Entri yang Diunggulkan

Di Sebuah Ranah

Saya menamainya   ranah   atau wilayah dalam arti seluas-luasnya di mana kebenaran dipersoalkan. Kebenaran dari yang mempersoalkan adalah k...

Jumat, 27 Juli 2012

Pemilu dalam Kemasan Media Massa


Oleh: Ari Hidayat
(Sebuah esai lama saya yg belum sempat dipublikasikan)

           Dinamika Pemilihan Umum (Pemilu) anggota DPR, DPD, dan DPRD 2009 mulai semarak. Di daerah-daerah termasuk di Kota dan Kabupaten Tasikmalaya, sejumlah figur menawarkan diri lewat media publik (media massa) lokal. Mereka tampil sebagai daftar calon sementara (DCS) anggota legislatif  kota atau kabupaten. Dalam konteks pemilu, politik di kita nampaknya masih menonjolkan citra, sedangkan kredibilitas, track record (pengalaman, jejak rekam), dan kemampuan menempati nomor urut berikutnya. Politik citra lebih dekat dengan popularitas figur. Untuk mewujudkan ini perlu iklan dalam media massa baik cetak maupun elektronik.
           Menurut praktisi media massa, Jacob Oetama (2005), media massa adalah organis, maka ia juga hidup, punya peranan, punya tujuan, memiliki pandangan hidup, sikap, dan orientasi nilai. Setiap peristiwa termasuk kejadian politik tak luput dari keterlibatan media massa yang juga kerap disebut pers itu. Media massa pun turut menaruh perhatian dan meliput peristiwa politik seperti pesta demokrasi (pemilu). Jadi, dalam pemilu pun media massa punya peran signifikan (berarti).
           Dalam kerjanya media massa bekerja berlandaskan peraturan perundangan tentang pers, kaidah jurnalisme, kode etik, dan kebijakan redaksi. Selain keempat elemen ini, Jacob Oetama menambahkan unsur lain yakni, kredibilitas (kepercayaan)  berita, dan media massa harus memenuhi unsur dapat dipercaya. Dapat dipercaya adalah syarat dan kondisi lain yang membuat media massa baik cetak (surat kabar, majalah, tabloid, dan buletin kantor berita) dan elektronik (televisi, radio, film) maupun media massa baru yakni cyber-journalism / jurnalisme internet) dapat dibaca dan dinikmati orang dan akhirnya berkembang.
            Dalam alam pascareformasi seperti sekarang media massa sudah mendapatkan kebebasan pers sebagai prasyarat utama untuk menjalankan tugas-tugas jurnalismenya. Kebebasan pers sangat diperlukan untuk mendukung kehidupan demokrasi kita. Satu dan  dua peristiwa sempat muncul untuk “menggoyang” kebebasan pers di kita. Pertengahan tahun lalu (Juli 2007) cukup ramai berita tentang bredel terhadap pers akan diberlakukan lagi. Namun, Menteri Komunikasi dan Informatika ketika itu, M Nuh segera membantahnya.                       
             Menurutnya, pemerintah tak berniat membredel pers. Namun, pers dalam mengemas informasi dan menyiarkannya kepada khalayak harus memenuhi 3 unsur. Ketiga unsur itu adalah informasi yang memiliki nilai edukasi (pendidikan), memberdayakan masyarakat, dan memiliki pesan moral dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
             Bredel terhadap pers sebenarnya bertentangan  dengan UU No. 40/1999 tentang Pers. Pasal 4 ayat (2) UU itu menyebutkan, “Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran.” Selain itu, pembredelan juga tidak sejalan dengan kebebasan pers (dalam UU tentang Pers disebut kemerdekaan pers) yang dijamin oleh UUD ’45 dan UU No. 40/1999. Berita terakhir yang muncul tentang adanya kesan mempersoalkan kebebasan pers di Indonesia adalah adanya sejumlah pasal dalam UU No. 10/2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, DPRD (PR, 22 September 2008, h. 27).
              Pasal 98 butir (1) UU itu menyebutkan, “Dewan Pers dan Komisi Penyiaran melakukan pengawasan atas pemberitaan dan iklan kampanye pemilu yang dilakukan oleh lembaga penyiaran atau oleh media massa cetak”. Begitu pula butir (2) UU itu menyebutkan, “Dalam hal terdapat bukti pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93, Pasal 94, Pasal 95 Komisi Penyiaran Indonesia atau Dewan Pers menjatuhkan sanksi sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
              Pasal ini bertentangan dengan UU tentang Pers. Menurut anggota Dewan Pers, Wikrama Iryans Abidin, tugas Dewan Pers adalah sebagai mediator antara pers dan pihak yang merasa dirugikan. Jadi, kata dibalas dengan kata (hak jawab), bukan dengan penjara. Sedangkan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) bertugas menilai tayangan-tayangan media elektronik. Apalagi, izin penerbitan sekarang sudah tidak berlaku lagi. Sehingga, pasal-pasal itu seyogianya direvisi dan seandainya belum sempat, ia tidak bisa diterapkan karena mengancam kebebasan pers yang dijamin UU No. 40/1999 tentang Pers. Selain UU tentang Pemilu itu, UU yang mengancam kebebasan pers adalah UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan UU No. 12/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
            Bagaimanapun kriminalisai terhadap pers tidak boleh terjadi. Meskipun, hasil uji materiil UU No 40/1999 ,  menyatakan keberadaan undang-undang tentang pers itu masih belum bisa dikatakan sebagai hukum khusus (lex specialis) dari hukum pidana di negara kita. Karena itu, jika menginginkan UU No. 40/1999 tentang Pers itu menjadi hukum khusus, beberapa ketentuan perdata dan pidana yang masih sumir (lemah) dalam UU Pers itu harus direvisi. Apalagi ada penjelasan yang menyatakan bahwa semua UU yang telah ada yang menyangkut pers masih tetap berlaku.
        Bagaimanapun media massa berperan penting dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Media massa berfungsi menyampaikan informasi, edukasi, hiburan, dan kontrol sosial. Fungsi yang terakhir ini (kontrol sosial) berbentuk kritik.  Di Indonesia, seyogianya disampaikan secara tepat dan benar (di jalur yang benar) serta menawarkan solusi. Akhirnya, kita pun tak perlu alergi dengan kebebasan pers karena ia lahir sesuai fitrah media massa dan sejalan dengan semangat demokrasi serta dijamin perundang-undangan yang berlaku.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar