Entri yang Diunggulkan

Di Sebuah Ranah

Saya menamainya   ranah   atau wilayah dalam arti seluas-luasnya di mana kebenaran dipersoalkan. Kebenaran dari yang mempersoalkan adalah k...

Selasa, 15 Mei 2012

Cerpen


Setelah Kepergian Itu
Oleh: Ari Hidayat

              Irna terkejut ditelepon kepolisian yang memberitahukan adiknya yang lelaki, Bani mengalami kecelakaan lalu-lintas. Mobil yang dikendarai Bani bertabrakan dengan truk. Mendengar kabar itu rinai air mata pun meleleh di pipinya, tubuhnya gemetar dan mendadak lemas. Dadanya sesak menahan sedih. Meski begitu,  ia sempat menelepon saudara-saudaranya. Tak berapa lama Irna bersama suaminya, Adi menuju rumah sakit (RS) tempat adiknya mendapat pertolongan.
             Di kotanya akhir-akhir ini hujan sering turun memanjang di tubuh kemarau. Sepertinya peristiwa alam tidak bisa diramalkan lagi. Cuaca membawa anomalinya tersendiri. Hari itu pun hujan mengguyur deras. Dari kaca mobil yang disetiri suaminya itu, Irna melihat jari-jari hujan menetes kencang di luar kendaraannya dan menyentuh-nyentuh badan luar mobil.  Di kendaraan itu mereka berdua membisu. Sempat ia sekali berkata pada suaminya, berharap adiknya dapat terselamatkan. Adi, suami Irna hanya menggangguk pelan.
             Setiba di rumah sakit, Irna memburu meja resepsionist. Ada jawaban adiknya  memang dirawat di RS itu dan sekarang ada di ICU. Irna dan Adi  diminta menunggu sebentar di ruang tunggu. Sesaat kemudian dokter menghampirinya, mengabarkan kondisi Bani. Buat menolong jiwanya dokter akan mengoperasi Bani. Kata dokter ada pendarahan di otaknya yang harus segera ditangani. Dokter meminta Irna selaku keluarga korban menandatangani persetujuan operasi itu. Ia menoleh ke suaminya. Adi menggangguk. Dan Irna membubuhkan tanda tangannya di berkas itu. Setelah itu,  hati Irma sibuk dalam doa-doanya. Tangan Adi menggenggam tangan istrinya buat menentramkan. Mereka duduk berdampingan di ruang tunggu tak jauh dari ICU.
            Sesekali dalam benak Irna dan Adi melintas bayangan-bayangan kenangan bersama Bani. Irna berpikir bagaimana ia harus mengatakan keadaan Adi kepada Zahra dan Naufal,  anak-anaknya Bani mengingat mereka masih kecil. Mungkin Zahra yang sudah duduk di kelas empat SD bisa memahami, tapi bagaimana dengan adiknya yakni Naufal yang masih berusia empat tahun itu? Irna jadi ingat peristiwa dua tahun lalu saat Bani memutuskan bercerai dengan istrinya. Dan setelah itu, mantan istrinya pergi ke sebuah kota di luar Pulau Jawa. Karena suatu alasan tertentu dari istrinya itu dan dikukuhkan hakim pengadilan agama, meski kedua anak mereka masih di bawah umur, akhirnya diputuskan diasuh oleh Bani.
              Setelah orangtuanya bercerai Zahra dan Naufal hidup bersama Bani dan seorang janda tua sebagai pembantu merangkap babysitter di rumah Bani yang  masih satu kota dengan Irna. Haruskah Irna berusaha jujur mengatakan bapaknya Zahra dan Naufal kecelakaan? Tidakkah untuk sementara mengatakan alasan yang lain saja. Sepertinya kurang elok kalau anak-anak itu diberitahu kejadian yang sesungguhnya,  toh di rumah mereka masih ada pembantu. Selain itu,   Irna pun akan meminta familinya yang bersedia untuk sementara menemani keponakan-keponakannya itu.
              “Bani, oh Bani. Semoga Allah menyelamatkanmu,” batin Irna.
              Dokter sudah selesai mengoperasi Bani dan mengabarkan, Bani belum siuman. Adik Irna itu masih di bawah pengawasan tim dokter untuk melihat perkembangan selanjutnya. Irna dan Adi menengok ke dalam ruang ICU lewat jendela kaca. Tampak oleh mereka adiknya terbaring di sebuah ranjang dengan peralatan medis di dekatnya. Begitulah Bani, hingga  dua minggu  setelah kecelakaan, sudah dua kali menjalani operasi. Bahkan kini tulang rusuknya yang patah, kata dokter, harus diganti dengan pin khusus dan untuk itu akan dioperasi lagi.
              Ya, dua minggu. Bagi Irna waktu terasa bergerak lambat. Untuk penunggu Bani di RS, ia bergiliran dengan saudara-saudaranya yang lain. Tapi, yang lebih sering adalah Irna. Hampir tiap hari Irna ada di RS. Apalagi kondisi Bani yang mengkhawatirkan. Adiknya itu dalam keadaan koma, sadar sebentar dan koma lagi. Saat sadar itu sebenarnya belum pulih benar. Dalam keadaaan seperti ini perawat di ICU bertanya dengan pelan dan hati-hati, ya, semacam terapi singkat menurut perawat itu.
                “Pak Bani, sudah agak baikan ya. Masih ingat nggak ini siapa?” tanya perawat  itu seraya tangannya  menyentuh pundak Irna sebentar.
                Irna melihat Bani menggangguk. Mulutnya menyebut nama Irna dengan pelan nyaris tanpa suara . Perasaan Irna tersentuh lagi, melihat Bani dengan kondisi begitu . Dalam hati Irna bercampur aduk antara senang, sedih, sekaligus  setengah kabut kekhawatiran. Dan benar  saja, sehari setelah itu, Bani kembali tak sadarkan diri. Kembali hati Irna berbalut kecemasan. Dalam keadaan semacam itu Irna jadi teringat pada Zahra dan Naufal. Irna telah berbohong pada mereka bahwa Bani sedang tugas ke luar kota. Ya, kebohongan tetap saja kebohongan.
               “Papa ke luar kota kok lama?” tanya si kecil, Naufal.
               ” Tante, Papa kok nggak pernah nelpon  Zahra. Ke mana sih tugasnya?” tambah Zahra.
                Dan Irna pun hanya terdiam, seperti kucing yang ketahuan mencuri ikan di dapur. Malu juga dia terhadap keponakan-keponakannya itu.
                 “Bani, oh Bani, adikku. Maafkan tantemu, Zahra dan Naufal,” kata Irna dalam hatinya.
                  Begitulah mungkin manusia terkadang sulit untuk mengubur prasangka. Sebuah prasangka yang berbalut kecemasan. Menerka-nerka tentang sesuatu yang belum tentu terjadi. Begitu pun Irna, diam-diam memeram kekhawatiran, bagaimana kalau Bani tak tertolong? Hatinya berusaha menepisnya. Tidak. Allah pasti akan menyelamatkan adiknya lewat perantaraan dokter dan paramedis di rumah sakit itu. Tapi. Tapi. Keadaan Bani belum menggembirakan pula, bahkan seperti semakin gawat. Kalau sudah sumpek dengan pikiran seperti itu, Irna kembali larut dalam doa dan berusaha melupakannya dengan istirahat.
                  Dan  benar saja kekhawatiran itu, ketika suatu malam dengan tergesa-gesa seorang perawat mendekati Irna dan memintanya ke ICU. Di ruangan itu sudah berdiri dokter jaga dekat tempat tidur Bani,  tangannya masih memegang alat bantu pemicu  detak jantung. Mata dokter itu seperti tak lepas mengamati monitor  pendeteksi detak jantung yang sinyalnya terlihat makin datar, hingga sama sekali nyaris lurus dan terdengar bunyi seperti ,”Tut… tut… tut.
                 Irna membaca isyarat itu.
               ”Bagaimana dokter. Dok, bagaimana adik saya?” tanyanya terbata-bata. Suaranya seperti tercekat.
                “Dia sudah pulang. Yang tabah ya Bu. Kami sudah berusaha keras menyelamatkan Pak Bani, tapi Allah berkehendak lain,” tutur  dokter.
                 Dada Irna kian bergejolak, tubuhnya bergetar, Ada sesuatu yang mengalir mungil di pipinya. Matanya tak lepas memandangi wajah Bani, untuk yang terakhir kali.

                                                          ***

                 Lima puluh hari setelah kepergian Bani, tanpa diduga ada sepucuk surat dari Pangadilan Agama (PA). Intinya mantan istri Bani mempersoalkan lagi dan mengharapkan Zahra dan Naufal diasuh oleh ibu kandungnya sepeninggal Bani sebagai ayah kandung mereka. Namun, seminggu setelah wafatnya Bani, Irna sempat berunding dengan adik-adiknya dan secara hati-hati  bertanya pada anak-anaknya almarhum kemungkinan mereka untuk diangkat menjadi anak oleh Irna. Ya, tentunya dengan bahasa yang dipahami anak-anak seusia mereka. Saudara-saudara Irna dan Zahra dan Naufal nampaknya setuju saja. Namun, kini muncul soal baru tentang surat gugatan mantan istri Bani itu.
                 Zahra memang masih ingat dengan ibu kandungnya. Sedangkan Naufal mungkin sama sekali belum ingat tentang peristiwa dua tahun lalu.  Sebelum memenuhi panggilan PA, Irna meski dengan berat hati mengabarkan tentang masalah itu pada Naufal dan kakaknya. Yang mengejutkan Irna, Zahra begitu pula Naufal tidak mau untuk ikut dengan ibu kandungnya. Apalagi kini mantan istri Bani itu sudah menikah lagi dan mempunyai satu anak dari suaminya sekarang. Bahkan Zahra dan Naufal mengatakan, ibunya itu adalah “orang asing” bagi mereka, dan berharap ikut dengan Irna dan Adi saja.
                 Meski di PA hakim tidak menanyakan atau melibatkan Zahra dan Naufal, sebab mereka masih di bawah umur, namun Irna sempat juga mengungkapkan keinginan anak-anak angkatnya itu sebagai fakta pendukung agar Zahra dan Naufal ada di bawah pengasuhannya. Sidang pun cukup alot. Mantan istri Bani memakai jasa pengacara, sedangkan Irna tidak. Irna sendiri yang terlibat dalam persidangan-persidangan itu didukung sejumlah saksi dari saudara-saudara dan juga suaminya, yakni Adi. Walau  hatinya sempat dirundung kecemasan akan kalah di persidangan, tapi akhirnya saat hakim memutuskan bahwa Zahra dan Naufal di bawah pengasuhan Irna sebagai orangtua angkat yang sekaligus tante dari kedua anak yatim itu,  hati Irna pun melonjak kegirangan. Bagi Irna keberhasilan persidangan itu adalah kelanjutan  kegigihan Bani agar anak-anaknya tidak jatuh ke pengasuhan mantan istrinya.  Melihat wajah Naufal  pun Zahra ada bayang-bayang Bani yang tak jua menghilang.***   

(Dimuat di Harian Radar Tasikmalaya, 22 Mei 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar