Entri yang Diunggulkan

Di Sebuah Ranah

Saya menamainya   ranah   atau wilayah dalam arti seluas-luasnya di mana kebenaran dipersoalkan. Kebenaran dari yang mempersoalkan adalah k...

Minggu, 29 Januari 2012

Mengerling Kenangan

Cerpen



Mengerling Kenangan

Oleh: Ari Hidayat

             Waktu seperti ini adalah saat paling menyiksa bagiku. Ketika mengisi formulir pendaftaran, aku kebingungan mengisi identitas orang yang lekat dengan diriku. Nama seseorang yang telah aku kubur bersama bangkai kenangan selama lebih dari sepuluhan tahun. Dialah ayahku yang telah kabur setelah ibuku menggugat cerai dia, ketika aku masih kecil.  Kini aku pun seperti biasanya menuliskan status pekerjaan ayahku dengan profesi wirausaha. Sebuah pekerjaan yang sepertinya itulah yang dengan terpaksa aku tuliskan, sebab aku tak tahu  apa profesi ayahku sekarang.
              Ya, kini aku diterima di sebuah perguruan tinggi negeri di kotaku. Saat-saat seperti itulah, seperti mengisi formulir pendaftaran ini,  yang sering mengingatkanku terhadap sosok ayahku. Dalam ingatanku, hanya muncul sepotong-sepotong gambar tentang lelaki itu. Meski begitu, sesungguhnya aku merindukannya. Tapi, setiap mengeja kenangan tentangnya segera muncul perih dalam hatiku. Sehingga, bertahun-tahun aku dilanda kebencian terhadap sosok ayahku. Begitulah berulang. Dan aku pun berusaha untuk melupakannya. Bukankah dia juga sudah melupakanku?
               Hari ini di kampusku hanya mengadakan pendaftaran ulang. Begitu selesai urusan administratif itu, aku pulang ke rumah menumpang angkot. Pukul 10-an begini rumah masih sepi, hanya Ijah pembantu kami yang ada, sedangkan ibuku tentunya masih bekerja di kantornya dan biasanya baru pulang sore. Dalam angkot di hadapanku duduk seorang bapak dan entah kenapa aku pun seketika teringat akan ayahku. Ayah yang telah menguap bersama angin dan tidak kuketahui lagi keberadaannya. Dulu ketika di SMP sempat aku berpikir, kalau perpisahan dengannya disebabkan oleh maut tentu rasa kehilangan itu tak terlalu pahit seperti ini. Hingga kini aku pun tak tahu apakah dia masih hidup atau telah tiada. Semuanya gelap.
                  Menuju rumahku, dari luar terlihat mobil ibu terparkir di garasi yang pintunya terbuka. Ternyata dugaanku meleset, ibu sudah pulang. Ataukah beliau cuma mampir ke rumah karena ada suatu keperluan? Aku tak tahu pasti. Di depan pintu kuucapkan salam seraya langsung membuka pintu. Dari dalam kamarnya, kudengar suara ibu memanggilku. Aku pun melangkah ke kamarnya. Kulihat ibu sedang berbaring di tempat tidur.
                   “Ibu agak kurang enak badan, karena itu pulang lebih cepat,” ucapnya seraya menggeser posisi tubuhnya ke tengah ranjang. Aku pun duduk di tepi tempat tidur.
                    “Kalau ibu sakit, Santi antar ke dokter,” pintaku. Ibu menggelengkan kepala.
                    “Tidak perlu, ibu sudah minum obat dari warung, dibelikan Ijah. Mungkin hanya flu,” kata ibu.
                      “Bagaimana daftar ulangnya sudah beres?” tanyanya.
                       Aku menjawab dengan anggukan kepala. Sepertinya ibu mengetahui pasti aku kurang nyaman hati kalau membicarakan urusan-urusan admistratif seperti di kampusku tadi. Betapa tidak,  kami sepertinya menyimpan luka yang sama dan akan  tergores lagi setiap membuka percakapan tentang status keluarga, yang memang meskipun sudah lenyap nama ayahku terbawa terus.
                  “Sudahlah San, lupakan saja  lelaki itu. Dia tak pantas menjadi ayahmu. Anggap saja seperti mimpi buruk yang tak perlu kita ingat-ingat lagi,” katanya.      
                    “Iya, Bu,” jawabku pelan. Hatiku berkelahi antara benci dan rindu, antara membenamkan kenyataan atau menggalinya. Sesungguhnya, aku sudah lama memaafkan ayahku. Bagaimanapun dia tetap ayah biologisku. Apalagi kalau berpikir jauh, suatu saat nanti jika aku menikah tentu aku memerlukan dia sebagai wali karena aku wanita. Meski dalam keadaan seperti itu, ibu suka menghiburku dengan alasan bisa saja wali nikahku dikuasakan kepada wali hakim. Hingga kini, aku pun tidak paham kenapa ibu demikian membenci ayahku. Waktu itu, saat ayah masih bersama kami, aku belum mampu menggambar dalam ingatanku tentang makna cinta dan kebencian pun tentang pertemuan dan perpisahan.
                   Berkali-kali pembicaraan seperti itu membuat suasana hatiku tak nyaman. Aku lebih banyak diam dan menggores-goreskan pensil khayalan dalam benakku untuk menerka-nerka apa yang sesungguhnya terjadi. Dari mulut ibu pun tak banyak yang kuketahui soal itu. Yang jelas, intinya bahwa ayah  sudah tidak layak lagi sebagai kepala keluarga, sehingga ibu pun menggugat cerai dia. Kata ibu setelah bercerai dengannya, ayah pindah ke pulau lain. Mengingat sosok ayah, seperti mengeja mimpi samar. Dalam kenyataan hidupku kerap menjelma sejuta heran. Pertanyaan yang terus memburu jawaban tentang seseorang yang tega melupakan dan meninggalkan orang-orang yang pernah dicintainya.
                 Cinta pun ternyata bisa kandas dan berujung perselisihan. Itulah mungkin dunia, tidak ada yang langgeng di dalamnya. Akhirnya, aku dan ibuku hidup tanpa kehadiran seorang ayah. Sempat aku tak merelakan ibu mencari sosok penggantinya, meskipun aku kasihan juga melihat ibu tanpa pendamping. Lambat laun aku pun merelakan ibu jika menikah lagi. Namun, kenyataannya ibu masih sendiri. Bukannya tak ada lelaki yang berusaha mendekati ibu, tapi ibu tak menanggapinya. Sempat kutanyakan mengenai itu, ibu hanya menjawab singkat tak akan menikah lagi, karena kasihan kepadaku.
               Meskipun kami hanya berdua di kamar ibu, kalau menyinggung kenangan tentang ayah, aku merasakan sosok lelaki itu seperti hadir di hadapanku. Membicarakannya sepetirnya menjadi perbuatan sia-sia dan tidak bijak sehingga harus lekas-lekas diakhiri saja. Aku pun pamit pada Ibu yang sedang sakit dan meninggalkanya sendirian.
                Keesokan harinya, selepas tidur aku menuju kamar ibu dan kulihat dia sedang duduk di atas sajadah dengan kedua tangannya menengadah doa. Aku bersyukur ibu sudah sembuh, selanjutnya melangkahkan kaki ke kamar mandi untuk berwudu. Kaki-kaki hari terus merangkak, jam dinding di kamarku menunjukkan angka delapan . Ibu sudah berangkat kerja, sedangkan aku bersiap-siap untuk pergi ke kampus. Ini hari pertama aku kuliah. Agak canggung juga sebab sebelumnya pergi belajar memakai seragam kini berpakaian bebas. Saat  berkemas-kemas itu, dari luar mendadak terdengar suara petikan dawai gitar dilajutkan dengan seorang lelaki yang bernyanyi. Ah, pengamen, sepagi ini. Aku pun memanggil Ijah untuk memberi pengamen itu uang recehan.
                    Ijah mengambil uang receh itu dan melangkah ke teras depan dan aku tergesa-gesa segera berangkat ke kampus. Tapi, di pintu kamar aku nyaris bertubrukan dengan Ijah yang berlari tergopoh-gopoh menghampiriku.
                     “Aduh,  Ijah ini bagaimana ,” kataku kaget.
                      “Anu, Neng Santi,  pengamen itu aneh, tidak mau bibi kasih uang, malah dia menitipkan ini buat Neng,”  tutur Ijah sambil menyerahkan sebuah amplop plastik ukuran folio.
                    Aku pun heran ada juga orang iseng sekarang ini. Buat apa pengamen sampai nitip amplop segala. Tadinya, aku mau menyuruh Ijah agar amplop itu dibuang ke tempat sampah saja, tapi tak jadi. Aku hanya penasaran ingin mengetahui isi amplop itu. Ternyata isinya sepucuk surat, selembar foto ukuran kartu pos bergambar seorang perempuan muda menggendong bayi didampingi seorang lelaki. Kutatap sejenak foto itu, entah kenapa mataku cepat beranjak melihat dua lembar dokumen. Lembar yang satu kubaca, sebuah surat wasiat di dalamnya tertulis nama-nama yang mirip dengan nama seorang lelaki yang biasa kutuliskan sebagai ayah kandungku dalam formulir atau daftar isian lainnya dan nama yang mirip dengan namaku. Selembar kertas berikutnya adalah sertifikat hak milik rumah. Sejenak aku tertegun dan kaget. Kejadian itu, nama lelaki yang tercantum dalam kedua dokumen itu,  hanyalah kukenal lewat ingatan redup  dan kini muncul kembali mengerling kebisuan kenangan,  mengetuk pintu kenyataan. ***

(Dimuat di Radar Tasikmalaya, Minggu, 20 Maret 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar