Perempuan yang Terjun ke Politik
Menebar Kemampuan Menuai Keberdayaan
Perempuan pada dasarnya sama dengan laki-laki, terdiri atas
badan dan jiwa. Ia pun bebas menentukan sikap dan menjadi dirinya sendiri. Secara
normatif, hak-hak wanita dalam bidang hukum dan pemerintahan sudah lama diakui.
Baik dalam Konvensi Hak-hak Asasi Manusia yang tercantum dalam Piagam PBB tahun
1948, maupun dalam UUD 1945. Di alam reformasi kini, semakin banyak perempuan
yang tak ragu-ragu terjun ke dunia politik yang terkesan milik lelaki itu.
Diantaranya, ada yang mengincar kursi
legislatif dan juga eksekutif dan berhasil mewujudkan harapannya. Bahkan kursi
presiden RI pun pernah diduduki oleh perempuan bernama Megawati Soekarnoputri.
Perangkat perundang-undangan pun
sudah mengakomodasinya yakni dengan adanya kuota 30 persen perempuan di parlemen dan tidak adanya
diskriminasi bagi wanita untuk berkiprah dalam kancah politik. Kondisi
inilah sebagai salah satu jalan yang
mengantarkan sejumlah perempuan menduduki jabatan-jabatn penting baik di pusat
maupun daerah. Sehingga, kini adanya wanita yang menjadi lurah, camat, dan
bupati menjadi pemandangan yang biasa. Contohnya, bupati di Majalengka, Jawa Barat adalah
seorang wanita yaitu, Ny Tutty Hayati Anwar.
Kuota 30 persen keterwakilan
perempuan di lembaga legislatif, harus dianggap sebagai peluang emas bagi
perempuan yang sebelumnya termarjinalkan baik karena faktor struktural
maupun kuatnya budaya patriarkhi (lelaki
lebih dominan ketimbang perempuan) dalam masyarakat kita. Meski begitu,
perempuan janganlah hanya menjadi pelengkap untuk memenuhi kuota (kuantitas),
tapi perlu pula menunjukkan kemampuannya sebagai legislator bila ia terpilih
nanti. Ini penting agar perempuan dapat memberikan warna dan atmosfer baru di
gedung dewan.
Tentunya sebagai wanita sah-sah saja,
bila ia pun meperjuangkan kepentingan kaumnnya. Isu-isu aktual dan strategis
seperti masih tingginya angka kematian ibu dan maraknya eksploitasi wanita
termasuk kekerasan dalam rumah tangga layak diperhatikan. Dalam konteks kredibilitas di Indonesia
secara kuantitas perempuan lebih banyak ketimbang laki-laki. Tapi, secara
kualitas perempuan perlu meningkatkan diri. Meminjan istilah pengamat politik
Eef Saefullah Fattah yang dikutip Iradatul Aini bahwa, banyak pemilih perempuan, namun sedikit yang
terpilih. Kredibilitas (dapat dipercaya) menjadi penting untuk keberlangsungan
interaksi langsung maupun tidak, partai yng mengusungnya maupun dengan rakyat yang memilihnya.
Tentunya, kita semua berharap wanita anggota legislatif baik pusat maupun
daerah dapat menunjukkan kemampuan, kecerdasan, kecakapan, kemandirian dn
sederet kriteria kompeten lain yang
setara dengan lelaki anggota dewan. Ia diharapkan dapat terlibat aktif dalam
setiap pengambilan keputusan. Sehingga legislatif bisa melahirkan
kebijakan-kebijakan yang prorakyat. Apalagi dalam kondisi krisis saat ini dan
karut-marutnya kehidupan ekonomi dan politik bangsa (Ari Hidayat)
Artis, Kredibilitas, dan Politik
Pemilihan Umum (Pemilu) legislatif
2009, diramaikan oleh maraknya artis yang mencalonkan diri menjadi anggota
parlemen. Ada
yang mencalon untuk memperjuangkan idealismenya dan ada yang dipinang partai
politik. Seakan menyusul seniornya seperti Marissa Haque yang lebih dulu terjun
ke politik, artis Indonesia
beramai-ramai banting setir ke kancah politik yang biasa didominasi lelaki itu.
Artis sah-sah saja berpolitik dan merupakan aktivitas yang tidak dilarang.
Beragam alasan dikemukannya menyangkut partisipasi politiknya yang kebanyakan terkesan instan
(langsung jadi).
Sejumlah artis itu seperti dilansir
sebuah majalah wanita antara lain Venna Melinda (Partai Demokrat), Raslina
Rasyidin (Partai Amanat Nasional) dan Tessa Kaunang (Partai Damai Sejahtera),
dan Okky Asokawati (PPP). Selain mereka,
muncul pula nama-nama lain seperti Nurul Arifin, Rieke Dyah Pitaloka, dan Wulan
Guritno.
Fenomena artis yang mendadak
berpolitik menandakan politik di kita masih mengandalkan popularitas yang bisa
menggeser sederet prasyarat ideal seperti rekam jejak berpolitik seseorang,
kemampuan, dan sebagainya. Indonesia
masih mengedepankan politik citra di mana figur menjadi amat penting.
Kalau sebelumnnya artis hanyalah
sebagai vote getter (pengumpul suara)
saat pemilihan (hanya sebagai bintang tamu) kini ia benar-benar menjadi pemain
utama politik. Permainan politik memang sebelumnya didominasi lelaki yang
memarjinalkan kesempatan dan peran wanita.. Dunia politik yang terkesan
maskulin itu, penuh intrik, dan tarik-menarik kepentingan kini banyak dilirik artis. Sekadar latahkah
(ikut-ikutan), sebagai pelarian atau memang panggilan jiwa artis itu sendiri?
Tak mudah menjawab semua pertanyaan ini. Ketimbang mereka-reka jawaban dari
pertanyaan itu, alangkah lebih baik bila kita menunggu dan memberi kesempatan
kepadanya untuk melihat kiprah politik artis kita.
Yang perlu diperhatikan oleh artis
kita sebagai wanita pemain politik adalah membuktikan diri kepada rakyat bahwa
mereka layak duduk di kursi parlemen. Kita pun berharap suara rakyat yang
diberikan kepadanya sebagai amanah yang harus dijadikan landasan dalam setiap
gerak-gerik politik mereka, sehingga parlemen dapat menghasilkan kebijakan yang
matang dan dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat banyak. Karakteristik
wanita yang lebih menonjolkan perasaan dan hati nurani ini diharapkan mampu
menyeimbangkan keputusan-keputusan yang hanya terkesan berupa kalkulasi
untung-rugi dan mengenyampingkan dimensi-dimensi lain seperti rasa kemanusiaan.
Bagaimanapun setiap kebijakan baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif jangan
sampai mengalami pendangkalan kemanusiaan.
Semoga artis yang mencalon
sebagai legislator itu, tidak terjebak dalam sikap pragmatis yang menonjolkan
kepentingan jangka pendek dan sesaat. Dan menjadikan pengalaman baru ini,
sebagai investasi pendidikan politik dan penanaman sikap sportif..Terpilih
maupun tidak terpilih ia harus siap dengan segala risiko dan konsekuensinya. Mulai
sekarang ia harus membangun kredibilitas sehingga terbentuk kepercayaan dari
rakyat kepadanya. Bangunan yang bermahkotakan kejujuran dan bersinggasanakan
hati nurani untuk menampung suara-suara rakyat. Dengan demikian, kehadiran
artis itu di dalamnya (gedung dewan), bukan hanya sebagai pigura penghias
gedung wakil rakyat. Atau tak lagi hanya sebagai penahan rasa kantuk ketika
rapat-rapat parlemen. berlangsung (Ari
Hidayat)
(Dimuat di majalah DKI Jakarta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar