Entri yang Diunggulkan

Di Sebuah Ranah

Saya menamainya   ranah   atau wilayah dalam arti seluas-luasnya di mana kebenaran dipersoalkan. Kebenaran dari yang mempersoalkan adalah k...

Minggu, 01 Juli 2012

Mimbar


Mimbar

Oleh: Ari Hidayat
                                                                                                             

              Entah sejak kapan dan sudah berapa lama lelaki itu tinggal di pondok sebuah bukit di Kampung Sukasunyi, Desa Sukasepi. Warga kampung mengetahuinya saat suatu hari Sudi tak sengaja melewati tempat itu . Yang jelas tadinya tak ada gubuk atau pondok di tanah bukit yang tak terlalu tinggi itu. Orang-orang kampung hanya ingat, tanah itu tadinya milik Abah Karta yang kabarnya dijual ke orang kota. Itu saja. Sudi memergoki lelaki penghuni pondok sederhana itu lagi duduk sendiri di dekat pintu. Yang mengherankannya ketika Sudi menyapanya, lelaki itu hanya membalas denga senyuman lantas bergegas masuk ke pondoknya.
              Bukannya Sudi tersinggung, hanya sudah jadi kebiasaan warga kampung bila berkenalan dengan orang baru apalagi yang masuk ke daerahnya,  lebih dari sekadar  saling bertukar senyum. Sebuah perkenalan yang akrab, bersahabat, dan terbuka. Tapi, lelaki itu “aneh”.
              “Ah lelaki itu mungkin lagi ada perlu , hingga ia buru-buru masuk ke dalam,” benak Sudi.
                Ia pun tak mengacuhkannya dan melintas di dekat pagar bambu yang tak jauh dari pondok lelaki itu. Sekilas Sudi melihat pondok itu sederhana terbuat dari kayu beratapkan sirap dan berdiri di bawah pohon rambutan.
             Sepulang mencari kayu bakar, Sudi melewati pondok itu, namun lelaki itu tak dilihatnya lagi. Mungkin dia lagi di dalam. Atau ada keperluan keluar. Sudi melangkahkan kaki seraya memanggul kayu bakar di pundaknya. Kakinya dengan lincah menuruni tangga-tangga bukit yang disangga bebatuan itu. Ia menuju rumahnya. Kedatangannya disambut dengan wangi ikan asin bakar. Ya, sekarang lagi zaman sulit. Tadinya Sumi, istri Sudi memasak dengan kompor minyak tanah. Sekarang minyak harganya membengkak hingga tak terjangkau orang kecil seperti dirinya. Terpaksa keluarganya  mamakai kayu bakar untuk memasak.
             “Kang nasinya sudah matang, Nih ikan asinnya mau diangkat. Akang cuci tangan dulu lantas makan, ya,” seru Sumi.
               Rupanya ia tahu suaminya sudah datang dari suara jejak-jejak kaki melangkah dan suara ikatan kayu bakar yang setengah dijatuhkan dari panggulan  Sudi di pojok luar dekat dapur.
               “Iya, iya, Nyi. Aku cuci tangan dulu di pancuran. Gimana sambel dan lalapnya udah siap?” sahut Sudi.
                Tak terdengar jawaban istrinya di telinga Sudi, rupanya ia lagi sibuk mempersiapkan makan pada siang itu. Apalagi sebentar lagi anak semata wayangnya pulang dari sekolah SD.

***

              Ini hari keempat setelah Sudi melihat lelaki penghuni pondok. Dengan cepat kabar lelaki itu menyebar ke seantero kampung. Ia menjadi bintang pembicaraan warga kampung. Sebelumnya Sudi sempat mendengar lelaki itu terkadang suka juga terlihat di pasar kecamatan. Yang mengherankannya, kenapa berita itu begitu cepat tersiar? Seingat  Sudi, dia baru menceritakan tentang lelaki itu kepada istrinya. Mungkin ada juga warga kampung lain yang melihat lelaki itu. Sehingga terjadilah kabar getok tular, dari mulut ke mulut yang cepat menyebar. Maklum warga kampung kalau ada sesuatu yang di luar kebiasaan mereka bisa menjadi bahan perbincangan.
              Hari berbilang hari, sudah hampir dua pekan, lelaki itu tetap menutup diri. Dia tetap menjadi bahan percakapan warga kampung. Mulai obrolan santai di rumah, di sela-sela kesibukan di sawah dan ladang, juga  gardu ronda.  Sumi pernah cerita ke suaminya bahwa, Sodik pemuda kampung yang terbilang berani sempat pula menyambangi pondok lelaki itu. Namun kebetulan lelaki itu tak ada di pondokannya. Sodik hanya disambut pintu depan pondok yang terkunci gembok. Ia pun gagal untuk bertemu dengan lelaki itu.
             Kini warga nyaris melupakan lelaki penyendiri yang tak pernah bergaul dengan warga kampung itu. Apalagi sebenarnya kenapa warga mesti terusik, toh dia tak pernah membikin masalah dengan mereka. Hanya cara dia hidup yang menyepi bahkan memutuskan hubungan dengan warga kampung yang membuat mereka penasaran. Sudah menjadi tradisi di kampung Sukasunyi, kalau ada warga baru, ya, dia mengadakan sekadar perkenalan dengan selamatan mengundang tetangga terdekat. Seandainya tidak pun,  sebagaimana warga negara yang taat aturan, seharusnya lapor dulu ke RT dan RW. Di sinilah letak keheranan warga. Lelaki itu tetap dengan kesendiriannya.
             Perbincangan tentang lelaki itu sedikit terlupakan, ketika warga disibukkan dengan musibah yang menimpa mereka. Berawal dari anak Samta yang badannya panas-panas dan tak kunjung reda. Bahkan setelah disuntik Pak Mantri pun badan anak itu masih saja demam. Setelah anak Samta, kini ibunya pun terjangkit penyakit yang sama tubuhnya panas dingin. Ibu dan anak itu kini tergolek lemas di kasur. Yang membuat panik warga dengan cepat penyakit yang sama menyebar. Kini sudah terhitung 6 warga terserang penyakit panas-panas di badan mereka. Tak sempat dibawa ke Puskesmas kecamatan yang jaraknya cukup jauh anak  Kang Samta terburu menghembuskan napas yang terakhir.
             Keluarga Samta pun dirundung duka. Entah berawal dari apa, di sela-sela mengurus jenazah anak Samta terjadi obrolan yang cukup hangat tentang wabah yang menyerang warga. Berbagai spekulasi penyebab musibah itu pun bermunculan. Tak terkecuali yang tidak masuk akal, yakni mengerah ke tuduhan santet segala. Dan tuduhan ini pun langsung tertuju ke lelaki penyepi itu. Saat pulang dari pekuburan, obrolan itu kian ramai saja dan sudah mengkristal ke tuduhan sebagai biang keladi kesusahan warga itu adalah si lelaki penyepi.
             “Coba, Kang Samta pikirkan. Masa dalam waktu kurang seminggu banyak warga berjatuhan sakit dengan gejala yang sama. Dan makan korban lagi. Jelas ini karena lelaki sombong dan aneh itu. Saya yakin dia punya maksud jahat dengan menyendiri seperti itu,” kata seorang warga kepada Samta.
              ” Iya, kalau bukan dukun santet, mungkin dia buronan atau mungkin teroris yang sempunyi di kampung kita, karena takut ketahuan aparat. Yang jelas pasti orang itu tidak baik,” tambah yang lain.
               Samta hanya manggut-manggut sekenanya, tapi hatinya belum sepenuhnya menerima perkataan-perkataan itu.
                  “Tapi, kita jangan keburu menuduh dulu. Mungkin ini memang penyakit biasa. Itu tuh, kan ada penyakit yang suka menular,” timpal Abah Wira.
                 Meski begitu nampaknya sebagian warga terpengaruh oleh omongan tentang dukun santet itu. Sebagian di antara mereka ada yang tidak bisa menyembunyikan kekesalannya lagi kepada lelaki penghuni pondok itu. Mereka mengumpat-ngumpat lelaki itu sebagai penyebab wabah yang menimpa warga kampung.
***
                 Gelap masih memeluk bumi.  Waktu shalat subuh baru saja usai.  Orang-orang yang bersembahyang di langgar sudah pulang. Beberapa warga tampak beriringan dengan hati yang sama, menaruh prasangka dan dendam dalam dada. Di antara mereka ada yang memegang obor, balok kayu, bahkan golok segala. Mereka melangkah menuju lereng bukit tempat pondok lelaki asing itu berada. Dalam pikiran dan hati mereka membuncah tuduhan bahwa lelaki itulah sebagai penyebab penyakit yang menimpa sebagian warga kampung, bahkan sampai merenggut nyawa di antara yang sakit itu.
                 Langkah mereka sudah mendekati pondok. Tanpa permisi mereka langsung melabrak pagar bambu dan menerobos dengan cara mendobrak pintu masuk. Salah seorang di antara mereka mendahului berteriak,
                ”Keluar hai lelaki pembawa sial. Kalau tidak akan kubakar pondok ini,” teriak orang itu.
                Yang lainnya seperti terbakar ikut-ikutan menyemprotkan kata-kata senada.
              . “Keluar lelaki sialan. Keluar,”,“ teriak mereka  seraya masuk ke dalam pondok.
                  Tapi, di dalam senyap.
                Lewat penerangan seadanya dari obor yang dibawa mereka,  tak terlihat ada orang di sana.  Pondok itu hanya satu ruangan,  di pojok kanan terdapat dipan sederhana.                                  
                 Dan di atas dipan hanya terhampar sajadah. Mereka pun kaget ketika kaki-kaki mereka rupannya menginjak sajadah pula. Ya, pondok itu dipenuhi sajadah di atas lantai tanah yang ditutupi tikar berjejer rapi sajadah. Begitu pula di atas dipan. Sajadah dan sajadah. Sejenak mereka saling pandang. Tapi kemarahan sudah memuncak, mereka menjambak sajadah-sajadah itu dan melemparnya keluar pondok. Pondok itu pun diobrak-abrik lantas dibakar. Api dengan cepat menelan bagian-bagian pondok yang terbuat dari kayu dan bambu itu. Kini yang ada tinggal arang hitam dan abu, sisa-sisa yang terbakar.
               Mentari muncul mengganti gelap jadi terang. Waktu bergulir seperti biasa. Warga lelaki bersiap-siap menuju masjid untuk shalat Jum’at. Sebagian sudah tampak di masjid duduk bersila. Ada yang berdoa, wiridan, dan membaca Alquran. Adzan berkumandang. Beberapa saat kemudian khatib pun naik ke mimbar, Dan yang berdiri di mimbar adalah lelaki penyepi yang ganjil itu. ***   



Ari Hidayat kelahiran Tasikmalaya, 27 April 1969. Alumnus Kimia FPMIPA , UPI Bandung (1993) dan Program Pendidikan Wartawan Profesional, LP3Y, Yogya, (1994). Pernah bekerja sebagai wartawan di sejumlah media terbitan ibukota dan daerah. Kini sebagai penulis lepas dan menulis esai yang dipublikasikan di media seperti Republika, Pikiran Rakyat, Kabar Priangan, Radar Tasikmalaya, dan majalah DKI, Jakarta. Menulis juga sajak dan cerpen. Sajak-sajak dan cerpennya dipublikasikan media l seperti Kabar Priangan (Grup Pikiran Rakyat), Radar Tasikmalaya (Grup Jawa Pos) dan media online. Buku antologi puisinya yang telah terbit, “Rumah Bernomor Nol” (Hasfa Arias,  2011) dan kumpulan esaii  “Rampai Media Massa” (Hasfa Arias, 2011). Kini ,menetap di kota kelahirannya dan bergiat di Sanggar Sastra Tasik (SST).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar