Entri yang Diunggulkan

Di Sebuah Ranah

Saya menamainya   ranah   atau wilayah dalam arti seluas-luasnya di mana kebenaran dipersoalkan. Kebenaran dari yang mempersoalkan adalah k...

Rabu, 18 Juli 2012

Kedermawanan dalam Kemasan Freetainment

Sebuah tulisan esai lawas saya,



               Berawal dari istilah infotainment (informasi hiburan dalam kemasan televisi) berkembang jargon-jargon baru,  seperti edutainment (pendidikan yang dikemas secara hiburan), dakwahtainment, zikirtainment,  dan freetainment (acara-acara gratisan yang dikelola secara hiburan). Televisi-televisi (TV) swasta kita, menyajikan program freetainment yang sebetulnya menghibur pemirsa (meski ada fungsi edukatifnya). Katakanlah seperti “Bedah Rumah” dan program lainnya misalnya host yang memberikan sejumlah uang kepada masyarakat tertentu (miskin) dan dikemas dalam sebuah acara TV yang menarik.
               Memang sepertinya kelompok masyarakat kurang mampu (miskin), menjadi suatu komoditas yang menjanjikan bagi industri hiburan. Bahkan masyarakat miskin menjadi isu populis yang strategis diangkat dalam peristiwa-peristiwa politik seperti pemilihan umum pusat dan daerah. Menonton program seperti itu, pemirsa menjadi terhibur, ternyata di tengah situasi kini yang penuh politik, trik, agresivitas, ekonomis, kurang prorakyat miskin, bahkan kelicikan masih ada orang yang dermawan (membantu warga miskin). Meski itu sebuah tontonan, tapi program itu (bukan fiksi seperti film dan sinetron atau tak ada unsur rekayasa) sehingga diklasifikasikan atau dinamakan reality show.
              Freetainment tepatnya diistilahkan bagi media massa cetak yang mengolah informasi program gratisan  dalam kemasan yang menghibur. Sesungguhnya acara-acara –tainment (berasal dari kata entertainment yang bermakna hiburan) tidak hanya disajikan TV dan media elektronik lain, tapi juga cetak. Bukankah media cetak seperti koran, tabloid, dan majalah pun tidak sedikit yang menampilkan info seputar dunia hiburan baik yang menyangkut artis lengkap dengan topik-topik yang relevan dengan jagat itu. Hanya saja gebyar hiburan yang ditampilkan media cetak tidak se-wah tampilan layar kaca. Dan nuansa hiburan yang disajikan media cetak bila dicermati secara mendalam tak kalah menarik dengan tayangan TV. 
            Sejalan dengan edutainment, dakwahtainment, zikirtainment, maka freetainment pun dikemas sebagai program hiburan. Sebuah acara untuk menghibur sejenak- bagi warga miskin boleh jadi sangat bermakna- dari kesulitan hidup kelompok marjinal itu. Freetainment tidak hanya menjadi sasaran pengelola TV (swasta), tapi juga pejabat, pengusaha, orang-orang kaya, orang ternama, dan kandidat untuk jabatan politik tertentu. Seperti di kota kita ini, sejak tahun lalu diadakan program makan gratis (Radar Tasikmalaya, 19/10 tahun-tahun lalu) . Walaupun tidak secara eksplisit ditujukan buat masyarakat miskin, mana ada dari kalangan menengah dan atas mengikuti acara seperti itu. Maksudnya sampai rela berdesak-desakan, berebutan semangkuk dua mangkuk, sepiring dua piring atau sekotak makanan.
              Makan gratis atau apa pun namanya yang dilangsungkan untuk sebuah pesta maupun maksud lain dan diwarnai dengan acara-acara hiburan lainnya, sudah menjelma menjadi freetainment yang terlihat unsur hiburannya ketimbang lainnya. Suatu hiburan yang edukatif dan cukup bermakna (bagi masyarakat miskin). Ada kegembiraan ( kalau boleh dibilang kebahagiaan) bersama antara penyelenggara program dan masyarakat yang masih merindukan dan membutuhkan sesuatu yang gratis-gratisan itu. Sebuah program yang demi kepentingan edukasi sejatinya dilakukan temporer atau  tidak terus-menerus Selanjutnya, karena makan gratis seperti itu terjadi di daerah, tentu gaungnya sebagai freetainment pun berjangkauan lokal dan menjadi konsumsi media cetak dan elektronik lokal.
              Acara freetainment seperti itu, bila ditelisik lebih jauh ternyata membawa berkah tersendiri tidak hanya bagi yang menikmati aneka makanan gratis itu, tapi juga  pedagang atau wirausahawan yang dipesan untuk menyediakan makanan di acara itu (kabarnya penyelenggara memanfaatkan pedagang di sekitar Alun-alun Kota Tasikmalaya). Berkah pun tentu secara tidak langsung diharapkan melimpah  kepada “para dermawan” itu. Apalagi di saat para ekonom masih sibuk merumuskan perangkat  ekonomi Indonesia yang tepat untuk mengentaskan kemiskinan, para pengusaha yang abai terhadap kaum papa,  masih ada orang-orang yang “memandang hina” kemiskinan, pejabat yang tak hirau terhadap rakyat miskinnya, “kedermawan” seperti itu lumayan ampuh melupakan sejenak dari kesumpekan hidup kaum dhuafa.
                Banyak teori dikemukakan pakar untuk mengentaskan 31 juta rakyat Indonesia yang miskin, sistem ekonomi mutakhir kita yang dipertanyakan (diragukan), dan kepedulian sosial kita (personal maupun institusional) digugat, dan sekali lagi ternyata “sosialita” menjadi obat ampuh agar sedikit hak-hak kaum dhuafa itu terpenuhi. Sejarah telah mencatat, rasul setingkat Muhammad Saw sendiri terkenal sebagai insan paling mencintai orang miskin bahkan kepada peminta-minta (sehingga terkenal dengan sifat dermawannya). Sekadar contoh, dalam sebuah riwayat dikisahkan, saat Rasulullah Saw melihat Bilal ra menyimpan makanan, seketika beliau bersabda kepada Bilal, “Hai, Bilal, sedekahkanlah…jangan sekali-kali kamu takut bahwa Zat yang bersemayam di arsy akan melakukan pengurangan.” (HR. Thabrani). Lebih jauh Nabi Saw pun bersabda, “Harta tidak akan berkurang dengan disedekahkan.” (HR. Muslim). Allahu a’lam (Ari Hidayat)     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar