kendaraan keluarga (yang kala itu masih barang langka) dll. 
          Terlepas dari novel ini yang terkesan biografis, namun enak juga untuk dibaca terutama bila ingin mengenang  sekilas keadaan Tasik tempo dulu. Tasik yang masih belum seramai sesemarak sekarang. Satu mungkin yang kurang akurat adalah menuliskan judul film laga yang dibintangi Jacky Chan dengan Drinks Master (h.184) seharusnya Drunken Master (Ari Hidayat)
(Dimuat di Harian Umum “Kabar Priangan”,  Rabu, 26 Oktober 2011)

Selasa, 24 Januari 2012

Buku yang Inovatif


Buku yang Inovatif
     Kata inovasi (Wikipedia) dapat diartikan sebagai "proses” dan/atau “hasil” pengembangan dan/atau pemanfaatan/mobilisasi pengetahuan, keterampilan (termasuk keterampilan teknologis) dan pengalaman untuk menciptakan atau memperbaiki produk (barang dan/atau jasa), proses, dan/atau sistem yang baru, yang memberikan nilai yang berarti atau secara signifikan (terutama ekonomi dan sosial).
     Terhadap produk barang dan jasa hasil inovasi itu bisa disebut sebagai suatu yang inovatif. Tanpa bermaksud mengkontraskan, hemat saya munculnya media baru (online) yang berbasis internet dan segala turunannya termasuk sesuatu yang inovatif itu. Begitu pula dengan hadirnya e-book.
      Dalam amatan saya menarik pula diperhatikan inovasi-inovasi produk bernama buku. Peter Zilahy menulis, “Window Giraffe”, sebuah buku berbentuk kamus dan novel. Bukunya itu dinilai sesuai dengan tradisi membaca di Hongaria. Sedangkan di tanah air, seorang penulis, penyanyi, dan pencipta lagu menggebrak dunia perbukuan Indonesia dengan karya fenomenalnya “Abadilah Cinta”. Bukunya itu disebut-sebut sebagai novel pertama di dunia yang menerapkan konsep terintegrasi antara novel soundtrack, video klip,  dan dinyanyikan sendiri oleh penulisnya. Novel inovatif ini langsung dicetak ulang 5 hari setelah  launching. Penulisnya adalah Andrei Aksana, cucu pujangga Sanoesi Pane dan Armijn Pane. Ia putra kedua novelis Nina Pane dan Jopie Budiarto.
       Berikutnya, vokalis Deugalih Band, Galih Nugraha Su berkolaborasi membuat lagu berjudul, “Salamatahari” sebagai soundtrack buat buku cerita berjudul “Salamatahari”, Sundea. Vokalis yang sempat tampil bareng Daniel Sahuleka itu menulis juga lagu sebagai soundtrack buku ”Kuricorder Pop Orchestra” untuk soundtrack Yotsubato Comie Book yang dirilis pada 2006. Tak hanya mereka, novelis, penyanyi, Dewi “Dee Lestari”, meluncurkan kisah romantik dalam buku “Recto Verso” (2008) berisi 11 cerita pendek (cerpen) dan 11 lirik lagu. Buku ini dijual terpisah dengan judul lagu serupa dengan judul “Recto Verso”. Salah satu kisah menarik yakni cerita yang berjudul sama dengan lagunya, “Malaikat Juga Tahu”. Video klip lagu ini pernah diputar di stasiun televisi swasta (Ari Hidayat, dari berbagai sumber)

Tulisan yang Menggoyang Dunia


Tulisan yang Menggoyang Dunia

        Tiap kata, kalimat dalam sebuah tulisan mengandung makna dan kekuatan. Tulisan tidak hanya cetusan pikiran penulis, tapi ia pun dapat membentuk pikiran bahkan memengaruhi publik. Dengan demikian,  deretan kata dalam tulisan itu dapatlah dikatakan mempunyai kekuatan. Bahkan kekuatan kata-kata dalam tulisan ini bisa menggerakkan peristiwa-peristiwa, sehingga mengukir sejarah. Tidak sedikit tulisan-tulisan itu dapat mengguncang dan mengubah sejarah dunia.
         Demikian kuatnya pengaruh tulisan dapatlah dipahami, sebab ia bisa dibaca oleh puluhan, ratusan bahkan ribuan orang. Tulisan pun dapat dipelajari berulang-ulang baik saat tulisan itu dipublikasikan maupun dalam kurun waktu yang lama setelahnya. Cetusan ide, data, fakta, dan pertistiwa tertentu yang terungkap dalam sebuah tulisan bisa mengejutkan orang. Ia terekam dalam benak seseorang, kemudian memengaruhi khalayak pembacanya. Pengaruh inilah yang bisa mengubah pola pikir, sikap, dan perilaku seseorang. Sehingga, tak heran bila tulisan itu mempunyai makna dan kekuatan tersendiri.
         Manusia memang dipengaruhi oleh kata-kata yang didapatinya. Biasanya dalam  bertutur dan bersikap manusia merujuk dari apa yang ia rasakan, dengar, lihat dan baca. Dengan membaca tulisan seseorang, khalayak memeroleh pengetahuan baru. Membaca dengan segala kandungan dan falsafah yang tertuang dalam sebuah tulisan, telah sanggup mengubah keadaan. Perubahan-perubahan dahsyat di pentas dunia dipelopori oleh bacaan-bacaan atau tulisan –tulisan (Lilis Nihwan S, 2005:21).

        Karya tulis (tulisan) terutama yang telah diterbitkan menjadi  baikbuku konvensional maupun e-book berupa fiksi, maupun non fiksi seperti filsafat, ekonomi, sosial, dan budaya memiliki kekuatan untuk mendorong setidaknya menginspirasi terjadinya arus perubahan sosial. Novel Max Havelar karya Multatuli dipercaya telah mendorong gerakan politik etis di kalangan Hindia Belanda untuk mengubah kebijakan politiknya terhadap warga pribumi. Hasilnya pemerintah Hindia Belanda lebih memerhatikan pendidikan kaum pribumi dengan mendirikan sekolah-sekolah untuk pribumi dalam lembaga penerbitan Balai Pustaka, sajak-sajak Rabendranat Tagore dipercaya telah mendorong rakyat India terlepas dari penjajahan Inggris. Sedangkan, Uncle Tom’s Cabin dipercaya telah menghapus perbudakan di Amerika Utara.
        Revolusi-revolusi besar di dunia selalu didahului oleh jejak-jejak pena dari seorang penulis. Pena mereka mencetuskan suatu ide dan cita menjadi bahan pemikiran dan pedoman dalam perjuangan. Revolusi Prancis bergerak di bawah cahaya pikiran pikiran dan cetusan pandangan yang diungkapkan oleh JJ Rousseu dan Montesquieu. Revolusi Amerika dibimbing oleh Declaration of Independence (Deklarasi Kemerdekaan) yang hingga kini dijadikan pedoman besar bangsa Amerika. Peristiwa aktual dapat disebutkan,  George Walker Bush menginvansi Afghanistan dan Irak serta mengancam Iran dan Suriah karena terprovokasi oleh buku Clash Civilization karya Samuel Huntington.
         Buku-buku karya pemikir Muslim seperti Sayid Quthub, Hasan Al Banna dan Yusuf Qardawi, juga dapat dianggap sebagai buku yang telah mengukir sejarah. Buku-buku Hasan Al Banna menginspirasi munculnya gerakan Ikhwanul Muslimin – akar gerakan Hizbut Tahrir yang kini berkembang di seluruh dunia. Buku-buku Quthub  menginspirasi gerakan jihad di dunia Islam dan buku-buku Qardawi menginpirasi gerakan pentingnya membangun masyarakat berbasis syariat.
          Sejarah revolusi Indonesia pun didahului oleh pemikiran-pemikiran Revolusioner dari Bung Karno, Bung Hatta, Sjahrir, dan Tan Malaka. Pidato Pembelaan Bung Karno di muka pengadilan kolonial di Bandung yakni Indonesia Menggugat, brosur revolusioner Mencapai Indonesia Merdeka, pidato pembelaan Bung Hatta di muka pengadilan Den Haag yang berjudul Indonesia Vrij dan buku kecilnya Ke Arah Indonesia Merdeka. Begitu pula tulisan-tulisan Sjahrir dalam “Daulat Rakyat” tentang taktik dan strategi perjuangan dan buku-buku Tan Malaka yang diselundupkan dari luar negeri telah menjadi inspirasi bagi perjuangan kemerdekaan tanah air. Dapat disebut juga Surat-surat Kartini ikut memajukan perempuan di Indonesia.
         Penyair dan praktisi pers, Ahmadun Yosi Herfanda dalam sebuah tulisannya mengungkapkan ciri-ciri buku yang menginspirasi terjadinya arus perubahan sosial dan mengukir sejarah adalah isinya tebal, konseptual, visioner, dan mendasar. Ketebalan ini dapat dimengerti sebab, buku-buku itu ditulis dengan pemikiran yang matang. Isinya pun tidak sekadar  mengungkapkan isu dan sensasi permukaan, tanpa kedalaman dan keberanian menawarkan tesis baru yang mampu mengubah opini publik (Ari Hidayat)

Senin, 23 Januari 2012

Rumah Bernomor Nol


$$$= RUMAH BERNOMOR NOL =$$$

Selasa, 29 November 2011 , Posted by mariana at 01:54



Judul: 
Rumah Bernomor Nol

Anak Cinta dengan Seribu Luka

Rumah kebersamaan sempat kita tinggali sesaat
Setelah itu, aku pergi sendirian ke pengasingan
Sebab, kebersamaan pun tak bisa sembuhkan
luka masing-masing
Saat itu, kau masih mungil untuk menggambar
jawaban tentang pertemuan dan perpisahan

Waktu berlari menyisakan luka bagimu
Serupa pisau mengerat bambu
dalam ruas-ruas ingatan yang sulit terbaca
hanya jejak-jejak seribu luka yang ada
Ingin kubalut lukamu dengan perban kerinduan
berplesterkan kasih sayang. Tidak di rumahmu
cukup dalam kamar hatiku. Tidak sekarang
mungkin saja nanti

Judul: Rumah Bernomor Nol
Penulis: Ari Hidayat
Penerbit: Arias
Rp 20rb

Silakan pesan via sms 081914032201
Tulis nama/alamat/judul buku yg dipesan

******





Rampai Media Massa


$$$= RAMPAI MEDIA MASA =$$$

Selasa, 29 November 2011 , Posted by mariana at 02:03


Judul: 
Rampai media Massa

Penulis: Ari Hidayat

Media massa atau disebut pula pers, baik cetak maupun elektronik menarik untuk diamati. Sebab, media itu mempunyai filosofi, tujuan, sikap, dan orientasi nilai sehingga dapat hidup dan berperan dalam masyarakat. Pada era multimedia kini, media mengalami transformasi fundamental seiring dengan adanya teknologi baru internet. Media massa pun membentuk media online sebagai saluran lain untuk menyiarkan berita, opini dan berinteraksi dengan khalayak pembaca dan pemirsanya. Begitu pula bermunculan media alternatif menggunakan internet sebagai salurannya. Contohnya, hadirnya laman-laman (website/situs) berita di dunia maya.
Sekarang nampaknya orang begitu mudah mencari, mengolah, dan memublikasikan informasi dan opini terutama melalui dunia cyber. Sehingga muncul istilah jurnalisme warga (citizen journalism). Dalam aktivitasnya media massa memakai bahasa (tulisan) untuk memublikasikan informasi dan pandangan (opini). Bahasa yang digunakan media memiliki ciri khas yang disebut bahasa laras jurnalistik. Media massa pun terutama koran sangat berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan bahasa Indonesia. Karena media dan bahasa menyangkut manusia, maka keduanya berkaitan erat dengan kebudayaan. Media yang manjalankan fungsinya dengan baik, menggunakan bahasa secara baik dapat menumbuhkan kebiasaan-kebiasaan (budaya) yang baik pula dalam masyarakat.
Buku rampai media massa ini merupakan sekumpulan esai yang dimuat di media lokal, daerah, dan nasional (sepanjang tahun 2002- 2010). Esai-esai itu merupakan amatan terhadap sudut-sudut yang mungkin terlupakan, masalah, dan fenomena yang berkaitan dengan kehidupan media. Topik khususnya disesuaikan dengan tren esai di media yang lebih mengedepankan aktualitas persoalan. Di buku ini pun dihimpun tulisan mengenai budaya literasi (menulis) yang erat kaitannya dengan media. Seperti diketahui media massa kita juga menerima esai-esai dari penulis luar untuk dipublikasikan di saluran-saluran informasi mereka yakni media massa cetak.

Judul: Rampai media Massa
Penulis: Ari Hidayat
Penerbit: Arias
ISBN 978-602-9160-09-3
Rp 25rb

silakan pesan via inbox atau sms 081914032201

******






Kepada Kawan


                 

 Puisi-puisi Ari Hidayat

                                                 Kepada Kawan
                         Cukup sudah kau eja masa lalumu beserta sekalian
                         daun-daun pahit kehidupan yang kau kunyah,
                         boleh jadi obat buatmu. Dan jalan-jalan berbatu
                         beserta kabut menghadang, boleh jadi kau retas
                         dan dedah tanpa kau sadari. Tak perlu kau mabuk
                         dalam sesal lalu.  Kau punya mampu, berbuatlah sesuatu
                                                                                                        2011

                         Surat yang Tertunda
                          

                      Kembali  mengenangmu
                      Sepi mencabik-cabik  rindu
                      Pada tubuh waktu
                      Kerinduan pada kerling perjalanan
                     Menuju rumahmu
                     Kerlap-kerlip lampu malam dari jauh
                     Cahaya kunang-kunang di semak-semak
                     Ingin kutangkap semua itu
                     Ingin kudekap  wangi  kembang
                     Yang dikirim angin

                      Tapi,  pada detak jam 
                     Yang menghunjam jantung sunyi hari
                     Kerinduan hanyalah jejak membeku
                    Yang tak tiba di tujuan itu

                      
                     2011
                                 
 
                  Surat dari Pucuk Mimpi
                      

                       Aku tak bermaksud membuang-buang waktu untukmu
                      Aku hanya ingin menyampaikan setangkai rindu
                      Yang  tumbuh dari benih mimpi, terkadang mengoda
                      Hari-hari jagaku untuk bertemu denganmu

                     2011
                      
                         Pengubur Rindu
                   
                         Kulihat  ada yang mengubur rindu

                         Dalam hati merenggang
                         Di jalan yang melepaskan:
                         Kebersamaan
    

                        2010

                                                                                       

                                    Insomnia                            
                             Terkadang  gelisah datang tak diundang
                             ia duduk seenaknya di kedua bola mata
                             berselingkuh dengan pikiran nakal untuk
                             membuat  film tak karuan dalam ingatan
                             yang harus selalu kutonton
                             membuat mataku sulit terpejam
                            2009    
                
      
                    Pemburu Kenangan
                    Saat senja turun, kabar yang dibawa angin pun
                    tentang itu-itu saja. Ingin kudengar cerita lain,
                    tapi kata-katamu serupa satu wajah waktu itu saja
                    kupungut sejumput kata lain dan ternyata ia
                    berjalan ke depan

                    2011