Valentine dan Budaya Permisif
Oleh:
Ari Hidayat
Setiap tanggal 14 Februari sebagian
warga dunia termasuk Indonesia
biasa merayakan hari kasih sayang, yang disebut Valentine Day. Khusus untuk di Indonesia , nampaknya ada gejala
kurang baik menyangkut perayaan itu. Ada
budaya impor (Barat) yang begitu saja
diadopsi (diambil) tanpa memperhatikan relevansinya. Boleh dibilang, ada
fenomena budaya permisif (serba boleh), latah (ikut-ikutan) dan salah kaprah
dalam masyarakat kita. Betapa tidak,
sebenarnya bila kita mengetahui sejarah perayaan valentine, sesungguhnya lebih dekat dengan budaya barat. Tapi,
kenapa banyak anak baru gede (ABG),
remaja dan bahkan orangtua kita yang ikut-ikutan merayakan hari kasih
sayang itu.
Perayaan valentine oleh masyarakat kita menunjukkan adanya paradoxial culture (budaya paradoksal
atau bertentangan). Menurut Patricia Abudience dan John Naisbitt (keduanya
futurolog Barat), budaya paradoksal tidak hanya melanda Indonesia tapi
sudah menjadi gejala umum. Tak jarang, masyarakat kita pun nampaknya mengalami
guncangan atau gegar budaya (culture
shock) di negerinya sendiri menghadapi gencaran budaya Barat yang cukup
pesat.
Terhadap fenomena perayaan valentine
oleh masyarakat kita , sempat menimbulkan kontra dari sejumlah kalangan.
Misalnya Minggu (10/2) kemarin, Hizbut Tahrir Kab. Sumedang menolak perayaan
valentine di daerahnya. Pasalnya, perayaan hari kasih sayang itu bukan
merupakan budaya kita bahkan suka menimbulkan ekses negatif, seperti perilaku free sex atau seks bebas di kalangan
generasi muda. Bahkan Hizbut Tahrir menuntut agar perayaan valentine ditiadakan
di bumi pertiwi ini (Pikiran Rakyat,
11/2).
Persoalannya apakah perayaan hari kasih sayang itu yang
di Tasik sendiri biasanya mulai ( oleh
sejumlah supermarket dan ) perlu dilestarikan sebagai budaya bangsa? Untuk
menjawabnya tentu diperlukan penelitian lebih jauh dan mendalam. Namun
demikian, di Bandung Lembaga Telaah Agama dan Masyarakat (eL-TAM) sempat
mengadakan jajak pendapat kepada siswa sebuah sekolah. Yang menarik, sebanyak
36, 2 persen responden menjawab valentine
perlu dilestarikan. Sisanya, sebanyak 63,8 persen menjawab tidak setuju
jika valentine dilestarikan sebagai
tradisi bangsa (Pikiran Rakyat, 2 Februari 2005).
Sejarah “valentine”
Menurut kaisar, bala tentaranya akan
makin besar dan kuat jika orang-orang tidak menikah. Dengan demikian, keluarlah
aturan bagi kaum lelaki yang menjadi tentara untuk tidak menikah dan tidak
tinggal bersama keluarga. Kedua Valentino itu,
melanggar aturan kaisar dengan menikahi perempuan pilihan mereka.
Sehingga, kaisar menghukum mati mereka pada 14 Februari tahun 270 M. Sehingga
sampai sekarang tanggal itulah yang diperingati sebagai hari kasih sayang.
Berdasarkan sejarahnya peristiwa itu
tidak dapat dipungkiri mengandung nilai-nilai kemanusiaan yang luhur. Namun,
sekali lagi itu lebih dekat dengan budaya Barat dan umat Kristen. Karena itu,
kenapa masyarakat kita mesti memperingatinya? Bahkan, sekarang ini, di Barat sendiri ada gejala yang
mengkhawatirkan menyangkut perayaan hari kasih sayang itu. Tak jarang kemurnian
perayaan dinodai oleh perbuatan-perbuatan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai
agama, misalnya sepasang kekasih merayakannya dengan saling berciuman, seks
bebas, dansa semalam suntuk pesta minuman keras dan narkotika dan obat-obat
terlarang (narkoba).
Bagaimana dengan di negara kita?
Saya belum punya data banyak, sehingga belum berani banyak untuk berkomentar.
Meski begitu, bagi yang merayakan valentine
di tanah air termasuk di Tasik, sudah sepatutnya kita belajar dari gejala
buruk di Barat seperti dituliskan di atas. Sebenarnya, kasih sayang itu
bersifat universal tidak hanya diidentikkan dengan kehidupan sepasang kekasih
saja. Bukankah ada kasih sayang kita kepada Tuhan, kepada orangtua, dan kepada
sesama.
Dengan demikian, bagi kita mengenai
hari kasih sayang itu cukup sebagai pengetahuan sejarah saja. Kita tak perlu
latah untuk ikut-ikutan merayakannya, apalagi jiga diwarnai dengan
perbuatan-perbuatan menyimpang tadi. Sehingga, sudah seharusnya kita terutama
para ABG dan remaja yang sedang dalam masa peralihan perlu sadar dan menanamkan
sikap kritis terhadap pengaruh budaya Barat itu. Selain itu, kita pun harus
memiliki sikap yang selektif (memilih) terhadap budaya di luar kebudayaan kita (ah)***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar