Entri yang Diunggulkan

Di Sebuah Ranah

Saya menamainya   ranah   atau wilayah dalam arti seluas-luasnya di mana kebenaran dipersoalkan. Kebenaran dari yang mempersoalkan adalah k...

Kamis, 06 Desember 2012

Belajar dari Kepemimpinan Lopa




Oleh: Ari Hidayat

         Independensi lembaga peradilan sebagai muara hukum bagi orang yang berperkara bukanlah sebuah utopia. Institusi lembaga peradilan dengan penekanan pada lebih meningkatkan profesionalitas aparatnya adalah sebuah cita-cita yang terus diwujudkan dan ditingkatkan kualitasnya. Sebuah harapan untuk mereduksi  bahkan menegasi adanya sejumlah praktik tak wajar seperti suap, makelar kasus, manipulasi, maupun jual beli perkara sebagai polusi di lembaga bagi para pencari keadilan itu.
          Mungkin keadilan dalam konteks memutuskan yang benar dan menghukum yang salah dengan memerhatikan rasa keadilan. Karena demikianlah tugas hakim-hakim di lembaga peradilan. Tapi,  mungkin pula dalam mindset bagi seorang idealis dan formalis sekalipun terkadang di lembaga ini bisa terjadi sebaliknya (karena sebab-sebab tertentu) yang benar bisa menjadi salah dan yang keliru lolos dari jerat hukum. Tapi, kini publik (pun praktisi hukum) yang didukung kebebasan media bisa melihat perkara-perkara seperti itu dan bisa mendapat reaksi dari pribadi, organisasi, maupun institusi kompeten.
         Membicarakan hukum  tentang kebenaran dan yang salah, serta derajat keadilan ini-khususnya bagi aparat penegak hukum- merupakan topik yang teramat penting. Apalagi putusan hakim menyangkut “nasib” orang yang ada dalam palu yang diketokkannya. Penghakiman memang untuk menentukan benar dan salah. Namun, tidak sesederhana itu  praktiknya yang ideal. Dalam istilah budayawan Prof Jakob Sumardjo penentuan benar dan salah itu adalah kesesuaian antara hati nurani dan peristiwanya itu sendiri. Itulah keadilan.
          Bertindak adil, penghakiman yang adil sesuai hati nurani itu melalui proses reflektif yang tidak simpel pula. Intinya perlu hakim yang memiliki keterbukaan sikap dan spiritualitas. Hakim manusia yang terbuka dan reflektif itulah yang objektif, yaitu hakim yang cerdas emosi dan spiritualnya. Ia mampu melihat kebenaran dan kesalahan melampaui batas-batas kebenaran yang subjektif, personal,  maupun kolektif. Kejujuran pada diri sendiri itulah yang dibutuhkan .   
          Dalam upaya itu (reflektif), tiadalah salah bila aparat penegak hukum itu sedikit berkontemplasi berikut bisa saja belajar dari sosok atau seseorang yang menimbulkan kesan mendalam bagi jagat hukum Indonesia. Tanpa berniat manafikan peran pendekar hukum lainnya, saya menyebutkan saja salah seorangnya, yakni almarhum Prof DR Baharuddin Lopa SH. Salah seorang tokoh hukum dan HAM Indonesia. Apalagi setiap tanggal 10 Desember kita memeringati Hari HAM sedunia. Lopa adalah mantan Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Sulawesi Tenggara, staf ahli Menteri Kehakiman, Dirjen Pemasyarakatan Depkeh, Sekjen Komnas HAM dan terakhir Dubes Indonesia untuk  Arab Saudi. Tak ada yang lebih indah (dalam arti romantik) menyaksikan keberhasilan seseorang dalam tugas, kerja, dan karyanya. Dan tiadalah yang lebih puitis ketimbang mengambil suri tauladan darinya.
          Lopa yang saya kenal awal 1990-an hingga akhir 1990-an ketika saya bertugas sebagai  wartawan di Jakarta, terutama saat beliau menjadi Sekjen Komnas HAM.  Saat itu Lopa sudah terkenal sebagai penegak hukum yang jujur, bersahaja, berani, dan konsisten. Betapa tidak, sebulan setelah dilantik menjadi Kajati Sulawesi Tenggara, ia menggelar “Operasi November 1982” buat memberantas korupsi. Sebuah harian nasional memberitakan,  dalam operasi itu, salah satu yang dijerat adalah korupsi reboisasi senilai Rp 7 miliar. Begitu pula ia berhasil memenjarakan seorang  pengusaha besar yang berjuluk “gubernur bayangan” karena kebal hukum itu, terkait tuduhan manipulasi uang Rp 4 miliar.
                 Saat menjabat Dirjen Pemasyarakatan pun, ia langsung sidak ke Rutan Salemba, ketika mengetahui dari media yang memuat berita adanya tahanan di sana yang  memakai kesempatan berobatnya untuk “jalan-jalan”. Di kalangan pers, Lopa dikenal sebagai pribadi yang dekat dengan wartawan. Ia termasuk sosok  yang mudah ditemui (untuk keperluan reportase) termasuk dikonfirmasi tentang sesuatu yang relevan lewat telepon. Pintu kantornya yang sekaligus kantor sementara Komnas HAM di Jl Veteran 11, Jakarta Pusat selalu terbuka. Kepada sejumlah wartawan ia pun suka mengajak mengobrol tentang apa saja secara terbuka dan blak-blakan. Di kantornya itu pun terkadang ramai dipenuhi “orang kecil” dan  para pencari keadilan lainnya khususnya menyangkut perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM).
               Sebuah harian nasional pernah menyebutkan dalam berita khasnya (feature), bahwa Lopa termasuk aparat yang sukses memadukan fungsi kerjanya sesuai definisi dalam agama maupun birokrasi modern, yaitu aparatur sebagai pelayan masyarakat, bukan pangreh praja.  Kesan langsung pengalaman empirik saya terhadap Lopa adalah ketegasan sikapnya, keterbukaan sikap,  gaya bicara khasnya berlogat Sulawesi Selatan dan apa adanya, termasuk kesederhanaan hidupnya. Tentang kesahajaan ini, sebagai pejabat eselon I dan Sekjen Komnas HAM mobil dinasnya hanya Toyota Kijang. Salah seorang stafnya di sekretariat Komnas menyebutkan, untuk makan siangnya saja kerap Lopa minta dipesankan nasi campur dari kantin di kantornya. Staf ini pun melanjutkan, Lopa juga termasuk orang yang disiplin, menghargai waktu, sehingga terkadang bisa dinilai sebagai orang yang “keras”.
              Nampaknya Lopa pun menerapkan efektivitas dalam manajemen Komnas HAM.  Ali Said, SH sebagai ketua komisi yang dibentuk dengan Keppres No 50 Tahun 1993 tentang Komnas HAM itu pun seakan memberikan tugas kesekretariatan sekaligus juru bicara “utama” kepada Lopa. Saat menerima pengaduan orang-orang ke Komnas,  bila ada Drs Marzuki Darusman, SH sebagai Wakil Ketua, maka yang menanggapi lebih dulu Pak Marzuki baru setelah itu kalau diperlukan dirinya menambahkan. Dan kalaupun ada anggota Komnas lainnya hadir dipersilakan berbicara.
             Meski, menerima pengaduan semua masalah ke kantornya, tapi Lopa menegaskan, bahwa Komnas bukanlah lembaga paradilan. Lembaganya ada pada jalur perlindungan HAM warga negara. Kalaupun bertindak -sebatas masalahnya belum dilimpahkan ke pengadilan, apalagi sudah ada kekuatan hukum tetap- yakni sebagai mediator, memberikan surat rekomendasi, termasuk surat jaminan perlindungan keselamatan dari Komnas bila diperlukan. 
              Terakhir, Lopa pun termasuk orang yang terbuka terhadap kritik dan tidak menutup-nutupi apa yang terjadi di lembaganya. Kepada sejumlah wartawan Lopa mengatakan, silakan ajukan kritik sesuai bukti-bukti yang ada, yang sebenarnya, termasuk ke  Komnas HAM. Dan Lopa juga mengingatkan bahwa kebenaran itu mesti disampaikan, “Katakanlah kebenaran itu meskipun itu pahit.” Kata Lopa pahit di sini bisa dimaknakan sang penyampai kebenaran itu bisa dipecat atau kehilangan pekerjaan, masuk penjara, bahkan kehilangan nyawa. Demikianlah Lopa. ***

(Dimuat di Koran "Radar Tasikmalaya")

Tidak ada komentar:

Posting Komentar