Mengerling Kenangan
Oleh: Ari Hidayat
Waktu seperti ini adalah saat paling
menyiksa bagiku. Ketika mengisi formulir pendaftaran, aku kebingungan mengisi
identitas orang yang lekat dengan diriku. Nama seseorang yang telah aku kubur
bersama bangkai kenangan selama lebih dari sepuluhan tahun. Dialah ayahku yang
telah kabur setelah ibuku menggugat cerai dia, ketika aku masih kecil. Kini aku pun seperti biasanya menuliskan
status pekerjaan ayahku dengan profesi wirausaha. Sebuah pekerjaan yang
sepertinya itulah yang dengan terpaksa aku tuliskan, sebab aku tak tahu apa profesi ayahku sekarang.
Ya, kini aku diterima di sebuah
perguruan tinggi negeri di kotaku. Saat-saat seperti itulah, seperti mengisi
formulir pendaftaran ini, yang sering
mengingatkanku terhadap sosok ayahku. Dalam ingatanku, hanya muncul
sepotong-sepotong gambar tentang lelaki itu. Meski begitu, sesungguhnya aku
merindukannya. Tapi, setiap mengeja kenangan tentangnya segera muncul perih
dalam hatiku. Sehingga, bertahun-tahun aku dilanda kebencian terhadap sosok ayahku.
Begitulah berulang. Dan aku pun berusaha untuk melupakannya. Bukankah dia juga
sudah melupakanku?
Hari ini di kampusku hanya
mengadakan pendaftaran ulang. Begitu selesai urusan administratif itu, aku
pulang ke rumah menumpang angkot. Pukul 10-an begini rumah masih sepi, hanya
Ijah pembantu kami yang ada, sedangkan ibuku tentunya masih bekerja di
kantornya dan biasanya baru pulang sore. Dalam angkot di hadapanku duduk
seorang bapak dan entah kenapa aku pun seketika teringat akan ayahku. Ayah yang
telah menguap bersama angin dan tidak kuketahui lagi keberadaannya. Dulu ketika
di SMP sempat aku berpikir, kalau perpisahan dengannya disebabkan oleh maut
tentu rasa kehilangan itu tak terlalu pahit seperti ini. Hingga kini aku pun
tak tahu apakah dia masih hidup atau telah tiada. Semuanya gelap.
Menuju rumahku, dari luar
terlihat mobil ibu terparkir di garasi yang pintunya terbuka. Ternyata dugaanku
meleset, ibu sudah pulang. Ataukah beliau cuma mampir ke rumah karena ada suatu
keperluan? Aku tak tahu pasti. Di depan pintu kuucapkan salam seraya langsung
membuka pintu. Dari dalam kamarnya, kudengar suara ibu memanggilku. Aku pun
melangkah ke kamarnya. Kulihat ibu sedang berbaring di tempat tidur.
“Ibu agak kurang enak badan,
karena itu pulang lebih cepat,” ucapnya seraya menggeser posisi tubuhnya ke
tengah ranjang. Aku pun duduk di tepi tempat tidur.
“Kalau ibu sakit, Santi
antar ke dokter,” pintaku. Ibu menggelengkan kepala.
“Tidak perlu, ibu sudah minum obat dari
warung, dibelikan Ijah. Mungkin hanya flu,” kata ibu.
“Bagaimana daftar
ulangnya sudah beres?” tanyanya.
Aku menjawab dengan
anggukan kepala. Sepertinya ibu mengetahui pasti aku kurang nyaman hati kalau
membicarakan urusan-urusan admistratif seperti di kampusku tadi. Betapa
tidak, kami sepertinya menyimpan luka
yang sama dan akan tergores lagi setiap
membuka percakapan tentang status keluarga, yang memang meskipun sudah lenyap
nama ayahku terbawa terus.
“Sudahlah San, lupakan
saja lelaki itu. Dia tak pantas menjadi
ayahmu. Anggap saja seperti mimpi buruk yang tak perlu kita ingat-ingat lagi,”
katanya.
“Iya, Bu,” jawabku pelan.
Hatiku berkelahi antara benci dan rindu, antara membenamkan kenyataan atau
menggalinya. Sesungguhnya, aku sudah lama memaafkan ayahku. Bagaimanapun dia
tetap ayah biologisku. Apalagi kalau berpikir jauh, suatu saat nanti jika aku
menikah tentu aku memerlukan dia sebagai wali karena aku wanita. Meski dalam
keadaan seperti itu, ibu suka menghiburku dengan alasan bisa saja wali nikahku
dikuasakan kepada wali hakim. Hingga kini, aku pun tidak paham kenapa ibu
demikian membenci ayahku. Waktu itu, saat ayah masih bersama kami, aku belum
mampu menggambar dalam ingatanku tentang makna cinta dan kebencian pun tentang
pertemuan dan perpisahan.
Berkali-kali pembicaraan
seperti itu membuat suasana hatiku tak nyaman. Aku lebih banyak diam dan menggores-goreskan
pensil khayalan dalam benakku untuk menerka-nerka apa yang sesungguhnya
terjadi. Dari mulut ibu pun tak banyak yang kuketahui soal itu. Yang jelas,
intinya bahwa ayah sudah tidak layak
lagi sebagai kepala keluarga, sehingga ibu pun menggugat cerai dia. Kata ibu
setelah bercerai dengannya, ayah pindah ke pulau lain. Mengingat sosok ayah,
seperti mengeja mimpi samar. Dalam kenyataan hidupku kerap menjelma sejuta
heran. Pertanyaan yang terus memburu jawaban tentang seseorang yang tega melupakan
dan meninggalkan orang-orang yang pernah dicintainya.
Cinta pun ternyata bisa kandas
dan berujung perselisihan. Itulah mungkin dunia, tidak ada yang langgeng di
dalamnya. Akhirnya, aku dan ibuku hidup tanpa kehadiran seorang ayah. Sempat
aku tak merelakan ibu mencari sosok penggantinya, meskipun aku kasihan juga
melihat ibu tanpa pendamping. Lambat laun aku pun merelakan ibu jika menikah
lagi. Namun, kenyataannya ibu masih sendiri. Bukannya tak ada lelaki yang
berusaha mendekati ibu, tapi ibu tak menanggapinya. Sempat kutanyakan mengenai
itu, ibu hanya menjawab singkat tak akan menikah lagi, karena kasihan kepadaku.
Meskipun kami hanya berdua di
kamar ibu, kalau menyinggung kenangan tentang ayah, aku merasakan sosok lelaki
itu seperti hadir di hadapanku. Membicarakannya sepetirnya menjadi perbuatan
sia-sia dan tidak bijak sehingga harus lekas-lekas diakhiri saja. Aku pun pamit
pada Ibu yang sedang sakit dan meninggalkanya sendirian.
Keesokan harinya, selepas tidur
aku menuju kamar ibu dan kulihat dia sedang duduk di atas sajadah dengan kedua
tangannya menengadah doa. Aku bersyukur ibu sudah sembuh, selanjutnya
melangkahkan kaki ke kamar mandi untuk berwudu. Kaki-kaki hari terus merangkak,
jam dinding di kamarku menunjukkan angka delapan . Ibu sudah berangkat kerja,
sedangkan aku bersiap-siap untuk pergi ke kampus. Ini hari pertama aku kuliah.
Agak canggung juga sebab sebelumnya pergi belajar memakai seragam kini
berpakaian bebas. Saat berkemas-kemas
itu, dari luar mendadak terdengar suara petikan dawai gitar dilajutkan dengan
seorang lelaki yang bernyanyi. Ah, pengamen, sepagi ini. Aku pun memanggil Ijah
untuk memberi pengamen itu uang recehan.
Ijah mengambil uang receh
itu dan melangkah ke teras depan dan aku tergesa-gesa segera berangkat ke
kampus. Tapi, di pintu kamar aku nyaris bertubrukan dengan Ijah yang berlari
tergopoh-gopoh menghampiriku.
“Aduh, Ijah ini bagaimana ,” kataku kaget.
“Anu, Neng Santi, pengamen itu aneh, tidak mau bibi kasih uang, malah dia menitipkan ini
buat Neng,” tutur Ijah sambil
menyerahkan sebuah amplop plastik ukuran folio.
Aku pun heran ada juga
orang iseng sekarang ini. Buat apa pengamen sampai nitip amplop segala.
Tadinya, aku mau menyuruh Ijah agar amplop itu dibuang ke tempat sampah saja,
tapi tak jadi. Aku hanya penasaran ingin mengetahui isi amplop itu. Ternyata
isinya sepucuk surat ,
selembar foto ukuran kartu pos bergambar seorang perempuan muda menggendong
bayi didampingi seorang lelaki. Kutatap sejenak foto itu, entah kenapa mataku
cepat beranjak melihat dua lembar dokumen. Lembar yang satu kubaca, sebuah surat wasiat di dalamnya
tertulis nama-nama yang mirip dengan nama seorang lelaki yang biasa kutuliskan
sebagai ayah kandungku dalam formulir atau daftar isian lainnya dan nama yang
mirip dengan namaku. Selembar kertas berikutnya adalah sertifikat hak milik
rumah. Sejenak aku tertegun dan kaget. Kejadian itu, nama lelaki yang tercantum
dalam kedua dokumen itu, hanyalah
kukenal lewat ingatan redup dan kini
muncul kembali mengerling kebisuan kenangan,
mengetuk pintu kenyataan. ***
(Dimuat di Radar Tasikmalaya, Minggu, 20 Maret 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar