Alun-alun
kota Tasikmalaya pada bulan puasa sore jelang beduk maghrib ramai dipadati
pedagang dan pengunjung. Mereka yang di
pusat kota itu sedang “ngabuburit” (aktivitas menunggu buka puasa). Dan
kebiasaan itu berlanjut tiap tahun hingga Ramadhan kini. Beragam
makanan-minuman buat berbuka dijajakan di sana, aneka mainan anak-anak semisal
“kolecer” yang dilesatkan ke udara memakai
sebatang bamboo pendek yang sdh diserut dan ujung dipasang karet gelang buat melesatkan mainan
itu. Sampai sesudah dilesatkan itu
“kolecer” melayang ke atas lalu berputar-putar ke bawah.
Tak
hanya itu, sejumlah hari lalu ketika
saya ke sana ada pula atraksi doger monyet.
Alun-alun kerap menjadi riuh terutama banyak anak-anak (bersama orangtua
mereka) dan remaja yang meluangkan waktu di tempat itu buat menunggu beduk
maghrib. Mirip dengan suasana pasar
kaget, atau pasar dadakan. Seingat
saya sejak pengujung tahun 1970-an, tatkala saya masih duduk di Sekolah Dasar
(SD), sudah melihat pemandangan serupa. Alun-alun ramai sebagai tempat untuk ngabuburit.
Saya menoleh ke masa-masa itu meski tak ingat
betul saat duduk di kelas berapa (saya masuk SD Citapen 2 Tasikmalaya pada
1976) terdapat aktivitas yang mungkin tak banyak dilakukan anak-anak sekarang. Seusia
itu, saya yang berasal dari keluarga
sederhana ini, pernah memanfaatkan ngabuburit di alun-alun dengan menyewakan koleksi
pribadi komik-komik (cerita bergambar) untuk menambah uang jajan. Saat itu lagi popular cergam semisal Tintin. Begitu pula novel anak-anak
seperti petualangan Lima Sekawan. Ada juga komik silat, Mahabharata dll. Tapi
saya tak ingat persis berapa tarif menyewakan itu. Apa 25 rupiah per buku?Yang saya ingat saat SD terkadang saya suka dikasih uang jajan sebelum berangkat
sekolah Rp 25 oleh almarhum kakek saya, Wiradiredja. Uang koin itu kecil ukurannya bertahun 1971
pada satu sisinya bergambar burung Gelatik. Intinya komik itu dibaca di tempat dan saya menerima sejumlah uang dari itu.
Selain menyewakan komik dan novel
anak saya juga membuat “kolecer” sendiri dan ikut dijajakan. Di lapangan
alun-alun, saya menggelar tikar kecil dan menata cergam dan buku cerita itu di
atasnya juga “kolecer” buatan sendiri.
Habis
Ashar saya sudah sibuk mempersiapkan itu dan berangkat ke alun-alun buat “kerja”.
Hehehe. Pulangnya tak tentu terkadang
sekira setengah enam sore. Yang jelas untuk buka puasa selalu di rumah. Uang
yang saya peroleh saya masukkan ke dalam celengan yang saya buat sendiri dari
kaleng susu kental bekas dan saya simpan
di suatu tempat. Kalau ingatan saya masih bagus sepertinya di kolong ranjang. Begitulah “kerja” dadakan saya pada sore
Ramadhan . Pada malam-malam tertentu saya suka mengecek celangan saya menggoyang-goyangkan
kaleng itu.
“Akh rupanya lumayan juga. Mungkin sudah cukup
banyak isinya.”
Ramadhan
bergulir menuju akhir puasa. Malam takbir pun tiba. Saya membobok celengan itu,
menghitung isinya. Dan sekali lagi saya mohon maaf, sebab ngak ingat persis
jumlahnya. Sepertinya saya menukar uang-uang koin yang saya kumpulkan itu ke
ibu saya dengan sejumlah uang kertas, entah lembaran 100 rupiah, 500 rupiah, atau Rp 1000
saya tak begitu ingat pasti. Uang hasil menukar itu saya masukkan ke sebuah
dompet pemberian Paman Suryana kerabat
bapak.
Ini
hari lebaran. Saya yang duduk di kelas 3 atau 4 SD ketika itu, berencara mau menonton film bioskop. Saya sempat tahu dari mobil wawar
yang suka melempar-lemparkan selebaran tetang film yang akan diputar di bioskop dari
kendaraan pick-up yang dibelakangnya
dipasang poster film itu. Selebaran film bioskop itu disebar-sebarkan begitu saja dari bagian depan pintu mobil wawar
yang terbuka jendela kacanya saat berkeliling di sejumlah jalan di Tasik.
Saya
akan nonton di Bioskop Parahyangan. Lebaran itu bioskop yang letaknya dekat Masjid
Agung itu menayangkan film Drunken
Master yang dibintangi Chen Lung (Jackie Chan). Tiba di bioskop ternyata
antrian sudah cukup panjang dekat pintu karcis. Saya bergegas ikut ngantri. Kadang antrian itu
seperti goyang-goyang dan pengantri seperti berdempetan saja, seakan kadang-kadang ered-eredan,
tapi cukup tertib. Tibalah saya di depan pintu loket setelah ngantri sekian
lama. Namun, betapa terkejutnya saya, saat merogoh belakang saku celana saya saku itu kosong.
Ngak ada dompet saya di situ. Refleks tangan saya mengitari merogoh-rogoh isi
saku itu. Tetap kosong, ngak ada dompet saya di situ.
Seketika badan kecil saya berupaya menyeruak dari antrian dan kerumun orang dekat bioskop itu. Setelah
berhasil keluar, saya berlari sebisa-bisa menuju rumah. Tiba di rumah saya menangis sejadi-jadinya (Ari Hidayat)
kecopetan atau jatuh di jalan? kalau di copet da kitu copet ngak lihat manusia lagi, dia tu anak2 atau orang tua udah nenek juga di gasak juga. Kalau nyopet tu harusnya lihat2 dululah orang mo di copet. Copet memangnya pandang bulu? Ya pandang lengahnya.
BalasHapusNgak tahu yg jelas dompetnya hilang,
Hapus