Entri yang Diunggulkan

Di Sebuah Ranah

Saya menamainya   ranah   atau wilayah dalam arti seluas-luasnya di mana kebenaran dipersoalkan. Kebenaran dari yang mempersoalkan adalah k...

Rabu, 18 April 2012

Perempuan dan Politik







Perempuan yang Terjun ke Politik

Menebar Kemampuan Menuai Keberdayaan

         Perempuan pada dasarnya sama dengan laki-laki, terdiri atas badan dan jiwa. Ia pun bebas menentukan sikap dan menjadi dirinya sendiri. Secara normatif, hak-hak wanita dalam bidang hukum dan pemerintahan sudah lama diakui. Baik dalam Konvensi Hak-hak Asasi Manusia yang tercantum dalam Piagam PBB tahun 1948, maupun dalam UUD 1945. Di alam reformasi kini, semakin banyak perempuan yang tak ragu-ragu terjun ke dunia politik yang terkesan milik lelaki itu. Diantaranya,  ada yang mengincar kursi legislatif dan juga eksekutif dan berhasil mewujudkan harapannya. Bahkan kursi presiden RI pun pernah diduduki oleh perempuan bernama Megawati Soekarnoputri.
            Perangkat perundang-undangan pun sudah mengakomodasinya yakni dengan adanya kuota 30 persen  perempuan di parlemen dan tidak adanya diskriminasi bagi wanita untuk berkiprah dalam kancah politik. Kondisi inilah  sebagai salah satu jalan yang mengantarkan sejumlah perempuan menduduki jabatan-jabatn penting baik di pusat maupun daerah. Sehingga, kini adanya wanita yang menjadi lurah, camat, dan bupati menjadi pemandangan yang biasa. Contohnya,  bupati di Majalengka, Jawa Barat adalah seorang wanita yaitu, Ny Tutty Hayati Anwar.
           Kuota 30 persen keterwakilan perempuan di lembaga legislatif, harus dianggap sebagai peluang emas bagi perempuan yang sebelumnya termarjinalkan baik karena faktor struktural maupun  kuatnya budaya patriarkhi (lelaki lebih dominan ketimbang perempuan) dalam masyarakat kita. Meski begitu, perempuan janganlah hanya menjadi pelengkap untuk memenuhi kuota (kuantitas), tapi perlu pula menunjukkan kemampuannya sebagai legislator bila ia terpilih nanti. Ini penting agar perempuan dapat memberikan warna dan atmosfer baru di gedung dewan.
           Tentunya sebagai wanita sah-sah saja, bila ia pun meperjuangkan kepentingan kaumnnya. Isu-isu aktual dan strategis seperti masih tingginya angka kematian ibu dan maraknya eksploitasi wanita termasuk kekerasan dalam rumah tangga layak diperhatikan.  Dalam konteks kredibilitas di Indonesia secara kuantitas perempuan lebih banyak ketimbang laki-laki. Tapi, secara kualitas perempuan perlu meningkatkan diri. Meminjan istilah pengamat politik Eef Saefullah Fattah yang dikutip Iradatul Aini bahwa, banyak  pemilih perempuan, namun sedikit yang terpilih. Kredibilitas (dapat dipercaya) menjadi penting untuk keberlangsungan interaksi langsung maupun tidak, partai yng mengusungnya maupun  dengan rakyat yang memilihnya.
           Tentunya, kita semua berharap  wanita anggota legislatif baik pusat maupun daerah dapat menunjukkan kemampuan, kecerdasan, kecakapan, kemandirian dn sederet  kriteria kompeten lain yang setara dengan lelaki anggota dewan. Ia diharapkan dapat terlibat aktif dalam setiap pengambilan keputusan. Sehingga legislatif bisa melahirkan kebijakan-kebijakan yang prorakyat. Apalagi dalam kondisi krisis saat ini dan karut-marutnya kehidupan ekonomi dan politik bangsa (Ari Hidayat)


Artis, Kredibilitas, dan Politik

        Pemilihan Umum (Pemilu) legislatif 2009, diramaikan oleh maraknya artis yang mencalonkan diri menjadi anggota parlemen. Ada yang mencalon untuk memperjuangkan idealismenya dan ada yang dipinang partai politik. Seakan menyusul seniornya seperti Marissa Haque yang lebih dulu terjun ke politik, artis Indonesia beramai-ramai banting setir ke kancah politik yang biasa didominasi lelaki itu. Artis sah-sah saja berpolitik dan merupakan aktivitas yang tidak dilarang. Beragam alasan dikemukannya menyangkut partisipasi  politiknya yang kebanyakan terkesan instan (langsung jadi).
         Sejumlah artis itu seperti dilansir sebuah majalah wanita antara lain Venna Melinda (Partai Demokrat), Raslina Rasyidin (Partai Amanat Nasional) dan Tessa Kaunang (Partai Damai Sejahtera), dan Okky Asokawati (PPP).  Selain mereka, muncul pula nama-nama lain seperti Nurul Arifin, Rieke Dyah Pitaloka, dan Wulan Guritno.
Fenomena artis yang mendadak berpolitik menandakan politik di kita masih mengandalkan popularitas yang bisa menggeser sederet prasyarat ideal seperti rekam jejak berpolitik seseorang, kemampuan, dan sebagainya. Indonesia masih mengedepankan politik citra di mana figur menjadi amat penting.
              Kalau sebelumnnya artis hanyalah sebagai vote getter (pengumpul suara) saat pemilihan (hanya sebagai bintang tamu) kini ia benar-benar menjadi pemain utama politik. Permainan politik memang sebelumnya didominasi lelaki yang memarjinalkan kesempatan dan peran wanita.. Dunia politik yang terkesan maskulin itu, penuh intrik, dan tarik-menarik kepentingan  kini banyak dilirik artis. Sekadar latahkah (ikut-ikutan), sebagai pelarian atau memang panggilan jiwa artis itu sendiri? Tak mudah menjawab semua pertanyaan ini. Ketimbang mereka-reka jawaban dari pertanyaan itu, alangkah lebih baik bila kita menunggu dan memberi kesempatan kepadanya untuk melihat kiprah politik artis kita.
             Yang perlu diperhatikan oleh artis kita sebagai wanita pemain politik adalah membuktikan diri kepada rakyat bahwa mereka layak duduk di kursi parlemen. Kita pun berharap suara rakyat yang diberikan kepadanya sebagai amanah yang harus dijadikan landasan dalam setiap gerak-gerik politik mereka, sehingga parlemen dapat menghasilkan kebijakan yang matang dan dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat banyak. Karakteristik wanita yang lebih menonjolkan perasaan dan hati nurani ini diharapkan mampu menyeimbangkan keputusan-keputusan yang hanya terkesan berupa kalkulasi untung-rugi dan mengenyampingkan dimensi-dimensi lain seperti rasa kemanusiaan. Bagaimanapun setiap kebijakan baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif jangan sampai mengalami pendangkalan kemanusiaan.
              Semoga artis yang mencalon sebagai legislator itu, tidak terjebak dalam sikap pragmatis yang menonjolkan kepentingan jangka pendek dan sesaat. Dan menjadikan pengalaman baru ini, sebagai investasi pendidikan politik dan penanaman sikap sportif..Terpilih maupun tidak terpilih ia harus siap dengan segala risiko dan konsekuensinya. Mulai sekarang ia harus membangun kredibilitas sehingga terbentuk kepercayaan dari rakyat kepadanya. Bangunan yang bermahkotakan kejujuran dan bersinggasanakan hati nurani untuk menampung suara-suara rakyat. Dengan demikian, kehadiran artis itu di dalamnya (gedung dewan), bukan hanya sebagai pigura penghias gedung wakil rakyat. Atau tak lagi hanya sebagai penahan rasa kantuk ketika rapat-rapat parlemen. berlangsung (Ari Hidayat)
(Dimuat di majalah DKI Jakarta)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar