Entri yang Diunggulkan

Di Sebuah Ranah

Saya menamainya   ranah   atau wilayah dalam arti seluas-luasnya di mana kebenaran dipersoalkan. Kebenaran dari yang mempersoalkan adalah k...

Jumat, 13 Juli 2012

Korupsi Moral?


       Setelah reformasi, kita menjadi lebih akrab dengan kata yang satu ini, korupsi. Ketika reformasi bergulir, mahasiswa dan elemen masyarakat lainnya gencar menyuarakan anti-KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Setelah itu, negeri kita pun menggalakkan upaya-upaya memberantas korupsi. Sehingga, nyaris tiap hari media massa kita memberitakan soal perbuatan yang melanggar hukum itu. Ada pejabat yang kesandung kebijakannya yang korup dan berakhir di balik terali besi. Begitu pula dengan mantan-mantan pejabat publik. Yang lebih memprihatinkan, sebuah media asing menyiarkan suatu laporan yang menyatakan bahwa Indonesia masih sebagai negara terkorup di Asia.
        Korupsi memang lebih gencar diberitakan ketimbang kolusi (kongkalikong, praktik suap, sogok-menyogok) atau pun nepotisme (menempatkan anggota keluarga, kerabat, dan kenalan seorang pejabat untuk duduk di suatu jabatan tanpa mekanisme dan prosedur yang benar/langsung tunjuk). Gencarnya pemberitaan ini, lantaran korupsi lebih kentara nilai materi (uang) yang disalahgunakan koruptor. Bahkan nilainya bisa mencapai miliaran rupiah segala. Sejatinya, setelah dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan bermunculannya lembaga swadaya mesyarakat (LSM) pemantau pemerintah, seperti Indonesian Corruption Watch (ICW) dan terungkapnya kasus-kasus korupsi membuat aparatur negara lebih berhati-hati menjalankan tugasnya dan menghindari praktik korupsi. Namun demikian, korupsi masih tetap saja marak. Sehingga ada orang yang mengatakan korupsi di kita sudah menjadi suatu kebudayaan. Benarkah?
         Kita selama ini lebih mengenal korupsi dari segi penyalahgunaan (kalau tidak mau disebut sebagai pencurian) uang negara yang notabene adalah uang rakyat pula. Padahal, kalau kita telisik lebih jauh korupsi pun tidak hanya menyangkut materi tapi juga moral. Korupsi moral lebih menyangkut moralitas seseorang (individu) dan juga kolektif. Ia bisa berhubungan dengan kebijakan yang menyimpang (tidak prorakyat), pemborosan waktu, kebijakan yang terkesan akal-akalan, pelayanan birokrasi yang diskriminatif, seorang aparatur negara yang tidak sungguh-sungguh menjalankan tugasnya bahkan membolos (mangkir), dsb.
        Penyalahgunaan ini terkesan sebagai pelanggaran yang ringan, sebab tidak ada yang secara langsung negara dirugikan dari segi keuangannya. Tapi, tetap saja itu sebagai tindakan yang korup. Sebuah korupsi moral. Ini sungguh ironis ketika dulu bahkan sekarang kita mendengungkan-dengungkan moralitas sebagai identitas negeri yang patut dibangga-banggakan. Pada kenyataannya mana? Lebih banyak pejabat publik, termasuk aparatur pemerintah, anggota dewan bahkan aparat penegak hukum yang tersangkut kasus-kasus korupsi dan kolusi.
        Lantas di manakah ciri-ciri keindonesiaan yang menjunjung tinggi moral ketimuran yang patuh taat kepada hukum, sopan-santun, kekeluargaan, menghargai adat-istiadatnya termasuk nilai-nilai lokal, gotong royong, sistem keamanan lingkungan (Siskamling) berbentuk ronda bersama, musyawarah,  kesederhanaan, dan toleransi? Nampaknya identitas kita seperti itu sudah menghilang, tinggal kenangan. Yang ada dan seringkali muncul adalah fenomena individualisme, ekonomi kapitalistik yang meniscayaan satu-satu-satunya jalan ekonomi kita adalah uang dengan hukum untung-rugi meteri semata. Bukankah kita menganut sistem ekonomi keadilan dan kesejahteraan? Di mana letak keadilannya apalagi kesejahteraannya, apalagi kebijakan pemerintah kebanyakan terkesan korporatis dan malahan menambah jumlah rakyat yang tidak sejahtera (miskin)?
       Lantas di manakah letak peran anggota dewan jika ia kerjaannya (maaf) hanya bermasturbasi politik. Apalagi sejak reformasi digulirkan digembar-gemborkan tentang pentingnya gerakan moral sebab, krisis sebelumnya ditengarai berpangkal kepada krisis moral. Moral secara umum menyangkut sikap dan tindakan seseorang baik yang menyangkut kehidupan pribadinya maupun berhubungan dengan orang lain. Sehingga tak berlebihan bila kata ini disandingkan dengan yang lainnya, seperti gerakan moral. Pers sebagai kekuatan keempat dalam trias politika (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) disebut-sebut sebagai watchdog (penjaga moral) masyarakatnya.  Sedangkan mahasiswa sebagai calon kaum intelektual (cendekiawan) kerap dikatakan mempunyai kekuatan moral (moral force).
         Seorang anggota legislatif pusat yang akan maju lagi dalam pemilihan 2009 lalu, di sebuah televisi swasta mengatakan terang-terangan bahwa modal untuk menjadi anggota dewan hanya dua yakni uang dan mental. Benarkah cuma itu? Tidak bergunakah pengalaman organisasi, kemampuan lobi, kapabilitas politik, dan tentunya moralitas seorang calon anggota dewan? Pada akhrirnya moral tidak cukup hanya diperbincangkan (sebagai wacana) ia perlu perwujudan. Sebagaimana teori memerlukan pembuktian, gagasan, konsep, dan ide membutuhkan pengujian sekaligus pembuktian, maka moral bersentuhan dengan sikap dan perilaku individu bersinggungan dengan kehidupan kita sehari-hari baik sebagai makhluk individu maupun sosial. Karena itu, solusinya adalah pembelajaran agar kehidupan moralitas kita lebih baik dari hari ke hari (Ari Hidayat).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar