Entri yang Diunggulkan

Di Sebuah Ranah

Saya menamainya   ranah   atau wilayah dalam arti seluas-luasnya di mana kebenaran dipersoalkan. Kebenaran dari yang mempersoalkan adalah k...

Jumat, 29 Juni 2012

Rapsodi dari Gurun Sunyi (1)


Oleh Ari Hidayat pada 10 November 2011 pukul 8:13, di Catatan Facebook 



      Awal saya tertarik menulis nonfiksi dan fiksi sudah ada sejak SD. Tapi sebatas  keinginan tak diwujudkan pun kekaguman-kekaguman pada karya-karya mereka. Di SMP saya mulai mengenal koran, majalah. Saya sempat menyusun kata-kata yg saya tak mengerti dari media massa yang saya baca dan mencari maknanya di kamus-kamus. Saya menuliskan semua itu (tulisan tangan) dan menyusunnya menjadi semacam sebuah kamus tersendiri. Ketika itu saya sempat memperlihatkan "kamus" saya itu ke guru bahasa Indonesia SMPN 1 (almh) Ibu Pipih. Sepertinya dari beliaulah saya terus mendapat dorongan untuk menulis.
     Bu Pipih pun sempat memerlihatkan puisi seorang kakak kelas kami (tapi saya lupa nama penulisnya). Beliau berkomentar itu sebuah puisi yg sangat bagus. Bahkan Bu Pipih yakin penulis puisi itu nanti bila mengembangkan kemampuannya akan menjadi penyair besar. Bu Piipih pun mengajak saya ke tempat Mading (Majalah Dinding) dan menempelkan puisi karya kakak kelas saya itu di Mading. Menulis ya menulis. Namun, saya mentok cuma menulis "Kamus" kecil itu hingga saya mahasiswa di IKIP Bandung sungguh saya kesulitan menuangkan perasaan dan pikiran dalam bentuk tulisan. Menulis menjadi sesuatu yang menjadi beban bagi saya. Ketika kuliah ini pun saya memeroleh informasi bahwa Bu Pipih bersama anaknya tewas dalam sebuah kecelakaan angkot 08 di dekat Cilembang. Bahkan Kabarnya angkotnya sampai meledak. Saya sedih karena itu.
    Namun di akhir-akhir kuliah (tahun 1992-1993-an), saya kian yakin bahwa diri ini tak cocok menjadi guru. Apalagi setelah praktik di SMA 8 Solontongan Buah Batu saya meneguhkan diri setelah lulus tidak hendak menjadi guru dan mencari pekerjaan lain. Singkat kata, saya pun lulus kuliah dan membaca di majalah Tempo ada beasiswa untuk mengikuti Diklat Wartawan Profesional di LP3Y, Yogyakarta, piimpinan Ashadi Siregar seorang sastrawan dan dosen Komunikasi Fisipol UGM. Saya mendapat panggilan ketika melamar. Dan meluncurlah saya ke Yogya. Lewat seleksi tulis dan psikotes saya diterima di antara 12 peserta pendidikan Angkatan VII itu. Namun, saya terbentur masalah biaya pendidikan yang 2,5 juta dan biaya hidup selama sekitar setahun di Yogya. Saya malu minta ke orangtua yang serba pas-pasan keadaan ekonominya. Di Yogya pun saya numpang tidur di famili itu pun ada di Klaten.
      Beruntung saya ditawarkan untuk mengikuti jalur ikatan dinas dari sejumlah media seperti HU Jayakarta, Surabaya Post dll. Tapi saya harus mengikuti seleksi lagi. Akhirnya saya pun tes tertulis beberapa tahap, bahasa Inggris, psikotes, dan terkahir tes kesehatan lengkap di RS Bethesda Yogya. Alhamdulillah saya lulus ke Jayakarta. Akhirnya saya pun di biayai koran ibokota itu yang tadinya satu grup perusahaan dengan Suara Pembaruan itu juga dikasih uang saku selama pendidikan. Di  tempat pendidikan ini saya digembleng masalah kewartawanan dengan lebih menekankan pada sisi praktis (praktek). Kami pun diharuskan hunting berita, termasuk untuk mencari bahan-bahan laporan ataupun buat feature ke lapangan.
       Sedangkan wadah aktivitas jurnalisme itu, kami membentuk media internal. Saya ingat media internal kelompok saya bernama "Independen", "PILAR", dll. Di media ini saya belajar membuat straight news (berita langsung), interpretative, feature, laporan jurnalistik, Tajuk Rencana, bahkan investigative news. Kami rolling menjadi Pemimpin Redaksi dan kalau sudah kebagian jabatan ini diwajibkan membuat Tajuk Rencana. Sungguh kami begitu dekat di antara  para peserta diklat bahkan dengan para mentor (pengajar) sekali pun. Seakan kami satu saudara besar dari beberapa daerah sedang berkumpul dan beraktivitas bersama. Kami ada yang berasal dari Bandung, Gresik, Jakarta, Yogya sendiri, Sumatara Utara (Medan), Purworedjo, Kalimantan.
      Dan di antara peserta itu kami bertiga (Beasiswa Ikatan Dinas HU Jayakarta), kemudian dari media-media yang sudah ada-artinya mereka sudah menjadi wartawan dan ditugaskan kantornya- sisanya belakangan beasiswa dari Surabaya Post. Tak jarang kami pun  berekreasi bersama seperti ke Kaliurang dll bahkan sampai ke Temanggung, Jateng di sela-sela kesibukan tugas masing-masing. Sedangkan,   untuk mendukung wawasan peserta diklat , di LP3Y (Lembaga Pendidikan, Penelitian, dan Penerbitan Yogya) ini pun kami diberikan ceramah oleh pakar-pakar di bidangnya yang kebanyakan dosen-dosen kenamaan dari UGM.
      Dan pada akhirnya saya pun mengantongi sertifikat wartawan profesional setelah tuntas melaksanakan pendidikan dan mencapai rangking 3 terbaik serta diharuskan ke Jakarta menunaikan ikatan dinas kerja selama 2 tahun. Jakarta I will come... (BERSAMBUNG)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar