Oleh: Ari Hidayat
Kebebasan pers atau istilah dalam
UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers disebut kemerdekaan pers sangat dibutuhkan
dalam era informasi dan transparansi kini. Pers atau media massa cetak, elektronik, online dan segala
turunannya yang bebas itu diperlukan pula guna mendukung kehidupan yang lebih
demokratis. Bahkan Pasal 28 E dan F Amandemen UUD 1945 menjamin seseorang untuk
menyampaikan informasi. Meski dijelaskan selanjutnya tentang itu diatur kembali
dalam undang-undang lain. Kebebasan seseorang menyatakan pendapat di media massa menghasilkan UU tentang Pers tadi.
Ya, yang namanya kebebasan sejatinyat etap saja kebebasan. Tentang “batas-batasnya”
seperti adanya peraturan perundangan,
kode etik, kaidah jurnalistik, dsb sebetulnya sudah inheren melekat pada diri
pers. Jelas saja, kalau ditelisik lebih mendalam mana ada di dunia ini yang
namanya kebebasan. Kebebasan mutlak (yang sebebas-bebasnya) akan merusak makna
kebebasan itu sendiri dan menafikan
kebebasan lainnya. Begitu pula setelah reformasi dan pascareformasi dengan
dihapusnya sistem lisensi pers, media massa
memeroleh kemerdekaannya. Pers pun bermunculan seperti cendawan di musim hujan.
Apalagi di era multimedia kini, orang begitu mudah mencari, mengolah, dan
menyiarkan informasi (news) dan opini
(view).
Sehingga wajarlah bila dibentuk
pula UU Keterbukaan Informasi Publik
sekira dua tahun lalu. Konsekuensinya seyogianya pemerintah pusat dan
daerah membentuk komisi informasi. UU ini untuk merespon tuntutan akan adanya
transparansi informasi khususnya yang menyangkut kebijakan publik. Sedangkan
komisi informasi itu berperan sebagai mediator antara pemerintah dan publik
jika terjadi perselisihan yang menyangkut informasi kebijakan publik. Walaupun
seakan dijamin oleh peraturan perundangan tentang kebebasan pers itu termasuk
kebebasan masyarakat (publik) buat memeroleh informasi, tapi sebetulnya itu
hanyalah utopia (impian atau khayalan belaka).
Betapa tidak, dalam realitanya terkadang pers pun tak luput
dari gugatan publik dan penguasa menyangkut pemberitaan tertentu. Masih belum
lekang dalam ingatan kita persengketaan majalah Tempo dan Polri soal pemberitaan kepemilikan rekening tak wajar
sejumlah perwira Polri. Kasus ini berakhir dengan jalan damai setelah dimediasi
Dewan Pers. Belum lama ini, Ketua Umum Partai Golkar, Aburizal Bakrie
diberitakan akan melaporkan sejumlah media ke polisi dan Dewan Pers menyangkut
pemberitaan Ical, sapaan akrab Aburizal bertemu dengan tersangka mafia pajak
Gayus H Tambunan di Denpasar, Bali (Yahoonews, 24 November 2010). Alangkah baiknya bila perselisihan itu
diselesaian lewat jalur yang tepat sesuai peratuan perundangan pers yang
berlaku sebelum dibawa ke kepolisian yang mungkin bermuara di pengadilan.
Dilemanya adalah Undang-undang
tentang Pers itu sendiri belum bisa disebutkan sebagai hukum khusus (lex specialis) dari hukum pidana di
negara kita. Undang –undang yang disahkan pada 1999 lalu itu menyatakan,
peraturan perundangan tentang pers sebelumnya masih berlaku. Belum lagi bila
sengketa pers dengan publik dan penguasa sampai ke pengadilan maka pers
biasanya tidak berdaya menghadapi pasal-pasal Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP). Berawal dari kata-kata, ada yang berakhir di penjara. Padahal sejatinya
kata dibalas dengan kata bukan dengan pidana kurungan badan.
Bukankah UU tentang Pers
pun mengamanatkan hak jawab yang dapat digunakan seseorang atau sekelompok
orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa
fakta yang merugikan nama baiknya (Pasal 1 ayat 11). Dan hak koreksi yakni hak setiap orang untuk
mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers,
baik tentang dirinya maupun orang lain (Ayat 1 pasal 12). Serta kewajiban
koreksi yaitu keharusan melakukan koreksi atau ralat terhadap suatu informasi,
data, fakta, opini, atau gambar yang tidak benar yang telah diberitakan oleh
pers yang bersangkutan. Begitu pula ada lembaga mediasi seperti Dewan Pers
(pers cetak) dan Komisi Penyiaran (media elektronik) untuk kasus-kasus media massa .
Berkaca pada kasus-kasus
sengketa media seyogianya insan pers,
narasumber berita termasuk penguasa dan
publik lebih mengedepankan prasangka baik dan kedewasaan sikap dalam menyikapi
media. Secara garis besar (dari segi tatakelola) dapatlah dikatakan media itu
ada yang profesional dan nonprofesional. Tanpa bermaksud mendikotomikan apalagi
menafikan media yang terakhir, bagaimanapun profesionalitas, kompetensi, kredibiitas,
termasuk akuntabilitas media menjadi prasyarat utama apakah entitas media itu
dapat diperhitungkan secara profesional atau tidak.
Namun, tentunya
“panggilan jiwa” atau spirit setiap
insan pers dilihat dari paradigma psikologi media pada dasarnya sama.
Yakni, sikap yang umumnya dimiliki praktisi pers yang dalam tugas
jurnalistiknya mengabdi untuk mencari kebenaran demi kepentingan masyarakat
umum. Insan pers yang baik bekerja bukan untuk kepentingan perusahaan tempat ia
bekerja (walau dia terikat kebijakan redaksi), bukan pula demi kepentingan
dirinya, individu, kelompok, organisasi, bahkan negara dan bangsa sekalipun. Dalam
menjalankan tugasnya itu tidak jarang sama juga dengan orang lain insan pers
pun terkadang melakukan kekhilafan dan kelalaian. Termasuk mungkin yang bisa
berbuah delik (aduan) dari publik dan penguasa.
Perlu dikesampingkan
kecurigaan-kecurigaan terhadap insan pers (media) semacam jurnalis yang
terkesan “bermain” politik praktis, membawa pesan-pesan tertentu, dll. Adalah
terlalu naif jika ada jurnalis (profesional)
sampai mengemas informasi dan menyiarkan berita tidak faktual (berita
bohong, fitnah, memutar balikkan fakta). Ritme kerja yang cepat (ada tenggat
waktu/deadline) ditambah sekarang
dengan suasana persaingan lebih ketat di antara media itu sendiri tidak menutup
kemungkinan pers pun melakukan kelalaian. Tapi, media yang kredibel tidak akan
mungkin jurnalisnya melakukan kekeliruan fatal seperti itu.
Dalam kasus perselisihan
pers dan publik seperti itu, alangkah bijaknya bila ditempuh upaya-upaya
seperti di atas dulu seamsal menggunakan hak jawab, hak koreksi, melaporkan ke
Dewan Pers sebelum ke polisi. Muara kasus sampai di persidangan pidana,
nampaknya tidak mungkin untuk dinegasikan mengingat pers itu sendiri bukanlah
sebuah lembaga superbody, untouchable, dan kebal hukum. Mengingat
tiadalah dikenal kebebasan itu yang sepertinya adalah sebuah utopia, namun
layaknya bila disebutkan, media sejatinya diberi ruang yang seluas-luasnya
untuk memroduksi informasi dan pandangan
atau opini (view) dengan
fondasi insan pers yang profesional, kredibel, kapabel, dan akuntabel.
Semoga.***
Penulis, praktisi jurnalistik, tinggal di Kota Tasikmalaya, Jawa Barat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar