Entri yang Diunggulkan

Di Sebuah Ranah

Saya menamainya   ranah   atau wilayah dalam arti seluas-luasnya di mana kebenaran dipersoalkan. Kebenaran dari yang mempersoalkan adalah k...

Selasa, 14 Agustus 2012

Feature

Berita khas (feature) yang saya buat ketika saya jadi wartawan SKH Kabar Priangan dan dimuat di harian itu, sejumlah tahun lalu,


Haru Lebaran di Panti Asuhan
Wajah Cucu Nurhaeni (17) tampak sedih. Betapa tidak, remaja seusianya pada malam takbir itu, Sabtu (15/12) seharusnya bergembira. Mereka bisa berkumpul dengan keluarga di rumah. Namun Cucu anak yatim piatu itu harus melewatkan malam takbir, bahkan berlebaran di Panti Asuhan Yayasan Syubbanul Wathon, Jl Sutisna Senjaya, Cicurug Bata, Kota Tasik.

Saat berbincang-bincang dengan Priangan pada malam takbir, dia tidak menyembunyikan diri dari sedih. Remaja asal Ciamis ini, lebih sering berbicara seraya menundukkan kepala. “Tentu saja saya sedih. Pada malam takbir seperti ini, orang lain sudah kumpul dengan keluarga.  Sementara saya masih di sini (Panti Asuhan),” ungkapnya sendu.

Apalagi sebagai anak yatim piatu pada saat-saat seperti malam  takbir dan Lebaran senantiasa teringat kepada almarhum orangtuanya. Hanya doa yang bisa disampaikannya buat mereka. Biasanya, kata Cucu, Lebaran dia berziarah ke makam kedua orangtuanya.

Dia mengaku sudah lama tidak mengingat-ingat lagi tradisi  berlebaran yang biasa dilakukan kebanyakan orang. Seperti memakai baju baru dan menikmati makanan khas Idul Fitri. Tapi, untuk ini Cucu tidak merasa sedih betul. “Yang penting saya bisa menjalankan puasa dan bermaaf-maafan saat Idul Fitri,” tuturnya.

Senada dengan Cucu anak Panti Asuhan lainnya, Yuyus, merasa sedih harus berlebaran di panti. Kesedihannya bertambah ketika melihat orang lain sudah pulang ke rumah masing-masing untuk menyambut Lebaran bersama keluarga. Sedangkan dirinya bersama sejumlah orang lainnya bermalam takbir masih di Panti Asuhan. “Tapi buat apa berlarut-larut sedih. Lebih baik diambil hikmahnya saja,” ungkap anak yatim piatu yang sudah tinggal di panti itu selama 14 tahun.

Tatkala berbincang-bincang, teman-teman Cucu dan Yuyus di halaman Panti ramai namun takzim mengumandangkan takbir. Tak ketinggalan beduk pun mereka tabuh bertalu-talu. Mereka tampak berupaya tegar dengan menikmati dan menyemarakkan malam takbir seperti orang lain yang lebih beruntung nasibnya.

Menurut Pimpinan Panti Asuhan, KH Ma’sum, jumlah anak-anak yang diasuhnya ada 60 orang. Mereka ada seorang yang belum sekolah, SD (9 orang), SLTP (26 orang), SMU (16 orang), perguruan tinggi 2 orang, dan yang kursus sebanyak 6 orang. Asal mereka tak hanya dari sekitar Tasik, malainkan ada pula yang dari Timtim dan kota-kota lainnya di luar P Jawa.

Sejumlah besar anak-anak asuhnya, lanjutnya,  sudah ada yang mudik ke keluarga terdekatnya. Sejumlah lainnya terpaksa berlebaran di panti. Namun, sekira pukul 10.00 pagi (Hari Lebaran) mereka juga pulang ke keluarganya. Sorenya pada hari pertama Idul Fitri itu penghuni panti kebanyakan sudah kembali ke Panti Asuhan.

Menyangkut dana buat panti, KH Ma’sum mengutarakan, berasal dari swadaya masyarakat sekitar panti dan donatur seperti dari PT Mayasari Bhakti dan Yayasan Dharmais. Meski begitu, diakuinya, pantinya kini  masih terbentur dengan masalah dana.

Namun demikian, dengan keterbatasan dana, pengelolaan dan aktivitas panti tetap berjalan. Semuanya, dijalankan dengan sungguh-sungguh. Sehingga hasilnya pun cukup menggembirakan. Banyak alumni panti yang sudah bisa mandiri. Mereka ada yang lulus sarjana dan mendirikan pesantren seperti di Karawang.
“Ini jadi kebanggaan bagi saya,” tukasnya kepada Priangan pada malam takbir lalu (ahd).*** 

Selasa, 07 Agustus 2012

"Sense of News” Seorang Wartawan


Jiwa wartawan adalah rasa ingin tahu. Keingintahuan tentang suatu topik ataupun persoalan yang terjadi di sekekelingnya, dalam masyarakatnya. Berangkat dari itu, dia mencoba mengungkapkannya, dengan  mengemasnya menjadi sebuah berita lantas memublikasikannya lewat media. Dia menyampaikan pada publik realitas yang terjadi baik realitas psikologis (diperoleh lewat wawancara) maupun realitas sosial (didapat dengan observasi dll). 

Ada kaidah-kaidah (aturan) jurnalistik, ada pula perangkat-perangkat lain yang sejatinya dimiliki seorang jurnalis. Sebab bermula dari rasa ingin tahu, setelah mengetahui dengan interview (wawancara), observasi (pengamatan), dan investigasi (“penyelidikan”) ke lapangan,  pewarta yang sudah terlatih seakan bisa merasakan mana data dan fakta yang layak disebut berita, bernilai berita (sense of news).
Dalam buku-buku jurnalisme disebutkan kelayakan berita karena yang dipublikasikan itu mengandung nilai  proximity (kedekatan), prominence (keterkenalan). magnitude (berdaya tarik besar), Sedangkan tentang berita itu sendiri pada intinya dikategorikan menjadi berita langsung (straight news), news analysis (interpretative news), investigative news, dan berita khas (feature) termasuk pula laporan perjalanan jurnalistik.

Cobalah kita mengamati berita yang bertebaran di media, bandingkan dengan pengetahuan jurnalisme yang pernah kita pelajari. Suatu berita disusun oleh prinsip piramida terbalik (paragraf demi paragrafnya disusun mulai dari informasi yang penting ke yang kurang penting). Alinea pertama disebut teras berita mengandung informasi yang paling penting. Judul berita diambil/diolah dari teras berita itu. Tentu, unsur 5 W = who (siapa), what (apa), why (mengapa), when (kapan), where (di mana), dan how (bagaimana) sudah dimasukkan dalam menyusun berita. Unsur berita itu bisa pula dimulai dengan when atau why dulu dst. Jadi bersifat fleksibel (luwes).
 
Wartawan menyampaikan fakta. Dia tidak memasukkan pendapat pribadi (opini) dalam berita (andai hendak beropini ada kolomnya dalam Tajuk Rencana atau Rubrik Opini). Dia tidak memutarbalikkan fakta, memelintir, apalagi seperti mengarang-ngarang sebuah cerita yang sesungguhnya tidak terjadi dalam masyarakatnya. Jadi katakanlah dia bukan sedang membuat artikel/esai maupun mengarang cerita pendek (cerpen).  Dia melakukan cek dan ricek, berimbang dalam pemberitaannya (chek and balance), dan menjaga netralitas dan tetap berpihak pada kepentingan publik.

Kepekaan akan berita seperti itu perlu, hingga wartawan bukan hanya memberitakan berita yang sekadar berita. Jadi tidak terpaku pada kegiatan seremonial atau siaran pers (press release) semata sebagai bahan beritanya. Dalam acara seperti itu, yang dihadiri oleh tokoh penting, pejabat pemerintahan juga narasumber berkompeten lainnya, justu merekalah yang ditunggu-tunggu untuk dimintai keterangan menyangkut suatu persoalan yang kebanyakan mengenai topik aktual. Bahkan masalah-masalah yang terjadi dalam masyarakatnya. Sensivitas seorang wartawan dalam makna positif seperti itu perlu dijaga, dipelihara, dan dikembangkan.

Karena wartawan itu profesi ada kaidah-kaidah standar yang perlu dipelajari dulu secara praksis (dalam kerja praktisnya). Semacam teori-teori dasar jurnalistik. Kode etik profesi, peraturan perundangan yang berkaitan dengan media dan informasi. Memperluas dan memperdalam pengetahuannya termasuk pengetahuan umum juga bahasa asing, khususnya bahasa Inggris (Ari Hidayat

Senin, 06 Agustus 2012

KEPADA SEBUAH BULAN


Gerimis turun pada pagi buta
                             Rinai airnya berpendar
                             Terbelai jingga lampu jalanan 
                             Langit masih gelap
                             Aku tetap saja termangu
                             Ditemani petugas ronda
                             yang tertidur di gardu
                             Sebentar lagi ramadan datang
                             Bisik hatiku kepada  angin subuh lirih
                             Kenapa aku selama ini menyambutnya
                             setengah hati?    
                             Halaman demi halaman ramadhan kutulisi
                             Dengan tinta keringat membebani
                             Kali ini, kucoba menjahit baju
                             Dengan benang-benang ketulusan
                            Yang akan kukenakan pada bulan mulia itu
                             Juga kutanam harapan di sejengkal
                             kebun usiaku. Hari-hari disirami
                             derai gerimis ramadhan,
                             yang menyejukkan kerontang hatiku

                             2008


J                            

Jumat, 03 Agustus 2012

"Ngabuburit"


Alun-alun kota Tasikmalaya pada bulan puasa sore jelang beduk maghrib ramai dipadati pedagang dan pengunjung.  Mereka yang di pusat kota itu sedang “ngabuburit” (aktivitas menunggu buka puasa). Dan kebiasaan itu berlanjut tiap tahun hingga Ramadhan kini. Beragam makanan-minuman buat berbuka dijajakan di sana, aneka mainan anak-anak semisal “kolecer” yang dilesatkan ke udara memakai  sebatang bamboo pendek yang sdh diserut dan ujung  dipasang karet gelang buat melesatkan mainan itu.  Sampai sesudah dilesatkan itu “kolecer” melayang ke atas lalu berputar-putar ke bawah.

Tak hanya itu,  sejumlah hari lalu ketika saya ke sana ada pula atraksi doger monyet.  Alun-alun kerap menjadi riuh terutama banyak anak-anak (bersama orangtua mereka) dan remaja yang meluangkan waktu di tempat itu buat menunggu beduk maghrib.  Mirip dengan suasana pasar kaget,  atau pasar dadakan. Seingat saya sejak pengujung tahun 1970-an, tatkala saya masih duduk di Sekolah Dasar (SD), sudah melihat pemandangan serupa. Alun-alun ramai  sebagai tempat untuk ngabuburit. 

Saya menoleh ke masa-masa itu meski tak ingat betul saat duduk di kelas berapa (saya masuk SD Citapen 2 Tasikmalaya pada 1976) terdapat aktivitas yang mungkin tak banyak dilakukan anak-anak sekarang. Seusia itu,  saya yang berasal dari keluarga sederhana ini, pernah memanfaatkan ngabuburit di alun-alun dengan menyewakan koleksi pribadi komik-komik (cerita bergambar) untuk menambah uang jajan.  Saat itu lagi popular cergam semisal Tintin. Begitu pula novel anak-anak seperti petualangan Lima Sekawan. Ada juga komik silat, Mahabharata dll.  Tapi saya  tak ingat persis berapa tarif menyewakan itu. Apa 25 rupiah per buku?Yang saya ingat saat SD terkadang  saya suka dikasih uang jajan sebelum berangkat sekolah Rp 25 oleh almarhum kakek saya, Wiradiredja.  Uang koin itu kecil ukurannya bertahun 1971 pada satu sisinya bergambar burung Gelatik. Intinya komik itu dibaca di tempat dan saya menerima sejumlah uang dari itu. 
Selain menyewakan komik dan novel anak saya juga membuat “kolecer” sendiri dan ikut dijajakan. Di lapangan alun-alun, saya menggelar tikar kecil dan menata cergam dan buku cerita itu di atasnya juga “kolecer”  buatan sendiri.

Habis Ashar saya sudah sibuk mempersiapkan itu dan berangkat ke alun-alun buat “kerja”. Hehehe.  Pulangnya tak tentu terkadang sekira setengah enam sore. Yang jelas untuk buka puasa selalu di rumah. Uang yang saya peroleh saya masukkan ke dalam celengan yang saya buat sendiri dari kaleng susu kental  bekas dan saya simpan di suatu tempat. Kalau ingatan saya masih bagus sepertinya di kolong ranjang.  Begitulah “kerja” dadakan saya pada sore Ramadhan . Pada malam-malam tertentu saya suka mengecek celangan saya menggoyang-goyangkan kaleng itu.
 “Akh rupanya lumayan juga. Mungkin sudah cukup banyak isinya.”

Ramadhan bergulir menuju akhir puasa. Malam takbir pun tiba. Saya membobok celengan itu, menghitung isinya. Dan sekali lagi saya mohon maaf, sebab ngak ingat persis jumlahnya. Sepertinya saya menukar uang-uang koin yang saya kumpulkan itu ke ibu saya dengan sejumlah uang kertas, entah lembaran  100 rupiah, 500 rupiah, atau  Rp 1000 saya tak begitu ingat pasti. Uang hasil menukar itu saya masukkan ke sebuah dompet pemberian  Paman Suryana kerabat bapak.

Ini hari lebaran. Saya yang duduk di kelas 3 atau 4 SD ketika itu, berencara mau menonton film bioskop. Saya sempat tahu dari mobil wawar yang suka melempar-lemparkan selebaran tetang film yang akan  diputar di bioskop dari kendaraan pick-up yang dibelakangnya dipasang poster film itu. Selebaran film bioskop itu disebar-sebarkan begitu saja dari bagian depan pintu mobil wawar yang terbuka jendela kacanya saat berkeliling di sejumlah jalan di Tasik.

Saya akan nonton di Bioskop Parahyangan. Lebaran itu bioskop yang letaknya dekat Masjid Agung  itu menayangkan film Drunken Master yang dibintangi Chen Lung (Jackie Chan). Tiba di bioskop ternyata antrian sudah cukup panjang dekat pintu karcis.  Saya bergegas ikut ngantri. Kadang antrian itu seperti goyang-goyang dan pengantri  seperti berdempetan saja, seakan kadang-kadang ered-eredan, tapi cukup tertib. Tibalah saya di depan pintu loket setelah ngantri sekian lama. Namun, betapa terkejutnya saya, saat merogoh  belakang saku celana saya saku itu kosong. Ngak ada dompet saya di situ. Refleks tangan saya mengitari merogoh-rogoh isi saku itu. Tetap kosong, ngak ada dompet saya di situ.

Seketika  badan kecil saya berupaya menyeruak dari antrian dan kerumun orang dekat bioskop itu. Setelah berhasil keluar, saya berlari sebisa-bisa menuju rumah.  Tiba di rumah saya menangis sejadi-jadinya (Ari Hidayat)  

Kamis, 02 Agustus 2012

Buku


Telah Terbit Edisi Revisi, awal Juli 2012

Dalam terbitan pertama terdapat kesalahan cetak pada antologi puisi perdana saya ini. Sebagai penulis saya mohon maaf untuk itu. Saya sudah memberitahukan soal itu ke penerbit. Diperoleh kabar,  pada awal Juli kemain edisi revisi sudah siap naik cetak.
Rumah Bernomor Nol







Anak Cinta dengan Seribu Luka

Rumah kebersamaan sempat kita tinggali sesaat
Setelah itu, aku pergi sendirian ke pengasingan
Sebab, kebersamaan pun tak bisa sembuhkan
luka masing-masing
Saat itu, kau masih mungil untuk menggambar
jawaban tentang pertemuan dan perpisahan

Waktu berlari menyisakan luka bagimu
 
Serupa pisau mengerat bambu
dalam ruas-ruas ingatan yang sulit terbaca
hanya jejak-jejak seribu luka yang ada
Ingin kubalut lukamu dengan perban kerinduan
berplesterkan kasih sayang. Tidak di rumahmu
cukup dalam kamar hatiku. Tidak sekarang
mungkin saja nanti 











Judul: Rumah Bernomor Nol
Penulis: Ari Hidayat
Penerbit: Arias

Silakan pesan via sms 081914032201 atau email hasfriends57@gmail.com
Tulis nama/alamat/judul buku yg dipesan




Rampai Media Massa



       Media massa atau disebut pula pers, baik cetak maupun elektronik menarik untuk diamati. Sebab, media itu mempunyai filosofi, tujuan, sikap, dan orientasi nilai sehingga dapat hidup dan berperan dalam masyarakat. Pada era multimedia kini, media mengalami transformasi fundamental seiring dengan adanya teknologi baru internet. Media massa pun membentuk media online sebagai saluran lain untuk menyiarkan berita, opini dan berinteraksi dengan khalayak pembaca dan pemirsanya.
       Begitu pula bermunculan media alternatif menggunakan internet sebagai salurannya. Contohnya, hadirnya laman-laman (website/situs) berita di dunia maya. Sekarang nampaknya orang begitu mudah mencari, mengolah, dan memublikasikan informasi dan opini terutama melalui dunia cyber. Sehingga muncul istilah jurnalisme warga (citizen journalism).
       Dalam aktivitasnya media massa memakai bahasa (tulisan) untuk memublikasikan informasi dan pandangan (opini). Bahasa yang digunakan media memiliki ciri khas yang disebut bahasa laras jurnalistik. Media massa pun terutama koran sangat berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan bahasa Indonesia. Karena media dan bahasa menyangkut manusia, maka keduanya berkaitan erat dengan kebudayaan.
       Media yang manjalankan fungsinya dengan baik, menggunakan bahasa secara baik dapat menumbuhkan kebiasaan-kebiasaan (budaya) yang baik pula dalam masyarakat. Buku rampai media massa ini merupakan sekumpulan esai yang dimuat di media lokal, daerah, dan nasional (sepanjang tahun 2002- 2010). Esai-esai itu merupakan amatan terhadap sudut-sudut yang mungkin terlupakan, masalah, dan fenomena yang berkaitan dengan kehidupan media. Topik khususnya disesuaikan dengan tren esai di media yang lebih mengedepankan aktualitas persoalan. Di buku ini pun dihimpun tulisan mengenai budaya literasi (menulis) yang erat kaitannya dengan media. Seperti diketahui media massa kita juga menerima esai-esai dari penulis luar untuk dipublikasikan di saluran-saluran informasi mereka yakni media massa cetak.

Judul: Rampai Media Massa
Penulis: Ari Hidayat
Penerbit: Arias

Silakan pesan via sms 081914032201 atau email hasfriends57@gmail.com
Tulis nama/alamat/judul buku yg dipesan


Rabu, 01 Agustus 2012

Menikmati Keindahan Gunung dari Kejauhan

   Pada waktu-waktu tertentu seamsal pagi, siang, juga senja, dari tempat di mana saya tinggal sekarang, di kota Tasikmalaya, mata saya terkesiap karena pesona. Dari sini mata memandang ufuk Barat terlihat sebentuk gunung Galunggung. Pun di sebelah Utara (Gn Syawal), begitu pula di Timur agak Tenggara. Namun yang terakhir ini saya tidak tahu persis namanya.  Pemandangan itu, dari kotaku,  kadang-kadang membuat saya tercenung sejenak. Gunung-gunung yang letaknya jauh dari kota terlihat dari kejauhan. Suatu ketika seperti siluet  atau sketsa yang kurang  begitu jelas, lain waktu seakan begitu jelas dan dekat berikut selintas rimbunnya daun pepohonan terutama Gn Syawal yang di sebelah Utara itu.
  Sungguh itu bukan halusinasi visual, tapi saya saksikan sendiri. Apakah sahabat yang juga sekota dengan saya sempat menyaksikan pemandangan serupa? Sederhana  memang, namun buat saya sangat asyik untuk dinikmati, sungguh (Ari Hidayat


                            Gunung Galunggung-Pemandangan Gn Galunggung
                            dari kejauhan. Gambar diambil dekat rumah saya di 
                            Kota Tasikmalaya belum lama ini memakai kamera
                            ponsel Nexian-505 (Ari Hidayat)


.
                         Pemandangan serupa di sebelah Timur, juga terlihat tak 
                         jauh dari tempat saya tinggal (Ari Hidayat)