Oleh Ari Hidayat pada 10 November 2011 pukul 8:13, di Catatan Facebook
Awal saya tertarik menulis nonfiksi dan fiksi sudah ada sejak SD. Tapi
sebatas keinginan tak diwujudkan pun kekaguman-kekaguman pada
karya-karya mereka. Di SMP saya mulai mengenal koran, majalah. Saya
sempat menyusun kata-kata yg saya tak mengerti dari media massa yang
saya baca dan mencari maknanya di kamus-kamus. Saya menuliskan semua itu
(tulisan tangan) dan menyusunnya menjadi semacam sebuah kamus
tersendiri. Ketika itu saya sempat memperlihatkan "kamus" saya itu ke
guru bahasa Indonesia SMPN 1 (almh) Ibu Pipih. Sepertinya dari beliaulah
saya terus mendapat dorongan untuk menulis.
Bu Pipih pun
sempat memerlihatkan puisi seorang kakak kelas kami (tapi saya lupa nama
penulisnya). Beliau berkomentar itu sebuah puisi yg sangat bagus.
Bahkan Bu Pipih yakin penulis puisi itu nanti bila mengembangkan
kemampuannya akan menjadi penyair besar. Bu Piipih pun mengajak saya ke
tempat Mading (Majalah Dinding) dan menempelkan puisi karya kakak kelas
saya itu di Mading. Menulis ya menulis. Namun, saya mentok cuma menulis
"Kamus" kecil itu hingga saya mahasiswa di IKIP Bandung sungguh saya
kesulitan menuangkan perasaan dan pikiran dalam bentuk tulisan. Menulis
menjadi sesuatu yang menjadi beban bagi saya. Ketika kuliah ini pun saya
memeroleh informasi bahwa Bu Pipih bersama anaknya tewas dalam sebuah
kecelakaan angkot 08 di dekat Cilembang. Bahkan Kabarnya angkotnya
sampai meledak. Saya sedih karena itu.
Namun di akhir-akhir
kuliah (tahun 1992-1993-an), saya kian yakin bahwa diri ini tak cocok
menjadi guru. Apalagi setelah praktik di SMA 8 Solontongan Buah Batu
saya meneguhkan diri setelah lulus tidak hendak menjadi guru dan mencari
pekerjaan lain. Singkat kata, saya pun lulus kuliah dan membaca di
majalah Tempo ada beasiswa untuk mengikuti Diklat Wartawan Profesional
di LP3Y, Yogyakarta, piimpinan Ashadi Siregar seorang sastrawan dan
dosen Komunikasi Fisipol UGM. Saya mendapat panggilan ketika melamar.
Dan meluncurlah saya ke Yogya. Lewat seleksi tulis dan psikotes saya
diterima di antara 12 peserta pendidikan Angkatan VII itu. Namun, saya
terbentur masalah biaya pendidikan yang 2,5 juta dan biaya hidup selama
sekitar setahun di Yogya. Saya malu minta ke orangtua yang serba
pas-pasan keadaan ekonominya. Di Yogya pun saya numpang tidur di famili
itu pun ada di Klaten.
Beruntung saya ditawarkan untuk
mengikuti jalur ikatan dinas dari sejumlah media seperti HU Jayakarta,
Surabaya Post dll. Tapi saya harus mengikuti seleksi lagi. Akhirnya saya
pun tes tertulis beberapa tahap, bahasa Inggris, psikotes, dan terkahir
tes kesehatan lengkap di RS Bethesda Yogya. Alhamdulillah saya lulus ke
Jayakarta. Akhirnya saya pun di biayai koran ibokota itu yang tadinya
satu grup perusahaan dengan Suara Pembaruan itu juga dikasih uang saku
selama pendidikan. Di tempat pendidikan ini saya digembleng masalah
kewartawanan dengan lebih menekankan pada sisi praktis (praktek). Kami
pun diharuskan hunting berita, termasuk untuk mencari bahan-bahan
laporan ataupun buat feature ke lapangan.
Sedangkan wadah
aktivitas jurnalisme itu, kami membentuk media internal. Saya ingat
media internal kelompok saya bernama "Independen", "PILAR", dll. Di
media ini saya belajar membuat straight news (berita langsung),
interpretative, feature, laporan jurnalistik, Tajuk Rencana, bahkan
investigative news. Kami rolling menjadi Pemimpin Redaksi dan kalau
sudah kebagian jabatan ini diwajibkan membuat Tajuk Rencana. Sungguh
kami begitu dekat di antara para peserta diklat bahkan dengan para
mentor (pengajar) sekali pun. Seakan kami satu saudara besar dari
beberapa daerah sedang berkumpul dan beraktivitas bersama. Kami ada yang
berasal dari Bandung, Gresik, Jakarta, Yogya sendiri, Sumatara Utara
(Medan), Purworedjo, Kalimantan.
Dan di antara peserta itu
kami bertiga (Beasiswa Ikatan Dinas HU Jayakarta), kemudian dari
media-media yang sudah ada-artinya mereka sudah menjadi wartawan dan
ditugaskan kantornya- sisanya belakangan beasiswa dari Surabaya Post.
Tak jarang kami pun berekreasi bersama seperti ke Kaliurang dll bahkan
sampai ke Temanggung, Jateng di sela-sela kesibukan tugas masing-masing.
Sedangkan, untuk mendukung wawasan peserta diklat , di LP3Y (Lembaga
Pendidikan, Penelitian, dan Penerbitan Yogya) ini pun kami diberikan
ceramah oleh pakar-pakar di bidangnya yang kebanyakan dosen-dosen
kenamaan dari UGM.
Dan pada akhirnya saya pun mengantongi
sertifikat wartawan profesional setelah tuntas melaksanakan pendidikan
dan mencapai rangking 3 terbaik serta diharuskan ke Jakarta menunaikan
ikatan dinas kerja selama 2 tahun. Jakarta I will come... (BERSAMBUNG)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar