Entri yang Diunggulkan

Di Sebuah Ranah

Saya menamainya   ranah   atau wilayah dalam arti seluas-luasnya di mana kebenaran dipersoalkan. Kebenaran dari yang mempersoalkan adalah k...

Selasa, 31 Januari 2012

Memaknai Pluralitas Bahasa Media


   Memaknai Pluralitas 
   Bahasa Media


            Terlepas dari  tudingan sebagian masyarakat yang menganggap media massa cetak terutama koran (surat kabar) merusak bahasa, bagaimanapun surat kabar, tabloid, dan majalah menunjukkan peran signifikan dalam pengembangan bahasa. Bahkan bila dibandingkan dengan peran linguis, jasa media massa cetak itu lebih dominan. Sehingga, tak jarang  kata-kata baru yang disosialisasikan khususnya oleh surat kabar banyak ditemukan dalam kehidupan kita sehari-hari. Artinya, kata-kata itu dengan cepat sudah menjadi milik publik dan hidup serta dipakai terus-menerus. Misalnya, kata santai sebagai pemadan kata relax (bahasa Inggris), mantan (bekas), canggih, ekspektasi (harapan), Alih-alih (bukannya), sejatinya (seharusnya), tengarai (sinyalemen, pertanda, firasat) dll. Begitu pula dengan akronim untuk eufemisme, contohnya pekerja seks komersial (PSK) menggantikan singkatan WTS (wanita tuna susila).
             Pada tiap  Oktober kita biasa memeringati sebagai bulan bahasa. Kegiatan kemasyarakatan menyangkut kebahasaan itu, biasa dilakukan sejumlah kalangan dan institusi. Seperti tahun ini yang dilakukan Fakultas Sastra Unpad, Bandung dengan mengadakan acara-acara termasuk Lomba Monolog dan “Gebyar Bulan Bahasa 2010” oleh Himpunan Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Unsil, Tasik . Dalam konteks ini bahasa berusaha didekatkan dengan pemakainya.   Berbahasa merupakan aktivitas sosial. Sama dengan kegiatan-kegiatan sosial yang lain, berbahasa menuntut peran serta aktif para pelibat bahasanya. Jadi, berbahasa tidak hanya bertujuan personal tapi juga menyangkut hubungan sosial (dengan pebahasa lainnya). Dalam kebutuhan dan kondisi tertentu pebahasa terkadang memerlukan media untuk aktivitas berbahasa (lisan dan tulisan). Surat kabar sebagai salah satu saluran komunikasi berperan penting bagi tumbuh kembangnya bahasa. Dalam interaksi berbahasa itu  baik lisan maupun tulisan,  antarpelibat bahasanya sama-sama menyadari hadirnya kaidah kebahasaan yang mengatur. Aturan ini bisa menyangkut ejaan, sintaksis, morfologis, fonetik,  semantik dsb.
            Meskipun bahasa media massa (pers) memiliki ragam tersendiri yakni laras jurnalistik, pada prinsipnya sama dengan bahasa lainnya. Menurut JS Badudu (1988) bahasa pers adalah suatu ragam bahasa yang bersifat khas, yakni singkat, padat, sederhana, lancar, jelas, dan menarik. Bahasa yang lancar akan membuat tulisan menarik. Kejelasan tulisan haruslah menjadi syarat utama agar pembaca tak perlu mengulang-ulang apa yang dibacanya karena ketidakjelasan tulisan itu. Bahasa pers juga berperan dalam pembinaan bahasa Indonesia. Apalagi dalam bahasa yang masih tumbuh dan berkembang seperti bahasa Indonesia. Peranan pers bisa positif jika bahasa yang digunakan media adalah bahasa yang baik dan terpelihara, tentunya pengaruh terhadap pembacanya pun baik. Sebaliknya bila bahasa yang dipakai pers adalah bahasa yang tak terpelihara, kacau, baik struktur kata dan kalimatnya maupun pemakaian kata-katanya tentunya berpengaruh negatif (merugikan) khalayak pembacanya.
               Pada era multimedia kini, peran media massa cetak dalam tumbuh kembangnya bahasa Indonesia sangat signifikan. Kita bisa melihat istilah baru baik yang menyangkut jargon yang belum memasyarakat (istilah-istilah dalam suatu ilmu) maupun yang sudah sering digunakan muncul di media cetak. Kata account untuk makna rekening bank menurut Rohman Budianto (2010) diterjemahkan bercabang dalam dunia maya menjadi akun. Orang tak akan menyebut ”membuka akun di bank”, tapi “membuka rekening di bank”. Begitu pula orang tak akan mengatakan “membuka rekening di internet”, melainkan “membuka akun di internet”.
               Selain itu, dari kata berita khas (feature) diserap atau diterjemahkan secara cerdik menjadi fitur dalam istilah benda elektronik seperti telepon selular yang berarti fasilitas yang tersedia. Orang tak bisa menerjemakah berita khas dalam istilah jurnalistik menjadi fitur. Istilah-istilah yang belum umum, misalnya kata mangkrak yang bermakna molor atau terlambat waktu pengerjaannya dan moncer (lagi tren). Contoh dalam kalimat “Proyek itu mangkrak lebih dari tiga tahun”. Juga, orang sudah terbiasa dengan istilah-istilah konfirmasi (mencek suatu persoalan), klarifikasi (meluruskan informasi), klenik (rahasia), gendam (hipnotis).
             Begitu pula istilah-istilah lain yang diserap dari bahasa asing dan sering muncul,  seperti signifikan (berarti), justifikasi (pembenaran), ekspektasi (harapan), an-sich (semata-mata), dan quo vadis (mau dibawa ke mana), entitas (kesatuan) dsb. Media massa tertentu pun tidak jarang memunculkan istilah yang merupakan jargon-jargon dalam ilmu pengetahuan tertentu, seperti apologi,  bahasa esoteris, eskapisme, dsb.        
              Bahasa pers  sejatinya didasarkan pada bahasa baku (dapat dipakai oleh seluruh khalayak pembaca Indonesia). Bahasa baku seyogianya bersifat kemantapan yang dinamis berupa kaidah dan aturan yang tetap. Meski begitu,  kemantapan itu haruslah cukup terbuka untuk perubahan yang bersistem di bidang kosakata, peristilahan, dan perkembangan beragam gaya di bidang kalimat dan makna.
             Dalam konteks pembakuan, amatan terhadap sejumlah media cetak lokal, daerah, dan nasional menunjukkan fenomena menarik, yaitu dalam pemakaian kata-kata baku yang berasal dari bahasa Arab. Berbeda dengan pedoman penyerapan unsur-unsur bahasa asing untuk bahasa Arab yang selama ini dipatuhi, yakni sesuai dengan aslinya yang dilatinkan. Contohnya, shalat, ramadhan, fardhu, mushala, ustadz, jamaah, dll,  dulu termasuk kata-kata baku. Namun, kini kata-kata itu menjadi tidak baku- bagi media yang memakai pedoman lain- dan bentuk bakunya adalah salat, ramadan, fardu, musala, ustaz, dan jemaah (seperti yang bisa dilihat dalam buku Dargo Sabariyanto, Mengapa Disebut Bentuk Baku dan Tidak Baku, 2000). Meski begitu kita bisa melihat koran nasional seperti Kompas dan Republika masih memakai pedoman yang lama dalam penyerapan kata-kata dari bahasa Arab itu.
                Kata-kata atau gabungan kata lain yang kini kadaluarsa (tidak baku lagi) seperti mataair (dulu mata air), airmata (dulu air mata), matahati ( dulu mata hati), orangtua (dulu orang tua). Lebih menarik lagi sejumlah media cetak lokal dan daerah (di Jawa Barat) justru menuliskan istilah-istilah baru,  ambil contoh wali kota (dulunya menuliskan walikota), ibukota sekarang ditulis menjadi ibu kota.
                Bagaimana kita (khalayak pembaca) bersikap terhadap fenomena keberagaman bahasa media massa cetak seperti itu? Apakah justru membingungkan pembaca? Kenapa tidak berpegang pada satu pedoman? Sebenarnya tidak ada yang salah dari media-media seperti itu, sebab masing-masing mempunyai model pendekatan dan teori  tersendiri yang akuntabel. Memang lebih baik jika media memiliki semacam “buku” pedoman bahasa sebagai pedoman yang digunakan media itu secara konsisten dalam setiap penerbitannya.
              Lebih jauh media pun berperan dalam mengoreksi kekeliruan dalam penyerapan kata asing itu yang telanjur sering digunakan pebahasa. Misalnya, tentang selebritis seharusnya selebritas. Menurut pedoman penulisan unsur serapan, akhiran –ty (Inggris) atau –teit (Belanda) berubah menjadi –tas dalam bahasa Indonesia. Contohnya, university atau universiteit menjadi universitas, quality atau qualiteit menjadi kualitas (PR, 3 Mei 2008, h. 31). Kita bisa menambahkan kata-kata lain seperti activity, solidarity, actuality, validity, dan morality, yang berubah menjadi aktivitas, solidaritas, aktualitas, validitas, dan moralitas. Dalam bahasa Inggris, kata celebrity berarti seorang yang terkenal (masyhur). Bentuk jamaknya adalah celebrities. Bentuk jamak inilah yang kerap kita temukan dipakai pengguna bahasa (pebahasa) Indonesia menjadi selebritis. Tentu saja ini bentuk yang keliru, sama kelirunya ketika kita menulis tips atau fans dalam
bahasa Indonesia. Dengan pedoman seperti di atas, kata celebrity harus berubah menjdi selebritas, bukan selebriti atau (apalagi) selebritis.
                  Nampaknya bahasa media massa kita kini semakin pluralis. Keberagaman ini patut diapresiasi  untuk memperkaya bahasa Indonesia yang diharapkan bermuara pada pengayaan kebudayaan kita. Pasalnya ada keterkaitan yang erat antara media, bahasa, dan kebudayaan.
                 Lalu, bagaimanakah hubungan yang terjadi antara media, bahasa, dan kebudayaan itu? Di atas sudah diuraikan keterkaitan media dan bahasa (pebahasa memerlukan media untuk berbahasa). Perlu dicatat dulu,  bahwa kebudayaan merupakan indikasi dan dediksi yang secara turun–temurun diwariskan (Harry Fauzy, 2008). Dapat pula bermakna hasil kreativitas atau buah akal budi (pemikiran) yang sudah menjadi kebiasaan dan diwariskan. Karena kebudayaan menyangkut manusia, maka berbahasa juga saling berkelindan dengan budaya. Menurut teori relativitas linguistik Edward Sapir dan dilanjutkan Benjamin Lee Woorf dalam Kunjana Rahardi (2001:162) menjelaskan, bahwa bahasa membentuk pikiran seseorang. Setelah pikiran orang itu terbentuk dan tertata dengan baik selanjutnya ia akan mampu berkreasi, mencipta, dan berinovasi membentuk bangunan kebudayaan.
             Kebudayaan akan dapat maju dan berkembang dengan baik dan optimal manakala jaringan pemikiran warga masyarakat tertata secara baik. Jaringan pemikiran mereka akan dapat tertata dengan baik hanya apabila penguasaan bahasa masyarakat juga berkualifikasi baik. Begitulah realita hubungan antara media, bahasa, dan kebudayaan dan gambaran bagaimana ketiganya dapat saling berpengaruh. Akhirnya,  saya ingin mengatakan bahwa pergulatan dengan bahasa Indonesia termasuk bahasa laras jurnalistik sepertinya mudah untuk digunakan, namun dalam praktiknya jagat bahasa seperti benua yang akrab kita kenal, tapi banyak ranah-ranah yang masih perlu dijelajahi. Dan sepertinya penjelajahan ini tak berujung berkesudahan (Ari Hidayat)         
(Dimuat di Harian Radar Tasikmalaya, 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar