Entri yang Diunggulkan

Di Sebuah Ranah

Saya menamainya   ranah   atau wilayah dalam arti seluas-luasnya di mana kebenaran dipersoalkan. Kebenaran dari yang mempersoalkan adalah k...

Jumat, 03 Agustus 2012

"Ngabuburit"


Alun-alun kota Tasikmalaya pada bulan puasa sore jelang beduk maghrib ramai dipadati pedagang dan pengunjung.  Mereka yang di pusat kota itu sedang “ngabuburit” (aktivitas menunggu buka puasa). Dan kebiasaan itu berlanjut tiap tahun hingga Ramadhan kini. Beragam makanan-minuman buat berbuka dijajakan di sana, aneka mainan anak-anak semisal “kolecer” yang dilesatkan ke udara memakai  sebatang bamboo pendek yang sdh diserut dan ujung  dipasang karet gelang buat melesatkan mainan itu.  Sampai sesudah dilesatkan itu “kolecer” melayang ke atas lalu berputar-putar ke bawah.

Tak hanya itu,  sejumlah hari lalu ketika saya ke sana ada pula atraksi doger monyet.  Alun-alun kerap menjadi riuh terutama banyak anak-anak (bersama orangtua mereka) dan remaja yang meluangkan waktu di tempat itu buat menunggu beduk maghrib.  Mirip dengan suasana pasar kaget,  atau pasar dadakan. Seingat saya sejak pengujung tahun 1970-an, tatkala saya masih duduk di Sekolah Dasar (SD), sudah melihat pemandangan serupa. Alun-alun ramai  sebagai tempat untuk ngabuburit. 

Saya menoleh ke masa-masa itu meski tak ingat betul saat duduk di kelas berapa (saya masuk SD Citapen 2 Tasikmalaya pada 1976) terdapat aktivitas yang mungkin tak banyak dilakukan anak-anak sekarang. Seusia itu,  saya yang berasal dari keluarga sederhana ini, pernah memanfaatkan ngabuburit di alun-alun dengan menyewakan koleksi pribadi komik-komik (cerita bergambar) untuk menambah uang jajan.  Saat itu lagi popular cergam semisal Tintin. Begitu pula novel anak-anak seperti petualangan Lima Sekawan. Ada juga komik silat, Mahabharata dll.  Tapi saya  tak ingat persis berapa tarif menyewakan itu. Apa 25 rupiah per buku?Yang saya ingat saat SD terkadang  saya suka dikasih uang jajan sebelum berangkat sekolah Rp 25 oleh almarhum kakek saya, Wiradiredja.  Uang koin itu kecil ukurannya bertahun 1971 pada satu sisinya bergambar burung Gelatik. Intinya komik itu dibaca di tempat dan saya menerima sejumlah uang dari itu. 
Selain menyewakan komik dan novel anak saya juga membuat “kolecer” sendiri dan ikut dijajakan. Di lapangan alun-alun, saya menggelar tikar kecil dan menata cergam dan buku cerita itu di atasnya juga “kolecer”  buatan sendiri.

Habis Ashar saya sudah sibuk mempersiapkan itu dan berangkat ke alun-alun buat “kerja”. Hehehe.  Pulangnya tak tentu terkadang sekira setengah enam sore. Yang jelas untuk buka puasa selalu di rumah. Uang yang saya peroleh saya masukkan ke dalam celengan yang saya buat sendiri dari kaleng susu kental  bekas dan saya simpan di suatu tempat. Kalau ingatan saya masih bagus sepertinya di kolong ranjang.  Begitulah “kerja” dadakan saya pada sore Ramadhan . Pada malam-malam tertentu saya suka mengecek celangan saya menggoyang-goyangkan kaleng itu.
 “Akh rupanya lumayan juga. Mungkin sudah cukup banyak isinya.”

Ramadhan bergulir menuju akhir puasa. Malam takbir pun tiba. Saya membobok celengan itu, menghitung isinya. Dan sekali lagi saya mohon maaf, sebab ngak ingat persis jumlahnya. Sepertinya saya menukar uang-uang koin yang saya kumpulkan itu ke ibu saya dengan sejumlah uang kertas, entah lembaran  100 rupiah, 500 rupiah, atau  Rp 1000 saya tak begitu ingat pasti. Uang hasil menukar itu saya masukkan ke sebuah dompet pemberian  Paman Suryana kerabat bapak.

Ini hari lebaran. Saya yang duduk di kelas 3 atau 4 SD ketika itu, berencara mau menonton film bioskop. Saya sempat tahu dari mobil wawar yang suka melempar-lemparkan selebaran tetang film yang akan  diputar di bioskop dari kendaraan pick-up yang dibelakangnya dipasang poster film itu. Selebaran film bioskop itu disebar-sebarkan begitu saja dari bagian depan pintu mobil wawar yang terbuka jendela kacanya saat berkeliling di sejumlah jalan di Tasik.

Saya akan nonton di Bioskop Parahyangan. Lebaran itu bioskop yang letaknya dekat Masjid Agung  itu menayangkan film Drunken Master yang dibintangi Chen Lung (Jackie Chan). Tiba di bioskop ternyata antrian sudah cukup panjang dekat pintu karcis.  Saya bergegas ikut ngantri. Kadang antrian itu seperti goyang-goyang dan pengantri  seperti berdempetan saja, seakan kadang-kadang ered-eredan, tapi cukup tertib. Tibalah saya di depan pintu loket setelah ngantri sekian lama. Namun, betapa terkejutnya saya, saat merogoh  belakang saku celana saya saku itu kosong. Ngak ada dompet saya di situ. Refleks tangan saya mengitari merogoh-rogoh isi saku itu. Tetap kosong, ngak ada dompet saya di situ.

Seketika  badan kecil saya berupaya menyeruak dari antrian dan kerumun orang dekat bioskop itu. Setelah berhasil keluar, saya berlari sebisa-bisa menuju rumah.  Tiba di rumah saya menangis sejadi-jadinya (Ari Hidayat)  

2 komentar:

  1. kecopetan atau jatuh di jalan? kalau di copet da kitu copet ngak lihat manusia lagi, dia tu anak2 atau orang tua udah nenek juga di gasak juga. Kalau nyopet tu harusnya lihat2 dululah orang mo di copet. Copet memangnya pandang bulu? Ya pandang lengahnya.

    BalasHapus