Oleh: Ari Hidayat
(Sebuah esai lama saya yg belum sempat dipublikasikan)
Dinamika Pemilihan Umum (Pemilu)
anggota DPR, DPD, dan DPRD 2009 mulai semarak. Di daerah-daerah termasuk di Kota dan Kabupaten Tasikmalaya, sejumlah figur menawarkan
diri lewat media publik (media massa )
lokal. Mereka tampil sebagai daftar calon sementara (DCS) anggota legislatif kota
atau kabupaten. Dalam konteks pemilu, politik di kita nampaknya masih
menonjolkan citra, sedangkan kredibilitas, track
record (pengalaman, jejak rekam), dan kemampuan menempati nomor urut
berikutnya. Politik citra lebih dekat dengan popularitas figur. Untuk
mewujudkan ini perlu iklan dalam media massa
baik cetak maupun elektronik.
Menurut praktisi media massa, Jacob
Oetama (2005), media massa adalah organis, maka ia juga hidup, punya peranan,
punya tujuan, memiliki pandangan hidup, sikap, dan orientasi nilai. Setiap
peristiwa termasuk kejadian politik tak luput dari keterlibatan media massa yang juga kerap
disebut pers itu. Media massa
pun turut menaruh perhatian dan meliput peristiwa politik seperti pesta
demokrasi (pemilu). Jadi, dalam pemilu pun media massa punya peran signifikan (berarti).
Dalam kerjanya media massa bekerja
berlandaskan peraturan perundangan tentang pers, kaidah jurnalisme, kode etik,
dan kebijakan redaksi. Selain keempat elemen ini, Jacob Oetama menambahkan
unsur lain yakni, kredibilitas (kepercayaan) berita, dan media massa harus memenuhi unsur dapat dipercaya.
Dapat dipercaya adalah syarat dan kondisi lain yang membuat media massa baik
cetak (surat kabar, majalah, tabloid, dan buletin kantor berita) dan elektronik
(televisi, radio, film) maupun media massa baru yakni cyber-journalism / jurnalisme internet) dapat dibaca dan dinikmati
orang dan akhirnya berkembang.
Dalam alam pascareformasi
seperti sekarang media massa sudah mendapatkan kebebasan pers sebagai prasyarat
utama untuk menjalankan tugas-tugas jurnalismenya. Kebebasan pers sangat
diperlukan untuk mendukung kehidupan demokrasi kita. Satu dan dua peristiwa sempat muncul untuk “menggoyang”
kebebasan pers di kita. Pertengahan tahun lalu (Juli 2007) cukup ramai berita
tentang bredel terhadap pers akan diberlakukan lagi. Namun, Menteri Komunikasi
dan Informatika ketika itu, M Nuh segera membantahnya.
Menurutnya, pemerintah tak berniat
membredel pers. Namun, pers dalam mengemas informasi dan menyiarkannya kepada
khalayak harus memenuhi 3 unsur. Ketiga unsur itu adalah informasi yang
memiliki nilai edukasi (pendidikan), memberdayakan masyarakat, dan memiliki
pesan moral dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Bredel terhadap pers sebenarnya
bertentangan dengan UU No. 40/1999
tentang Pers. Pasal 4 ayat (2) UU itu menyebutkan, “Terhadap pers nasional
tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran.” Selain
itu, pembredelan juga tidak sejalan dengan kebebasan pers (dalam UU tentang
Pers disebut kemerdekaan pers) yang dijamin oleh UUD ’45 dan UU No. 40/1999.
Berita terakhir yang muncul tentang adanya kesan mempersoalkan kebebasan pers
di Indonesia
adalah adanya sejumlah pasal dalam UU No. 10/2008 tentang Pemilihan Umum
Anggota DPR, DPD, DPRD (PR, 22
September 2008, h. 27).
Pasal 98 butir (1) UU itu menyebutkan, “Dewan Pers dan Komisi Penyiaran
melakukan pengawasan atas pemberitaan dan iklan kampanye pemilu yang dilakukan
oleh lembaga penyiaran atau oleh media massa
cetak”. Begitu pula butir (2) UU itu menyebutkan, “Dalam hal terdapat bukti
pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93, Pasal 94, Pasal
95 Komisi Penyiaran Indonesia atau Dewan Pers menjatuhkan sanksi sebagaimana
diatur dalam undang-undang ini.
Pasal ini bertentangan dengan UU
tentang Pers. Menurut anggota Dewan Pers, Wikrama Iryans Abidin, tugas Dewan
Pers adalah sebagai mediator antara pers dan pihak yang merasa dirugikan. Jadi,
kata dibalas dengan kata (hak jawab), bukan dengan penjara. Sedangkan Komisi
Penyiaran Indonesia (KPI) bertugas menilai tayangan-tayangan media elektronik.
Apalagi, izin penerbitan sekarang sudah tidak berlaku lagi. Sehingga,
pasal-pasal itu seyogianya direvisi dan seandainya belum sempat, ia tidak bisa
diterapkan karena mengancam kebebasan pers yang dijamin UU No. 40/1999 tentang
Pers. Selain UU tentang Pemilu itu, UU yang mengancam kebebasan pers adalah UU
No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan UU No. 12/2008
tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Bagaimanapun kriminalisai terhadap
pers tidak boleh terjadi. Meskipun, hasil uji materiil UU No 40/1999 , menyatakan keberadaan undang-undang tentang
pers itu masih belum bisa dikatakan sebagai hukum khusus (lex specialis) dari hukum pidana di negara kita. Karena itu, jika
menginginkan UU No. 40/1999 tentang Pers itu menjadi hukum khusus, beberapa
ketentuan perdata dan pidana yang masih sumir (lemah) dalam UU Pers itu harus
direvisi. Apalagi ada penjelasan yang menyatakan bahwa semua UU yang telah ada
yang menyangkut pers masih tetap berlaku.
Bagaimanapun media massa berperan penting dalam kehidupan
berbangsa dan bermasyarakat. Media massa
berfungsi menyampaikan informasi, edukasi, hiburan, dan kontrol sosial. Fungsi
yang terakhir ini (kontrol sosial) berbentuk kritik. Di Indonesia, seyogianya disampaikan secara
tepat dan benar (di jalur yang benar) serta menawarkan solusi. Akhirnya, kita
pun tak perlu alergi dengan kebebasan pers karena ia lahir sesuai fitrah media
massa dan sejalan dengan semangat demokrasi serta dijamin perundang-undangan
yang berlaku.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar