Entri yang Diunggulkan

Di Sebuah Ranah

Saya menamainya   ranah   atau wilayah dalam arti seluas-luasnya di mana kebenaran dipersoalkan. Kebenaran dari yang mempersoalkan adalah k...

Rabu, 27 Juni 2012

Fenomena Artis Penulis


      Mencermati (tidak hanya menonton) kehidupan artis menarik juga. Terlepas dari gaya hidup mereka yang glamour dll,  ada kiprah artis yang menjadi amatan sejumlah kalangan. Sebut saja, fenomena artis yang banting setir ke dunia politik praktis entah untuk menjadi anggota dewan maupun pemimpin dan wakil pimpinan daerah. Begitu pula fenomena artis yang menjadi penulis. Memang tidak musykil atau aneh bila terdapat artis yang menjadi penulis skenario baik untuk sinetron maupun film, tapi untuk tulisan-tulisan lain seperti puisi, cerita pendek (cerpen), dan novel nampaknya baru belakangan ini menggejala.
     Sekadar contoh (mungkin ada yang luput dari pengamatan), dulu  Almarhum Wahyu Sardono (Dono Warkop) pernah menerbitkan novel-novel antara lain Cemara-cemara Kampus yang dipublikasikan penerbit kenamaan. Artis penyanyi Dewi “Dee” Lestari dengan npvel-novelnya mulai Supernova hingga Rectoverso. Neno Warisman yang sudah meluncurkan buku kumpulan puisi (antologi) karya dirinya. Artis film, sinetron, presenter, penulis buku dan juga anggota dewan, Rieke Diah Pitaloka menerbitkan antologi puisi Renungan Kloset dan buku Kekerasan Negara Menular ke Masyarakat. Juga Happy Salma serius jadi cerpenis dan telah menerbitkan dua kumpulan cerpen, yakni Pulang (2006) dan Telaga Fatamorgana (November 2008).
       Selanjutnya, penyanyi mungil asal Bandung, Trie Utami menerbitkan buku Karmapala dan Abhayagiri, yang mengungkap sejarah yang pernah ada pada abad kedelapan. Yang akan segera dirilis adalah antologi puisinya berjudul Cinta Setahun Penuh. Kumpulan puisi ini, Juni 2010 masih dalam proses percetakan. Berikutnya, artis penyanyi Melly Goeslaw menebirtkan kumpulan cerpennya bertajuk  10 Arghh. Buku ini sempat menjadi perdebatan menyangkut “kualitas” isinya. Apalagi salah satu cerpennya berjudul Tentang Dia diadaptasi menjadi sebuah film dan dikritik habis-habisan. Tak ketinggalan belum lama ini artis film, sinetron, dan presenter Harry “Boim” de Fretes terjun pula menjadi penulis naskah komik berjudul Halte Bis Rumpi. Kabarnya, komik ini tak tanggung-tanggung dibuat bersambung hingga tiga edisi.
        Fenomena artis menulis menjadi sebuah lentikan pemicu kontemplasi lebih jauh di tengah budaya literasi (menulis) yang kurang menggembirakan. Sejumlah kalangan menilai tradisi menulis di kita termasuk di kalangan  intelektual dari tahun ke tahun merosot. Jangankan untuk menulis,  menumbuhkan kegemaran membaca yang berjalin berkelindan dengan dunia menulis saja sudah sulit di masyarakat kita. Dapatlah dipamahi karena kita lebih akrab dengan tradisi lisan yang sudah berabad-abad digunakan. Sebagian besar masyarakat masih suka dengan mendengar sesuatu ketimbang membaca. Apalagi sangat jarang yang mengolah bahan bacaan itu untuk pembelajaran hidup dan kehidupan.
        Padahal sejatinya, selain memerlukan komunikasi verbal (lisan) kita pun membutuhkan yang nirverbal yakni lewat tulisan-tulisan. Dalam konteks literasi, orang boleh bilang menulis itu tidak menjanjikan secara finansial. Tidak seperti di negara-negara lain katakanlah,  Amerika, Inggris, dan Perancis yang hidup berkecukupan dengan menulis buku. Tapi keadaan finansial penulis itu relatif. Tidak sedikit penulis yang profesional menjadi sukses hanya dengan mengandalkan hidup dari tulisan-tulisannya, dari buku-bukunya. Meski banyak pula penulis yang hidup serbakekurangan, minimnya modal sosial dll. Satu yang perlu dicatat bagi sejumlah penulis yang “miskin” itu adalah  keistikamah menggeluti jagat literasi. Bagi  salah seorang pejuang pers di kita Ahmad Taufik (Redaktur majalah Tempo), menulis itu miskin tapi mengasyikan. Ada keasyikan saat mengungkapkan perasaan, ide-ide dalam pikiran, pertanyaan-pertanyaan mengejar jawaban dsb. Mungkin ada kegembiraan tersendiri bila tulisan-tulisannya dimuat di media, bahkan diterbitkan menjadi buku,
      Sehingga wajarlah kalau artis pun sampai banyak yang mengembangkan karier menjadi penulis. Terlepas dari penilaiaan tentang karya mereka, ada spirit yang sejatinya  dipetik oleh calon penulis maupun yang sudah betul-betul jadi penulis, yakni keberanian mereka untuk menulis. Karena memang menulis itu bukan sekadar wacana hanya buat dipikirkan dan diperbincangkan, tapi menulis itu adalah ya menulis. Ada sebuah buku menuliskan, “Salah seorang tante dari seorang penulis bertanya kepada dia, “Apa yang akan kau tulis anakku, sayang?” Jawab keponakannya yang penulis itu, “ Tante, seorang penulis yang benar-benar penulis tidak menuliskan apa-apa, dia hanyalah menulis."

     Lebih jauh menulis tidak hanya di kalangan  artis, tapi bagi orang yang memilih jalan hidup menjadi  penulis lebih dekat dengan dunia “kesenian” Maksudnya, seni dalam pengelola, mengolah, dan mengekspresikan apa yang dialami, dilihat, didengar, dan dirasakan. Bentuk ekspresinya adalah tulisan baik fiksi mapun nonfiksi. Sebuah “seni” dalam menulis yang diharapkan mengandung nilai yang penting,  menarik, dan bermanfaat berbingkaikan nilai-nilai estetik. Menjadi penulis adalah sebuah pilihan yang “menantang” kreativitas di tengah suasana yang kurang mendukung, menghargai, memahami, profesi yang satu ini. Menjadi penulis tak cukup minat dan dorongan, tapi juga keridhoan terhadap segala konsekuensinya (akuntabel) dan membelajarkan diri secara kontinu. Bersiapkah menjadi penulis? Jawabannya hanya satu  menulis dan teruslah menulis  (Ari Hidayat)

(Dimuat di Radar Tasikmalaya, 27 Oktober 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar