Entri yang Diunggulkan

Di Sebuah Ranah

Saya menamainya   ranah   atau wilayah dalam arti seluas-luasnya di mana kebenaran dipersoalkan. Kebenaran dari yang mempersoalkan adalah k...

Senin, 10 September 2012




.
Jamkesmas Tak Sepenuhnya Menjamin

.

Oleh: Ari Hidayat

        Suatu saat kita berada di kerajaan sehat, pada waktu lain tiba di kerajaan sakit. Saat sakit kita merasakan betapa nikmatnya hidup sehat dan betapa merananya sakit. Kesehatan memang sangat penting. Tanpa kondisi badan dan jiwa yang sehat, segala aktivitas kita seperti bekerja, belajar, beribadah dll akan terhambat. Kerajaan sakit bisa menimpa siapa saja, tua maupun muda , yang kaya atau miskin. Bagi orang kaya, sakit mungkin tidak begitu merepotkan, Ia dapat dengan mudah berobat tanpa ambil pusing dengan biaya. Bahkan untuk berobat keluar negeri sekalipun. Namun bagi si miskin, sakit akan membuat masalah menjadi berdobel-dobel terutama dari segi biaya pengobatan. Jangankan untuk pergi ke dokter dan rumah sakit (RS), untuk makan sehari-hari saja ada di antara kita yang masih kesulitan. Karena itu mereka perlu dijamin kesehatannya oleh pemerintah.
        Model penjaminan kesehatan bagi penduduk miskin di Indonesia sudah dimulai sejak 1980 dengan nama Dana Sehat. Sepuluh tahun kemudian namanya diubah menjadi Jaminan Pemeliharan Kesehatan Masyarakat (JPKM). Sebelumnya RS mempunyai kebijakan bagi warga miskin untuk bebas biaya perawatan asal membawa Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) dari RT, RW, kelurahan dan kecamatan setempat. Menurut Guru Besar Universitas Indonesia (UI), Depok, Prof DR Hasbullah Thabrany, JPKM dinilai gagal karena program ini mengadopsi  sistem asuransi komersial di Amerika Serikat (AS) sehingga tidak cocok diterapkan di kita. Setelah krisis multidimensi di Indonesia, JPKM diubah menjadi Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan kemudian pada tahun 2005 menjadi Asuransi Kesehatan Keluarga Miskin (Askeskin) dan  terakhir menjadi Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas).
       Sebagai komparasi (perbandingan) sejak  setengah abad lampau di Srilanka dan Malaysia yang kondisi ekonominya lebih buruk dari Indonesia ketika itu, rakyat tak kesulitan memikirkan biaya pengobatan, semuanya ditanggung pemerintah. Begitu pula di Muangthai (sekarang Thailand) yang tak lebih buruk dari Indonesia dan Malaysia yang telat merdekanya 12 tahun dari Indonesia rakyat tak ambil pusing dengan biaya pengobatan karena dijamin pemerintah. Di lain pihak,  data Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) menunjukkan lebih dari 100 juta orang setiap tahunnya jatuh miskin karena tidak mampu membayar biaya pengobatan lantaran sakit, kecuali di AS.
        Jadi, orang kaya pun sebenarnya bisa jatuh miskin jika sakit parah dan kronis (menahun). Kekayaannya habis untuk biaya pengobatan dan perawatan. Sebab, sudah naluri manusia kalau sakit ia berusaha sekuat tenaga untuk bisa sembuh. Betapa mahalnya hidup sehat itu, bisa dirasakan oleh mereka. Sehingga, kelompok orang demikian pun perlu mendapat jaminan kesehatan (Jamkesmas) dari pemerintah. Sudah seyogianya pihak berkompeten termasuk RT dan RW proaktif mendata warganya yang tadinya dinilai kaya (mampu) mendadak menjadi miskin karena sakit. Sehingga mereka bisa menerima Jamkesmas.

Bukan Jaminan
         Dalam konteks miskin dan kemiskinan secara ekonomi ini, ada anggapan keliru dari sebagian warga masyarakat kita, baik si miskin itu sendiri, maupun orang mampu. Si miskin kerap merasa malu bahwa dirinya mendapat stigma (cap) miskin di masyarakat. Sebaliknya, tidak sedikit orang berada yang menilai miskin itu sebagai aib. Orang miskin berada pada strata rendah di masyakarat, sehingga jangankan untuk menyantuni kaum papa, buat berinteraksi dengan orang miskin pun mereka enggan. Paradigma (kerangka berpikir) inilah yang perlu diubah kedua belah pihak.
         Kemiskinan bukanlah suatu cela. Rasulullah Muhammad saw sendiri tidak takut umatnya jatuh miskin di kelak kemudian hari. Yang beliau risaukan bila umatnya berlomba-lomba mengejar kemewahan duniawi, tanpa memerhatikan mana yang halal dan haram, yang baik dan buruk, serta yang sesuai dengan hukum atau melanggarnya. Orang seperti ini menganggap kemewahan duniawi dan berlimpahnya harta akan mengekalkan mereka. Meski begitu menjadi orang miskin tentu tidak terlalu menyenangkan. Apalagi hidup melarat dan serbakekurangan Tidak ada satu ajaran pun yang mengajarkan atau membolehkan umatnya dengan sengaja ke kemelaratan.
         Karena itu, orang miskin wajib meningkatkan derajat ekonominya menjadi sejahtera, syukur-syukur kaya. Jika belum juga kesampaian, bersabar dan bertawakallah. Yang penting doa sudah diperbanyak dan usaha dimaksimalkan. Nikmati saja yang ada, toh kita masih bisa makan dan minum serta tidur dengan nyenyak.  Memang bagi warga miskin sakit lebih tidak nyaman dan masalahnya menjadi berlipat-lipat ketimbang orang kaya yang sakit,  lantaran menyangkut biaya pengobatan apalagi kalau sakitnya parah dan kronis.  Memang pemerintah sudah membebaskan biaya berobat ke Puskesmas, tapi bila pengobatannya harus dirujuk ke RS bahkan RS Provinsi, ini yang kian menambah susah si miskin.
        Jamkesmas saja terkadang tidak cukup. Sebagai contoh, seorang peserta Jamkesmas berobat di suatu RS, ia diberi resep oleh dokter dan pergi ke apotek RS untuk menukarkannya dengan obat. Ia terkejut ketika petugas apotek mengatakan bahwa obat itu tidak tersedia di sana dan harus dibeli di apotek luar. Ketika ditanyakan ke apotek di luar RS,  resep itu harus dibayar ratusan ribu rupiah. Si peserta Jamkesmas yang bekerja sebagai penarik becak itu tak membeli obat. Akhirnya, ia pun kapok berobat dengan Jamkesmas. Memang kabarnya, jika kasusnya seperti ini peserta Jamkesmas membayar dulu dan bisa mengklaim PT Askes untuk menggantinya. Namun, dia memakai Jamkesmas itu karena kesulitan uang. Bagaimana dia harus membayar obat dulu ke apotek?
         Di Depok belum lama ini. Ada bayi Rizki yang tidak mempunyai anus dan harus dirawat di suatu RS. Ia tak bisa dibawa pulang karena harus membayar Rp 62 juta, RS meminta Pemerintah Daerah (Pemdalah) yang harus membayar. Jika orangtua Rizki tergolong tak mampu dan belum memiliki Jamkesmas kenapa tidak ada kebijakan dari RS untuk meminta orangtua Rizki membuat Jamkesmas sementara (SKTM) toh nanti akhirnya PT Askes sendiri yang akan membayarnya dari dana konpensasi kenaikan BBM. Toh, RS tidak akan bangkrut dengan menunda sambil menunggu dana cair dari PT Askes, bukankah begitu prosedurnya? Akhirnya terkumpul Rp 40 juta dari donatur dan sisanya dibayar Pemda Depok.
        Sehingga, Jamkesmas itu sendiri bukan suatu jaminan bahwa bagi si miskin berobat dan perawatan di RS akan serbagratis dan mudah. Memang penyalahgunaan Askeskin baik oleh PT Askes, RS, atau pesertanya tidak terbukti, namun perlakuan tidak menyenangkan, membingungkan, dan diskriminatif kerap dikeluhkan oleh peserta Jamkesmas. Yang tak kalah penting dokter perlu aktif menanyakan pasien (karena umumnya peserta Jamkesmas berpendidikan minim) apakah dia peserta Jamkesmas atau bukan, sehingga ia dapat menyesuaikan tindakan medis yang akan diambilnya, Yang lebih ideal adalah si pasien yang proaktif mengingatkan dokter bahwa dirinya adalah peserta Jamkesmas dan memohon pengobatannya disesuaikan. Semoga ke depan perlindungan kesehatan untuk warga miskin menjadi lebih baik, tidak terlalu birokratis (penyederhanaan), merata, dan tepat sasaran.***
                                    Penulis adalah, penulis lepas. Tinggal di Kota Tasikmalaya.

Ari Hidayat, sarjana kimia FPMIPA IKIP Bandung dan alumnus pendidikan wartawan profesional, LP3Y, Yogya (beasiswa surat kabar Suara Pembaruan). Pernah bekerja sebagai jurnalis (wartawan) di sejumlah media nasional dan daerah. Terakhir bekerja sebagai wartawan Priangan (Grup Pikiran Rakyat) di Tasikmalaya. Kini sebagai penulis lepas.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar