Setelah
reformasi, kita menjadi lebih akrab dengan kata yang satu ini, korupsi. Ketika
reformasi bergulir, mahasiswa dan elemen masyarakat lainnya gencar menyuarakan
anti-KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Setelah itu, negeri kita pun
menggalakkan upaya-upaya memberantas korupsi. Sehingga, nyaris tiap hari media
massa kita memberitakan soal perbuatan yang melanggar hukum itu. Ada pejabat
yang kesandung kebijakannya yang korup dan berakhir di balik terali besi.
Begitu pula dengan mantan-mantan pejabat publik. Yang lebih memprihatinkan,
sebuah media asing menyiarkan suatu laporan yang menyatakan bahwa Indonesia
masih sebagai negara terkorup di Asia.
Korupsi memang lebih gencar diberitakan
ketimbang kolusi (kongkalikong,
praktik suap, sogok-menyogok) atau pun nepotisme (menempatkan anggota keluarga,
kerabat, dan kenalan seorang pejabat untuk duduk di suatu jabatan tanpa
mekanisme dan prosedur yang benar/langsung tunjuk). Gencarnya pemberitaan ini,
lantaran korupsi lebih kentara nilai materi (uang) yang disalahgunakan
koruptor. Bahkan nilainya bisa mencapai miliaran rupiah segala. Sejatinya,
setelah dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan bermunculannya lembaga
swadaya mesyarakat (LSM) pemantau pemerintah, seperti Indonesian Corruption Watch (ICW) dan terungkapnya kasus-kasus
korupsi membuat aparatur negara lebih berhati-hati menjalankan tugasnya dan
menghindari praktik korupsi. Namun demikian, korupsi masih tetap saja marak.
Sehingga ada orang yang mengatakan korupsi di kita sudah menjadi suatu
kebudayaan. Benarkah?
Kita selama ini lebih mengenal korupsi
dari segi penyalahgunaan (kalau tidak mau disebut sebagai pencurian) uang
negara yang notabene adalah uang rakyat pula. Padahal, kalau kita telisik lebih
jauh korupsi pun tidak hanya menyangkut materi tapi juga moral. Korupsi moral
lebih menyangkut moralitas seseorang (individu) dan juga kolektif. Ia bisa
berhubungan dengan kebijakan yang menyimpang (tidak prorakyat), pemborosan
waktu, kebijakan yang terkesan akal-akalan, pelayanan birokrasi yang
diskriminatif, seorang aparatur negara yang tidak sungguh-sungguh menjalankan
tugasnya bahkan membolos (mangkir), dsb.
Penyalahgunaan ini terkesan sebagai
pelanggaran yang ringan, sebab tidak ada yang secara langsung negara dirugikan
dari segi keuangannya. Tapi, tetap saja itu sebagai tindakan yang korup. Sebuah
korupsi moral. Ini sungguh ironis ketika dulu bahkan sekarang kita
mendengungkan-dengungkan moralitas sebagai identitas negeri yang patut
dibangga-banggakan. Pada kenyataannya mana? Lebih banyak pejabat publik,
termasuk aparatur pemerintah, anggota dewan bahkan aparat penegak hukum yang
tersangkut kasus-kasus korupsi dan kolusi.
Lantas di manakah ciri-ciri
keindonesiaan yang menjunjung tinggi moral ketimuran yang patuh taat kepada
hukum, sopan-santun, kekeluargaan, menghargai adat-istiadatnya termasuk
nilai-nilai lokal, gotong royong, sistem keamanan lingkungan (Siskamling)
berbentuk ronda bersama, musyawarah, kesederhanaan, dan toleransi? Nampaknya
identitas kita seperti itu sudah menghilang, tinggal kenangan. Yang ada dan seringkali
muncul adalah fenomena individualisme, ekonomi kapitalistik yang meniscayaan
satu-satu-satunya jalan ekonomi kita adalah uang dengan hukum untung-rugi
meteri semata. Bukankah kita menganut sistem ekonomi keadilan dan kesejahteraan?
Di mana letak keadilannya apalagi kesejahteraannya, apalagi kebijakan
pemerintah kebanyakan terkesan korporatis dan malahan menambah jumlah rakyat
yang tidak sejahtera (miskin)?
Lantas di manakah letak peran anggota dewan
jika ia kerjaannya (maaf) hanya bermasturbasi politik. Apalagi sejak reformasi
digulirkan digembar-gemborkan tentang pentingnya gerakan moral sebab, krisis sebelumnya
ditengarai berpangkal kepada krisis moral. Moral secara umum menyangkut sikap
dan tindakan seseorang baik yang menyangkut kehidupan pribadinya maupun
berhubungan dengan orang lain. Sehingga tak berlebihan bila kata ini
disandingkan dengan yang lainnya, seperti gerakan moral. Pers sebagai kekuatan
keempat dalam trias politika (eksekutif, legislatif, dan yudikatif)
disebut-sebut sebagai watchdog (penjaga
moral) masyarakatnya. Sedangkan
mahasiswa sebagai calon kaum intelektual (cendekiawan) kerap dikatakan
mempunyai kekuatan moral (moral force).
Seorang anggota legislatif pusat yang
akan maju lagi dalam pemilihan 2009 lalu, di sebuah televisi swasta mengatakan
terang-terangan bahwa modal untuk menjadi anggota dewan hanya dua yakni uang
dan mental. Benarkah cuma itu? Tidak bergunakah pengalaman organisasi,
kemampuan lobi, kapabilitas politik, dan tentunya moralitas seorang calon
anggota dewan? Pada akhrirnya moral tidak cukup hanya diperbincangkan (sebagai
wacana) ia perlu perwujudan. Sebagaimana teori memerlukan pembuktian, gagasan,
konsep, dan ide membutuhkan pengujian sekaligus pembuktian, maka moral bersentuhan
dengan sikap dan perilaku individu bersinggungan dengan kehidupan kita
sehari-hari baik sebagai makhluk individu maupun sosial. Karena itu, solusinya
adalah pembelajaran agar kehidupan moralitas kita lebih baik dari hari ke hari (Ari Hidayat).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar