Oleh: Ari Hidayat
Matematika dan ilmu pengetahuan alam
(IPA) atau ilmu alam dasar masih dianggap pelajaran menakutkan oleh siswa.
Sehingga minat siswa masuk fakultas Metematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA)
sangat rendah. Dikabarkan sejumlah perguruan tinggi menutup Fakultas MIPA.
Penutupan terjadi pada satu atau lebih program studi MIPA. Penutupan pun dilakukan mengingat minat
siswa SMA untuk melanjutkan studi ke FMIPA terus menyusut dari tahun ke tahun.
Sekadar ilustrasi, tahun 2007 kemarin
mahasiswa jurusan Fisika dan Matematika Universitas Nasional (Unas) Jakarta kurang dari 100.
Sejumlah Perguruan Tinggi Negeri (PTN) juga mengalami kasus serupa. Namun,
demikian tidak separah yang terjadi di Perguruan Tinggi Swasta. Setidaknya,di
sejumlah PTN ilmu-ilmu murni masih diminati calon mahasiswa (Republika,2007).
Kasus ini menimbulkan pertanyaan besar. Apakah
ilmu alam dasar masih dianggap sebagai
“harimau” yang menakutkan?. Atau siswa mulai kritis mempertanyakan fungsi praktis
dari ilmu-ilmu dasar itu. Untuk apakah sebenarnya belajar matematika murni?
Fisika murni untuk apa dipelajari? Seperti filsafat, matematika dan fisika
dasar (murni) terkadang kurang dirasakan manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari?
Tapi, jika kita menganggap ilmu-ilmu murni itu tidak ada faedahnya, maka sama
dengan menaifkan aktivitas manusia itu
sendiri.
Menurut sastrawan dan budayawan, Goenawan
Mohamad dalam sebuah tulisannya,, terkadang dalam hidup ini kita suka belajar
sesuatu yang dianggap tidak berarti, namun ternyata membuat hidup itu sendiri
lebih berarti. Paling tidak, kita menghargai sesuatu dalam kehidupan ini, di
luar dunia yang fungsional. Seperti belajar filsafat dan ilmu alam murni.
Padahal sesungguhnya ilmu-ilmu dasar itu sangat berguna dan memberikan
kontribusi signifikan terhadap ilmu-ilmu terapan seperti komputer adalah hasil
sinergi dari matematika dan fisika. Ilmu dasar pun diperlukan bagi ilmu aplikasi
seperti kedokteran.
Minat yang rendah dari siswa untuk belajar
sains murni menyebabkan terjadinya “kemarau” di bidang ilmu ini. Bila kita
telusuri, sesungguhnya faktor yang menyebabkan rendahnya minat siswa di dunia
matematika dan sains (fisika, biologi, dan kimia) adalah karena ilmu-ilmu itu
yang diajarkan di sekolah menengah terlalu teoretis. Selain itu, beban yang
diajarkan pun terlalu berat. Sehingga siswa menganggap sains itu sebagai ilmu
yang menakutkan. Siswa juga merasakan ilmu-ilmu dasar itu seperti terisolir
dari kehidupan sehari-hari.
Guna mengurangi kenyataan seperti itu dan
menyirami “kemarau” di dunia sains murni, maka staf pengajar sejatinya kreatif dalam mengajarnya. Hingga siswa
tertarik belajar sains murni. Selain itu, kelompok-kelompok ilmiah di SMA pun
perlu lebih ditingkatkan kegiatannya. Tentunya di bimbing oleh guru terkait.
Kita pun jangan terlena, misalnya hanya dengan memenangkan Olimpiade Fisika
saja. Yang lebih penting bagaimana
sistem pendidikan kita mendorong siswa
untuk lebih berprestasi, tak terkecuali bagi siswa cerdas namun kurang mampu
dalam materi.
Karena itu, perlu dekonstruksi
pembelajaran matematika dan ilmu alam dasar di sekolah menengah. Dekonstruksi
ini ditujukan untuk lebih mendekatkan sains dengan dunia sehari-hari.
Tidak ada salahnya staf pengajar mengaitkan
sains dengan kebutuhan praktis. Contohnya, untuk SMP bisa didiskusikan kenapa
mata kucing bisa bercahaya dalam keadaan gelap, bagaimana peristiwa terjadinya
petir, dll. Bahkan untuk siswa SMA bisa diajak untuk berdiskusi tentang topic aktual,
Misalnya, kasus formalin, susu berbakteri, pencemaran alam dan sebagainya.
Berangkat dari peristiwa
sehari-hari itulah siswa merasakan bahwa sains pun ada kegunaannya. Apalagi
sekarang kurikulum pendidikan sudah berubah menjadi Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) yang menitikberatkan pada sekolah mengembangkan kurikulum
sendiri.dan menuntut guru lebih kreatif dalam mengajar.
Karena itu, materi sains pun tidak perlu terlalu teoretis dan dan lebih
banyak muatan praktisnya. Bisa saja banyak kalangan pendidikan yang akan tidak
setuju dengan pendapat saya. Ada pakar pendidikan yang tetap keukeuh, di sekolah menengah tidak perlu
diajarkan persoalan praktis. Di kedua tingkat pendidikan itu hanya diajarkan
konsep-konsep teoritis saja. Tapi, bagi
saya apalah artinya konsep kalau tidak bersinergi dengan kehidupan sehari-hari.
Teori pendidikan pun mengisyaratkan
belajar dengan mendengar saja akan memperoleh 25 persen pemahaman, dengan
mendengar ditambah membaca akan
diperoleh 50 persen pemahaman dan kalau dengan cara mendengar, membaca dan
mengalami sendiri akan memperoleh 75-100 persen pemahaman.
Beberapa tahun lalu bahkan di Jawa
Barat, termasuk di Tasikmalaya sempat muncul pendapat yang akan memasukkan
kimia sebagai mata pelajaran baru di SD. Pro kontra pun terjadi. Saya pernah
berbincang dengan pakar pendidikan dari UPI, Bandung Prof. DR Ratna Wilis
Dahar, MSc (Alm). Dia pun tidak setuju bila kimia diajarkan di SD. Kita jangan
memaksakan sesuatu kepada peserta didik yang belum sesuai dengan kondisi kemanpuan kognisi, afeksi maupun siswa.
Apalagi, saat ini siswa mulai SD sampai SMA terlalu banyak dibebani pelajaran.
Jangan sampai pelajaram baru akan menjadi beban bagi siswa, guru dan orangtua
murid. Kabarnya. Di Amerika Serikat (AS) sendiri siswa SD hanya diberi 5 mata
pelajaran, sedangkan di kita sampai ada yang 11 mata pelajaran.
Di negara adidaya itu pun Kurikulum
Berbasis Kompetensi (KBK) baru dirasakan keberhasilannya setelah 70 tahun.
Ironinya, di kita yang tadinya mau meniru kurikulum Barat (KBK), ternyata belum
lama sudah diganti dengan kurikulum baru yakni KTSP. Memang saat ini sekolah
seperti dijadikan sebagai “laboratorium”. Tapi analis lab-nya seperti amatiran
hanya mengandalkan satu jurus trial and error (uji-coba). Dan
melupakan filosofi pendidikan itu sendiri. Misalnya, keadilan dalam pendidikan
bagi sisiwa yang kurang mampu secara materi. Sekolah saat ini seperti etalase
toko yang memajang barang mewah. Hanya orang berkantong teballah yang bisa
menikmatinya.
Mengingat kondisi pendidikan seperti
itulah, siswa yang kurang beruntung perlu
memikirkan untuk menuntut jalur nonformal. Seperti sekolah dulu sampai
SMP, setelah itu bisa bekerja sambil melanjutkan pendidikan ke jenjang
berikutnya dengan mengambil Program Kejar Paket C. Mengikuti kursus-kursus gratis dsb. Karena
bagaimanapun sekolah itu penting. *** (Penulis,
Alumnus Kimia, FPMIPA IKIP Bandung).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar