Entri yang Diunggulkan

Di Sebuah Ranah

Saya menamainya   ranah   atau wilayah dalam arti seluas-luasnya di mana kebenaran dipersoalkan. Kebenaran dari yang mempersoalkan adalah k...

Selasa, 10 Juli 2012

Utopia Kebebasan Pers




Oleh: Ari Hidayat



             Kebebasan pers atau istilah dalam UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers disebut kemerdekaan pers sangat dibutuhkan dalam era informasi dan transparansi kini. Pers atau media massa cetak, elektronik, online dan segala turunannya yang bebas itu diperlukan pula guna mendukung kehidupan yang lebih demokratis. Bahkan Pasal 28 E dan F Amandemen UUD 1945 menjamin seseorang untuk menyampaikan informasi. Meski dijelaskan selanjutnya tentang itu diatur kembali dalam undang-undang lain. Kebebasan seseorang menyatakan pendapat di media massa  menghasilkan UU tentang Pers tadi.
              Ya,  yang namanya kebebasan sejatinyat etap  saja kebebasan. Tentang “batas-batasnya” seperti adanya  peraturan perundangan, kode etik, kaidah jurnalistik, dsb sebetulnya sudah inheren melekat pada diri pers. Jelas saja, kalau ditelisik lebih mendalam mana ada di dunia ini yang namanya kebebasan. Kebebasan mutlak (yang sebebas-bebasnya) akan merusak makna kebebasan  itu sendiri dan menafikan kebebasan lainnya. Begitu pula setelah reformasi dan pascareformasi dengan dihapusnya sistem lisensi pers, media massa memeroleh kemerdekaannya. Pers pun bermunculan seperti cendawan di musim hujan. Apalagi di era multimedia kini, orang begitu mudah mencari, mengolah, dan menyiarkan informasi (news) dan opini (view).
                Sehingga wajarlah bila dibentuk pula UU Keterbukaan Informasi Publik  sekira dua tahun lalu. Konsekuensinya seyogianya pemerintah pusat dan daerah membentuk komisi informasi. UU ini untuk merespon tuntutan akan adanya transparansi informasi khususnya yang menyangkut kebijakan publik. Sedangkan komisi informasi itu berperan sebagai mediator antara pemerintah dan publik jika terjadi perselisihan yang menyangkut informasi kebijakan publik. Walaupun seakan dijamin oleh peraturan perundangan tentang kebebasan pers itu termasuk kebebasan masyarakat (publik) buat memeroleh informasi, tapi sebetulnya itu hanyalah utopia (impian atau khayalan belaka).
                 Betapa tidak,  dalam realitanya terkadang pers pun tak luput dari gugatan publik dan penguasa menyangkut pemberitaan tertentu. Masih belum lekang dalam ingatan kita persengketaan majalah Tempo dan Polri soal pemberitaan kepemilikan rekening tak wajar sejumlah perwira Polri. Kasus ini berakhir dengan jalan damai setelah dimediasi Dewan Pers. Belum lama ini, Ketua Umum Partai Golkar, Aburizal Bakrie diberitakan akan melaporkan sejumlah media ke polisi dan Dewan Pers menyangkut pemberitaan Ical, sapaan akrab Aburizal bertemu dengan tersangka mafia pajak Gayus H Tambunan di Denpasar, Bali  (Yahoonews, 24 November 2010).  Alangkah baiknya bila perselisihan  itu  diselesaian lewat jalur yang tepat sesuai peratuan perundangan pers yang berlaku sebelum dibawa ke kepolisian yang mungkin bermuara di pengadilan.
                  Dilemanya adalah Undang-undang tentang Pers itu sendiri belum bisa disebutkan sebagai hukum khusus (lex specialis) dari hukum pidana di negara kita. Undang –undang yang disahkan pada 1999 lalu itu menyatakan, peraturan perundangan tentang pers sebelumnya masih berlaku. Belum lagi bila sengketa pers dengan publik dan penguasa sampai ke pengadilan maka pers biasanya tidak berdaya menghadapi pasal-pasal Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Berawal dari kata-kata, ada yang berakhir di penjara. Padahal sejatinya kata dibalas dengan kata bukan dengan pidana kurungan badan.
                       Bukankah UU tentang Pers pun mengamanatkan hak jawab yang dapat digunakan seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya (Pasal 1 ayat 11). Dan  hak koreksi yakni hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun orang lain (Ayat 1 pasal 12). Serta kewajiban koreksi yaitu keharusan melakukan koreksi atau ralat terhadap suatu informasi, data, fakta, opini, atau gambar yang tidak benar yang telah diberitakan oleh pers yang bersangkutan. Begitu pula ada lembaga mediasi seperti Dewan Pers (pers cetak) dan Komisi Penyiaran (media elektronik) untuk kasus-kasus media massa.
                       Berkaca pada kasus-kasus sengketa media seyogianya   insan pers, narasumber  berita termasuk penguasa dan publik lebih mengedepankan prasangka baik dan kedewasaan sikap dalam menyikapi media. Secara garis besar (dari segi tatakelola) dapatlah dikatakan media itu ada yang profesional dan nonprofesional. Tanpa bermaksud mendikotomikan apalagi menafikan media yang terakhir, bagaimanapun profesionalitas, kompetensi, kredibiitas, termasuk akuntabilitas media menjadi prasyarat utama apakah entitas media itu dapat diperhitungkan secara profesional atau tidak.
                       Namun, tentunya “panggilan jiwa” atau spirit setiap  insan pers dilihat dari paradigma psikologi media pada dasarnya sama. Yakni, sikap yang umumnya dimiliki praktisi pers yang dalam tugas jurnalistiknya mengabdi untuk mencari kebenaran demi kepentingan masyarakat umum. Insan pers yang baik bekerja bukan untuk kepentingan perusahaan tempat ia bekerja (walau dia terikat kebijakan redaksi), bukan pula demi kepentingan dirinya, individu, kelompok, organisasi, bahkan negara dan bangsa sekalipun. Dalam menjalankan tugasnya itu tidak jarang sama juga dengan orang lain insan pers pun terkadang melakukan kekhilafan dan kelalaian. Termasuk mungkin yang bisa berbuah delik (aduan) dari publik dan penguasa.
                       Perlu dikesampingkan kecurigaan-kecurigaan terhadap insan pers (media) semacam jurnalis yang terkesan “bermain” politik praktis, membawa pesan-pesan tertentu, dll. Adalah terlalu naif jika ada jurnalis (profesional)  sampai mengemas informasi dan menyiarkan berita tidak faktual (berita bohong, fitnah, memutar balikkan fakta). Ritme kerja yang cepat (ada tenggat waktu/deadline) ditambah sekarang dengan suasana persaingan lebih ketat di antara media itu sendiri tidak menutup kemungkinan pers pun melakukan kelalaian. Tapi, media yang kredibel tidak akan mungkin jurnalisnya melakukan kekeliruan fatal seperti itu. 
                      Dalam kasus perselisihan pers dan publik seperti itu, alangkah bijaknya bila ditempuh upaya-upaya seperti di atas dulu seamsal menggunakan hak jawab, hak koreksi, melaporkan ke Dewan Pers sebelum ke polisi. Muara kasus sampai di persidangan pidana, nampaknya tidak mungkin untuk dinegasikan mengingat pers itu sendiri bukanlah sebuah lembaga superbody, untouchable, dan kebal hukum. Mengingat tiadalah dikenal kebebasan itu yang sepertinya adalah sebuah utopia, namun layaknya bila disebutkan, media sejatinya diberi ruang yang seluas-luasnya untuk memroduksi informasi dan pandangan  atau opini (view) dengan fondasi insan pers yang profesional, kredibel, kapabel, dan akuntabel. Semoga.***
                   Penulis, praktisi jurnalistik, tinggal di Kota Tasikmalaya, Jawa Barat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar