Entri yang Diunggulkan

Di Sebuah Ranah

Saya menamainya   ranah   atau wilayah dalam arti seluas-luasnya di mana kebenaran dipersoalkan. Kebenaran dari yang mempersoalkan adalah k...

Senin, 17 September 2012


Valentine dan Budaya Permisif


Oleh: Ari Hidayat


         Setiap tanggal 14 Februari sebagian warga dunia termasuk Indonesia biasa merayakan hari kasih sayang, yang disebut Valentine Day. Khusus untuk di Indonesia, nampaknya ada gejala kurang baik menyangkut perayaan itu. Ada budaya impor (Barat) yang begitu  saja diadopsi (diambil) tanpa memperhatikan relevansinya. Boleh dibilang, ada fenomena budaya permisif (serba boleh), latah (ikut-ikutan) dan salah kaprah dalam masyarakat kita.    Betapa tidak, sebenarnya bila kita mengetahui sejarah perayaan valentine, sesungguhnya lebih dekat dengan budaya barat. Tapi, kenapa banyak anak baru gede (ABG),  remaja dan bahkan orangtua kita yang ikut-ikutan merayakan hari kasih sayang itu.
        Perayaan valentine oleh masyarakat kita menunjukkan adanya paradoxial culture (budaya paradoksal atau bertentangan). Menurut Patricia Abudience dan John Naisbitt (keduanya futurolog Barat), budaya paradoksal tidak hanya melanda Indonesia tapi sudah menjadi gejala umum. Tak jarang, masyarakat kita pun nampaknya mengalami guncangan atau gegar budaya (culture shock) di negerinya sendiri menghadapi gencaran budaya Barat yang cukup pesat.
         Terhadap fenomena perayaan valentine oleh masyarakat kita , sempat menimbulkan kontra dari sejumlah kalangan. Misalnya Minggu (10/2) kemarin, Hizbut Tahrir Kab. Sumedang menolak perayaan valentine di daerahnya. Pasalnya, perayaan hari kasih sayang itu bukan merupakan budaya kita bahkan suka menimbulkan ekses negatif, seperti perilaku free sex atau seks bebas di kalangan generasi muda. Bahkan Hizbut Tahrir menuntut agar perayaan valentine ditiadakan di bumi pertiwi ini (Pikiran Rakyat, 11/2).
         Persoalannya   apakah perayaan hari kasih sayang itu yang di Tasik sendiri biasanya mulai  ( oleh sejumlah supermarket dan ) perlu dilestarikan sebagai budaya bangsa? Untuk menjawabnya tentu diperlukan penelitian lebih jauh dan mendalam. Namun demikian, di Bandung Lembaga Telaah Agama dan Masyarakat (eL-TAM) sempat mengadakan jajak pendapat kepada siswa sebuah sekolah. Yang menarik, sebanyak 36, 2 persen responden menjawab valentine perlu dilestarikan. Sisanya, sebanyak 63,8 persen menjawab tidak setuju jika valentine dilestarikan sebagai tradisi bangsa (Pikiran Rakyat,  2 Februari 2005).
 
 Sejarah “valentine”
         Ada cukup banyak referensi (media informasi) mengenai historis (sejarah) valentine. Sejumlah referensi  menunjukkan bahwa perayaan hari kasih sayang itu berasal dari suatu festival bangsa Roma (Italia) kuno. Kala itu disebut Lupercalis. Mulanya, perayaan ini, diadakan pada 15 Februari untuk memuja Dewa Lupercus (Dewa pelindung tanaman obat dan hasil bumi).    Setelah bangsa Roma menjadi Kristen, para rohaniawan menggeser satu hari ke belakang dan menggunakan tanggal 14 Februari sebagai hari kasih sayang. Mengapa digeser ke 14 Februari dan mengapa pula namanya diubah dari Lupercalis menjadi valentine? Perubahan ini, untuk memperingati matinya dua Santo (orang suci) yang namanya sama yakni,  Valentino. Kedua santo yang juga sebagai rohaniwan Kristen itu, melanggar aturan Kaisar Claudius II.
           Menurut kaisar, bala tentaranya akan makin besar dan kuat jika orang-orang tidak menikah. Dengan demikian, keluarlah aturan bagi kaum lelaki yang menjadi tentara untuk tidak menikah dan tidak tinggal bersama keluarga. Kedua Valentino itu,  melanggar aturan kaisar dengan menikahi perempuan pilihan mereka. Sehingga, kaisar menghukum mati mereka pada 14 Februari tahun 270 M. Sehingga sampai sekarang tanggal itulah yang diperingati sebagai hari kasih sayang.
          Berdasarkan sejarahnya peristiwa itu tidak dapat dipungkiri mengandung nilai-nilai kemanusiaan yang luhur. Namun, sekali lagi itu lebih dekat dengan budaya Barat dan umat Kristen. Karena itu, kenapa masyarakat kita mesti memperingatinya? Bahkan, sekarang ini,  di Barat sendiri ada gejala yang mengkhawatirkan menyangkut perayaan hari kasih sayang itu. Tak jarang kemurnian perayaan dinodai oleh perbuatan-perbuatan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai agama, misalnya sepasang kekasih merayakannya dengan saling berciuman, seks bebas, dansa semalam suntuk pesta minuman keras dan narkotika dan obat-obat terlarang (narkoba).
            Bagaimana dengan di negara kita? Saya belum punya data banyak, sehingga belum berani banyak untuk berkomentar. Meski begitu, bagi yang merayakan valentine di tanah air termasuk di Tasik, sudah sepatutnya kita belajar dari gejala buruk di Barat seperti dituliskan di atas. Sebenarnya, kasih sayang itu bersifat universal tidak hanya diidentikkan dengan kehidupan sepasang kekasih saja. Bukankah ada kasih sayang kita kepada Tuhan, kepada orangtua, dan kepada sesama.
            Dengan demikian, bagi kita mengenai hari kasih sayang itu cukup sebagai pengetahuan sejarah saja. Kita tak perlu latah untuk ikut-ikutan merayakannya, apalagi jiga diwarnai dengan perbuatan-perbuatan menyimpang tadi. Sehingga, sudah seharusnya kita terutama para ABG dan remaja yang sedang dalam masa peralihan perlu sadar dan menanamkan sikap kritis terhadap pengaruh budaya Barat itu. Selain itu, kita pun harus memiliki sikap yang selektif (memilih) terhadap budaya di luar kebudayaan kita (ah)***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar