Entri yang Diunggulkan

Di Sebuah Ranah

Saya menamainya   ranah   atau wilayah dalam arti seluas-luasnya di mana kebenaran dipersoalkan. Kebenaran dari yang mempersoalkan adalah k...

Minggu, 16 Desember 2012

Tulisan Berkesan Menggurui?



      Sejumlah  buku tentang bagaimana menulis suka mengatakan dan seakan dijadikan rambu oleh penulis yakni, menghindari nuansa tulisan kita yang menggurui. Teringat akan itu saya sempat membuka tulisan-tulisan  (esai) saya baik yang sudah dimuat di media cetak maupun online untuk memerhatikan apakah tulisan saya itu ada yang seperti itu? Tapi yang menggelitik hati saya bukan sepenuhnya tentang tulisan yang sempat saya buat itu, namun pengertian tentang bagaimana kita menghindari agar pembaca tidak seperti digurui?
      Lebih jauh dalam benak saya muncul pertanyaan apa dan yang bagaimana agar tulisan kita tidak bernada menggurui? Menulis bagi saya adalah media berbagi. Ada sesuatu yang hendak saya ungkapkan, sampaikan lewat tulisan yang saya buat. Meski tak ada niatan untuk menggurui, kembali pikiran saya diterjang pertanyaan sebetulnya adakah tulisan seperti itu? Adakah tulisan yang tak berkesan menggurui? Bukankah  kita-katakanlah saat hendak menulis esai- juga sejatinya  menyisipkan argumentasi, opini, penjelasan-penjelasan kita? Dan tulisan ini, meski mungkin tak bermaksud mengajarkan sesuatu pada akhirnya bisa dinilai menggurui?
      Agar lebih jelas saya mengambil contoh saat  hendak menulis dengan judul  Agar Tulisan Enak Dibaca atau  Tips Supaya Tulisan Kita Dimuat Media, saya akan menjelaskan tentang tema-tema itu secara lengkap seolah sedang mengajarkannya.  Tentunya, sangat sulit untuk menghindari  nuansa menggurui dalam topik seperti itu. Tak hanya itu mungkin tulisan-tulisan tema lainnya.  Pertanyaan lain yang juga mengusik pikiran saya (pengalaman pribadi) bukankah saya pun kerap belajar atau memetik pelajaran  dari tulisan-tulisan yang saya baca? Tak pernah saya menilai apakah tulisan yang saya baca itu bernada menggurui atau tidak, kalau menarik  saya baca. Selepas itu, tak jarang saya seperti mengambil pelajaran darinya. Secara tidak langsung dalam proses seperti itu seakan ada pembelajaran. Saya sebagai pembaca bertindak sebagai muridnya dan gurunya adalah penulis. 
    Jadi, apakah masih tepat kalimat seperti itu yang seolah sudah jadi standar aturan tertentu dalam menulis  menghindari nuansa menggurui?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar