Berawal dari istilah
infotainment (informasi hiburan dalam kemasan televisi) berkembang
jargon-jargon baru, seperti edutainment
(pendidikan yang dikemas secara hiburan), dakwahtainment, zikirtainment, dan freetainment (acara-acara gratisan yang
dikelola secara hiburan). Televisi-televisi (TV) swasta kita, menyajikan
program freetainment yang sebetulnya menghibur pemirsa (meski ada fungsi
edukatifnya). Katakanlah seperti “Bedah Rumah” dan program lainnya misalnya host
yang memberikan sejumlah uang kepada masyarakat tertentu (miskin) dan dikemas
dalam sebuah acara TV yang menarik.
Memang sepertinya kelompok
masyarakat kurang mampu (miskin), menjadi suatu komoditas yang menjanjikan bagi
industri hiburan. Bahkan masyarakat miskin menjadi isu populis yang strategis
diangkat dalam peristiwa-peristiwa politik seperti pemilihan umum pusat dan
daerah. Menonton program seperti itu, pemirsa menjadi terhibur, ternyata di
tengah situasi kini yang penuh politik, trik, agresivitas, ekonomis, kurang
prorakyat miskin, bahkan kelicikan masih ada orang yang dermawan (membantu
warga miskin). Meski itu sebuah tontonan, tapi program itu (bukan fiksi seperti
film dan sinetron atau tak ada unsur rekayasa) sehingga diklasifikasikan atau
dinamakan reality show.
Freetainment tepatnya
diistilahkan bagi media massa cetak yang mengolah informasi program
gratisan dalam kemasan yang menghibur.
Sesungguhnya acara-acara –tainment (berasal dari kata entertainment yang
bermakna hiburan) tidak hanya disajikan TV dan media elektronik lain, tapi juga
cetak. Bukankah media cetak seperti koran, tabloid, dan majalah pun tidak
sedikit yang menampilkan info seputar dunia hiburan baik yang menyangkut artis
lengkap dengan topik-topik yang relevan dengan jagat itu. Hanya saja gebyar
hiburan yang ditampilkan media cetak tidak se-wah tampilan layar kaca.
Dan nuansa hiburan yang disajikan media cetak bila dicermati secara mendalam
tak kalah menarik dengan tayangan TV.
Sejalan dengan edutainment,
dakwahtainment, zikirtainment, maka freetainment pun dikemas sebagai
program hiburan. Sebuah acara untuk menghibur sejenak- bagi warga miskin boleh
jadi sangat bermakna- dari kesulitan hidup kelompok marjinal itu. Freetainment
tidak hanya menjadi sasaran pengelola TV (swasta), tapi juga pejabat,
pengusaha, orang-orang kaya, orang ternama, dan kandidat untuk jabatan politik
tertentu. Seperti di kota kita ini, sejak tahun lalu diadakan program makan
gratis (Radar Tasikmalaya, 19/10 tahun-tahun lalu) . Walaupun tidak secara
eksplisit ditujukan buat masyarakat miskin, mana ada dari kalangan menengah dan
atas mengikuti acara seperti itu. Maksudnya sampai rela berdesak-desakan,
berebutan semangkuk dua mangkuk, sepiring dua piring atau sekotak makanan.
Makan gratis atau apa pun namanya
yang dilangsungkan untuk sebuah pesta maupun maksud lain dan diwarnai dengan
acara-acara hiburan lainnya, sudah menjelma menjadi freetainment yang terlihat
unsur hiburannya ketimbang lainnya. Suatu hiburan yang edukatif dan cukup
bermakna (bagi masyarakat miskin). Ada kegembiraan ( kalau boleh dibilang
kebahagiaan) bersama antara penyelenggara program dan masyarakat yang masih
merindukan dan membutuhkan sesuatu yang gratis-gratisan itu. Sebuah program
yang demi kepentingan edukasi sejatinya dilakukan temporer atau tidak terus-menerus Selanjutnya, karena makan
gratis seperti itu terjadi di daerah, tentu gaungnya sebagai freetainment pun
berjangkauan lokal dan menjadi konsumsi media cetak dan elektronik lokal.
Acara freetainment seperti itu,
bila ditelisik lebih jauh ternyata membawa berkah tersendiri tidak hanya bagi
yang menikmati aneka makanan gratis itu, tapi juga pedagang atau wirausahawan yang dipesan untuk
menyediakan makanan di acara itu (kabarnya penyelenggara memanfaatkan pedagang
di sekitar Alun-alun Kota Tasikmalaya). Berkah pun tentu secara tidak langsung
diharapkan melimpah kepada “para
dermawan” itu. Apalagi di saat para ekonom masih sibuk merumuskan
perangkat ekonomi Indonesia yang tepat
untuk mengentaskan kemiskinan, para pengusaha yang abai terhadap kaum
papa, masih ada orang-orang yang
“memandang hina” kemiskinan, pejabat yang tak hirau terhadap rakyat miskinnya,
“kedermawan” seperti itu lumayan ampuh melupakan sejenak dari kesumpekan hidup
kaum dhuafa.
Banyak teori dikemukakan pakar
untuk mengentaskan 31 juta rakyat Indonesia yang miskin, sistem ekonomi
mutakhir kita yang dipertanyakan (diragukan), dan kepedulian sosial kita
(personal maupun institusional) digugat, dan sekali lagi ternyata “sosialita”
menjadi obat ampuh agar sedikit hak-hak kaum dhuafa itu terpenuhi. Sejarah
telah mencatat, rasul setingkat Muhammad Saw sendiri terkenal sebagai insan
paling mencintai orang miskin bahkan kepada peminta-minta (sehingga terkenal
dengan sifat dermawannya). Sekadar contoh, dalam sebuah riwayat dikisahkan, saat
Rasulullah Saw melihat Bilal ra menyimpan makanan, seketika beliau bersabda
kepada Bilal, “Hai, Bilal, sedekahkanlah…jangan sekali-kali kamu takut bahwa
Zat yang bersemayam di arsy akan melakukan pengurangan.” (HR. Thabrani). Lebih
jauh Nabi Saw pun bersabda, “Harta tidak akan berkurang dengan disedekahkan.”
(HR. Muslim). Allahu a’lam (Ari Hidayat)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar