Oleh: Ari Hidayat
Independensi lembaga peradilan sebagai
muara hukum bagi orang yang berperkara bukanlah sebuah utopia. Institusi
lembaga peradilan dengan penekanan pada lebih meningkatkan profesionalitas
aparatnya adalah sebuah cita-cita yang terus diwujudkan dan ditingkatkan
kualitasnya. Sebuah harapan untuk mereduksi
bahkan menegasi adanya sejumlah praktik tak wajar seperti suap, makelar
kasus, manipulasi, maupun jual beli perkara sebagai polusi di lembaga bagi para
pencari keadilan itu.
Mungkin keadilan dalam konteks
memutuskan yang benar dan menghukum yang salah dengan memerhatikan rasa
keadilan. Karena demikianlah tugas hakim-hakim di lembaga peradilan. Tapi, mungkin pula dalam mindset bagi seorang idealis dan formalis sekalipun terkadang di
lembaga ini bisa terjadi sebaliknya (karena sebab-sebab tertentu) yang benar
bisa menjadi salah dan yang keliru lolos dari jerat hukum. Tapi, kini publik (pun
praktisi hukum) yang didukung kebebasan media bisa melihat perkara-perkara
seperti itu dan bisa mendapat reaksi dari pribadi, organisasi, maupun institusi
kompeten.
Membicarakan hukum tentang kebenaran dan yang salah, serta
derajat keadilan ini-khususnya bagi aparat penegak hukum- merupakan topik yang
teramat penting. Apalagi putusan hakim menyangkut “nasib” orang yang ada dalam
palu yang diketokkannya. Penghakiman memang untuk menentukan benar dan salah.
Namun, tidak sesederhana itu praktiknya
yang ideal. Dalam istilah budayawan Prof Jakob Sumardjo penentuan benar dan
salah itu adalah kesesuaian antara hati nurani dan peristiwanya itu sendiri.
Itulah keadilan.
Bertindak adil, penghakiman yang adil sesuai
hati nurani itu melalui proses reflektif yang tidak simpel pula. Intinya perlu
hakim yang memiliki keterbukaan sikap dan spiritualitas. Hakim manusia yang
terbuka dan reflektif itulah yang objektif, yaitu hakim yang cerdas emosi dan
spiritualnya. Ia mampu melihat kebenaran dan kesalahan melampaui batas-batas
kebenaran yang subjektif, personal,
maupun kolektif. Kejujuran pada diri sendiri itulah yang dibutuhkan .
Dalam upaya itu (reflektif), tiadalah salah bila aparat penegak hukum
itu sedikit berkontemplasi berikut bisa saja belajar dari sosok atau seseorang
yang menimbulkan kesan mendalam bagi jagat hukum Indonesia. Tanpa berniat manafikan
peran pendekar hukum lainnya, saya menyebutkan saja salah seorangnya, yakni
almarhum Prof DR Baharuddin Lopa SH. Salah seorang tokoh hukum dan HAM
Indonesia. Apalagi setiap tanggal 10 Desember kita memeringati Hari HAM
sedunia. Lopa adalah mantan Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Sulawesi Tenggara,
staf ahli Menteri Kehakiman, Dirjen Pemasyarakatan Depkeh, Sekjen Komnas HAM
dan terakhir Dubes Indonesia untuk Arab
Saudi. Tak ada yang lebih indah (dalam arti romantik) menyaksikan keberhasilan
seseorang dalam tugas, kerja, dan karyanya. Dan tiadalah yang lebih puitis
ketimbang mengambil suri tauladan darinya.
Lopa yang saya kenal awal 1990-an
hingga akhir 1990-an ketika saya bertugas sebagai wartawan di Jakarta, terutama saat beliau menjadi Sekjen
Komnas HAM. Saat itu Lopa sudah terkenal
sebagai penegak hukum yang jujur, bersahaja, berani, dan konsisten. Betapa
tidak, sebulan setelah dilantik menjadi Kajati Sulawesi Tenggara, ia menggelar
“Operasi November 1982” buat memberantas korupsi. Sebuah harian nasional
memberitakan, dalam operasi itu, salah
satu yang dijerat adalah korupsi reboisasi senilai Rp 7 miliar. Begitu pula ia
berhasil memenjarakan seorang pengusaha
besar yang berjuluk “gubernur bayangan” karena kebal hukum itu, terkait tuduhan
manipulasi uang Rp 4 miliar.
Saat menjabat Dirjen
Pemasyarakatan pun, ia langsung sidak ke Rutan Salemba, ketika mengetahui dari
media yang memuat berita adanya tahanan di sana yang
memakai kesempatan berobatnya untuk “jalan-jalan”. Di kalangan pers,
Lopa dikenal sebagai pribadi yang dekat dengan wartawan. Ia termasuk sosok yang mudah ditemui (untuk keperluan
reportase) termasuk dikonfirmasi tentang sesuatu yang relevan lewat telepon.
Pintu kantornya yang sekaligus kantor sementara Komnas HAM di Jl Veteran 11,
Jakarta Pusat selalu terbuka. Kepada sejumlah wartawan ia pun suka mengajak
mengobrol tentang apa saja secara terbuka dan blak-blakan. Di kantornya itu pun
terkadang ramai dipenuhi “orang kecil” dan para pencari keadilan lainnya khususnya
menyangkut perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM).
Sebuah harian nasional pernah
menyebutkan dalam berita khasnya (feature), bahwa Lopa termasuk aparat yang
sukses memadukan fungsi kerjanya sesuai definisi dalam agama maupun birokrasi
modern, yaitu aparatur sebagai pelayan masyarakat, bukan pangreh praja. Kesan
langsung pengalaman empirik saya terhadap Lopa adalah ketegasan sikapnya,
keterbukaan sikap, gaya bicara khasnya berlogat Sulawesi Selatan
dan apa adanya, termasuk kesederhanaan hidupnya. Tentang kesahajaan ini,
sebagai pejabat eselon I dan Sekjen Komnas HAM mobil dinasnya hanya Toyota
Kijang. Salah seorang stafnya di sekretariat Komnas menyebutkan, untuk makan
siangnya saja kerap Lopa minta dipesankan nasi campur dari kantin di kantornya.
Staf ini pun melanjutkan, Lopa juga termasuk orang yang disiplin, menghargai
waktu, sehingga terkadang bisa dinilai sebagai orang yang “keras”.
Nampaknya Lopa pun menerapkan
efektivitas dalam manajemen Komnas HAM.
Ali Said, SH sebagai ketua komisi yang dibentuk dengan Keppres No 50
Tahun 1993 tentang Komnas HAM itu pun seakan memberikan tugas kesekretariatan
sekaligus juru bicara “utama” kepada Lopa. Saat menerima pengaduan orang-orang
ke Komnas, bila ada Drs Marzuki
Darusman, SH sebagai Wakil Ketua, maka yang menanggapi lebih dulu Pak Marzuki
baru setelah itu kalau diperlukan dirinya menambahkan. Dan kalaupun ada anggota
Komnas lainnya hadir dipersilakan berbicara.
Meski, menerima pengaduan semua
masalah ke kantornya, tapi Lopa menegaskan, bahwa Komnas bukanlah lembaga
paradilan. Lembaganya ada pada jalur perlindungan HAM warga negara. Kalaupun
bertindak -sebatas masalahnya belum dilimpahkan ke pengadilan, apalagi sudah
ada kekuatan hukum tetap- yakni sebagai mediator, memberikan surat rekomendasi, termasuk surat jaminan perlindungan keselamatan dari
Komnas bila diperlukan.
Terakhir, Lopa pun termasuk orang
yang terbuka terhadap kritik dan tidak menutup-nutupi apa yang terjadi di
lembaganya. Kepada sejumlah wartawan Lopa mengatakan, silakan ajukan kritik
sesuai bukti-bukti yang ada, yang sebenarnya, termasuk ke Komnas HAM. Dan Lopa juga mengingatkan bahwa
kebenaran itu mesti disampaikan, “Katakanlah kebenaran itu meskipun itu pahit.”
Kata Lopa pahit di sini bisa dimaknakan sang penyampai kebenaran itu bisa
dipecat atau kehilangan pekerjaan, masuk penjara, bahkan kehilangan nyawa.
Demikianlah Lopa. ***
(Dimuat di Koran "Radar Tasikmalaya")
Tidak ada komentar:
Posting Komentar