Entri yang Diunggulkan

Di Sebuah Ranah

Saya menamainya   ranah   atau wilayah dalam arti seluas-luasnya di mana kebenaran dipersoalkan. Kebenaran dari yang mempersoalkan adalah k...

Sabtu, 01 September 2012

Kemarau di Dunia Sains Murni


Oleh: Ari Hidayat

         Matematika dan ilmu pengetahuan alam (IPA) atau ilmu alam dasar masih dianggap pelajaran menakutkan oleh siswa. Sehingga minat siswa masuk fakultas  Metematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) sangat rendah. Dikabarkan sejumlah perguruan tinggi menutup Fakultas MIPA. Penutupan terjadi pada satu atau lebih program studi  MIPA. Penutupan pun dilakukan mengingat minat siswa SMA untuk melanjutkan studi ke FMIPA terus menyusut dari tahun ke tahun.
          Sekadar ilustrasi, tahun 2007 kemarin mahasiswa jurusan Fisika dan Matematika Universitas Nasional (Unas) Jakarta kurang dari 100. Sejumlah Perguruan Tinggi Negeri (PTN) juga mengalami kasus serupa. Namun, demikian tidak separah yang terjadi di Perguruan Tinggi Swasta. Setidaknya,di sejumlah PTN ilmu-ilmu murni masih diminati calon mahasiswa (Republika,2007).
          Kasus ini menimbulkan pertanyaan besar. Apakah ilmu alam dasar masih dianggap  sebagai “harimau” yang menakutkan?. Atau siswa mulai kritis mempertanyakan fungsi praktis dari ilmu-ilmu dasar itu. Untuk apakah sebenarnya belajar matematika murni? Fisika murni untuk apa dipelajari? Seperti filsafat, matematika dan fisika dasar (murni) terkadang kurang dirasakan manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari? Tapi, jika kita menganggap ilmu-ilmu murni itu tidak ada faedahnya, maka sama dengan menaifkan  aktivitas manusia itu sendiri.
         Menurut sastrawan dan budayawan, Goenawan Mohamad dalam sebuah tulisannya,, terkadang dalam hidup ini kita suka belajar sesuatu yang dianggap tidak berarti, namun ternyata membuat hidup itu sendiri lebih berarti. Paling tidak, kita menghargai sesuatu dalam kehidupan ini, di luar dunia yang fungsional. Seperti belajar filsafat dan ilmu alam murni. Padahal sesungguhnya ilmu-ilmu dasar itu sangat berguna dan memberikan kontribusi signifikan terhadap ilmu-ilmu terapan seperti komputer adalah hasil sinergi dari matematika dan fisika. Ilmu dasar pun diperlukan bagi ilmu aplikasi seperti kedokteran.
           Minat yang rendah dari siswa untuk belajar sains murni menyebabkan terjadinya “kemarau” di bidang ilmu ini. Bila kita telusuri, sesungguhnya faktor yang menyebabkan rendahnya minat siswa di dunia matematika dan sains (fisika, biologi, dan kimia) adalah karena ilmu-ilmu itu yang diajarkan di sekolah menengah terlalu teoretis. Selain itu, beban yang diajarkan pun terlalu berat. Sehingga siswa menganggap sains itu sebagai ilmu yang menakutkan. Siswa juga merasakan ilmu-ilmu dasar itu seperti terisolir dari kehidupan sehari-hari. 
            Guna mengurangi kenyataan seperti itu dan menyirami “kemarau” di dunia sains murni, maka staf pengajar sejatinya  kreatif dalam mengajarnya. Hingga siswa tertarik belajar sains murni. Selain itu, kelompok-kelompok ilmiah di SMA pun perlu lebih ditingkatkan kegiatannya. Tentunya di bimbing oleh guru terkait. Kita pun jangan terlena, misalnya hanya dengan memenangkan Olimpiade Fisika saja.  Yang lebih penting bagaimana sistem pendidikan kita  mendorong siswa untuk lebih berprestasi, tak terkecuali bagi siswa cerdas namun kurang mampu dalam materi. 
Karena itu, perlu dekonstruksi pembelajaran matematika dan ilmu alam dasar di sekolah menengah. Dekonstruksi ini ditujukan untuk lebih mendekatkan sains dengan dunia sehari-hari.
            Tidak ada salahnya staf pengajar mengaitkan sains dengan kebutuhan praktis. Contohnya, untuk SMP bisa didiskusikan kenapa mata kucing bisa bercahaya dalam keadaan gelap, bagaimana peristiwa terjadinya petir, dll. Bahkan untuk siswa SMA bisa diajak untuk berdiskusi tentang topic aktual, Misalnya, kasus formalin, susu berbakteri, pencemaran alam dan sebagainya.
Berangkat dari peristiwa sehari-hari itulah siswa merasakan bahwa sains pun ada kegunaannya. Apalagi sekarang kurikulum pendidikan sudah berubah menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang menitikberatkan pada sekolah mengembangkan kurikulum sendiri.dan menuntut guru lebih kreatif dalam mengajar.   
        Karena itu, materi sains pun  tidak perlu terlalu teoretis dan dan lebih banyak muatan praktisnya. Bisa saja banyak kalangan pendidikan yang akan tidak setuju dengan pendapat saya. Ada pakar pendidikan yang tetap keukeuh, di sekolah menengah tidak perlu diajarkan persoalan praktis. Di kedua tingkat pendidikan itu hanya diajarkan konsep-konsep teoritis saja. Tapi,  bagi saya apalah artinya konsep kalau tidak bersinergi dengan kehidupan sehari-hari.
        Teori pendidikan pun mengisyaratkan belajar dengan mendengar saja akan memperoleh 25 persen pemahaman, dengan mendengar ditambah membaca  akan diperoleh 50 persen pemahaman dan kalau dengan cara mendengar, membaca dan mengalami sendiri akan memperoleh 75-100 persen pemahaman.

Membebani Siswa
        Beberapa tahun lalu bahkan di Jawa Barat, termasuk di Tasikmalaya sempat muncul pendapat yang akan memasukkan kimia sebagai mata pelajaran baru di SD. Pro kontra pun terjadi. Saya pernah berbincang dengan pakar pendidikan dari UPI, Bandung Prof. DR Ratna Wilis Dahar, MSc (Alm). Dia pun tidak setuju bila kimia diajarkan di SD. Kita jangan memaksakan sesuatu kepada peserta didik yang belum  sesuai dengan kondisi  kemanpuan kognisi, afeksi maupun siswa. Apalagi, saat ini siswa mulai SD sampai SMA terlalu banyak dibebani pelajaran. Jangan sampai pelajaram baru akan menjadi beban bagi siswa, guru dan orangtua murid. Kabarnya. Di Amerika Serikat (AS) sendiri siswa SD hanya diberi 5 mata pelajaran, sedangkan di kita sampai ada yang 11 mata pelajaran.
         Di negara adidaya itu pun Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) baru dirasakan keberhasilannya setelah 70 tahun. Ironinya, di kita yang tadinya mau meniru kurikulum Barat (KBK), ternyata belum lama sudah diganti dengan kurikulum baru yakni KTSP. Memang saat ini sekolah seperti dijadikan sebagai “laboratorium”. Tapi analis lab-nya seperti amatiran hanya mengandalkan satu jurus  trial and error (uji-coba). Dan melupakan filosofi pendidikan itu sendiri. Misalnya, keadilan dalam pendidikan bagi sisiwa yang kurang mampu secara materi. Sekolah saat ini seperti etalase toko yang memajang barang mewah. Hanya orang berkantong teballah yang bisa menikmatinya.
        Mengingat kondisi pendidikan seperti itulah, siswa yang kurang beruntung perlu      memikirkan untuk menuntut jalur nonformal. Seperti sekolah dulu sampai SMP, setelah itu bisa bekerja sambil melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya dengan mengambil Program Kejar Paket C.  Mengikuti kursus-kursus gratis dsb. Karena bagaimanapun sekolah itu penting. *** (Penulis, Alumnus Kimia, FPMIPA IKIP Bandung).



              



Tidak ada komentar:

Posting Komentar