Jiwa wartawan adalah rasa ingin tahu. Keingintahuan
tentang suatu topik ataupun persoalan yang terjadi di sekekelingnya, dalam
masyarakatnya. Berangkat dari itu, dia mencoba mengungkapkannya, dengan mengemasnya menjadi sebuah berita lantas
memublikasikannya lewat media. Dia menyampaikan pada publik realitas yang
terjadi baik realitas psikologis (diperoleh lewat wawancara) maupun realitas
sosial (didapat dengan observasi dll).
Ada kaidah-kaidah (aturan) jurnalistik, ada pula perangkat-perangkat
lain yang sejatinya dimiliki seorang jurnalis. Sebab bermula dari rasa ingin
tahu, setelah mengetahui dengan interview
(wawancara), observasi (pengamatan), dan investigasi (“penyelidikan”) ke
lapangan, pewarta yang sudah terlatih
seakan bisa merasakan mana data dan fakta yang layak disebut berita, bernilai
berita (sense of news).
Dalam buku-buku jurnalisme disebutkan kelayakan
berita karena yang dipublikasikan itu mengandung nilai proximity
(kedekatan), prominence
(keterkenalan). magnitude (berdaya
tarik besar), Sedangkan tentang berita itu sendiri pada intinya dikategorikan
menjadi berita langsung (straight news),
news analysis (interpretative news), investigative news, dan berita khas (feature) termasuk pula laporan
perjalanan jurnalistik.
Cobalah kita mengamati berita yang bertebaran di
media, bandingkan dengan pengetahuan jurnalisme yang pernah kita pelajari.
Suatu berita disusun oleh prinsip piramida terbalik (paragraf demi paragrafnya
disusun mulai dari informasi yang penting ke yang kurang penting). Alinea
pertama disebut teras berita mengandung informasi yang paling penting. Judul
berita diambil/diolah dari teras berita itu. Tentu, unsur 5 W = who (siapa), what (apa), why
(mengapa), when (kapan), where (di mana), dan how (bagaimana)
sudah dimasukkan dalam menyusun berita. Unsur berita itu bisa pula dimulai
dengan when atau why dulu dst. Jadi bersifat fleksibel (luwes).
Wartawan menyampaikan fakta. Dia tidak memasukkan
pendapat pribadi (opini) dalam berita (andai hendak beropini ada kolomnya dalam
Tajuk Rencana atau Rubrik Opini). Dia tidak memutarbalikkan fakta, memelintir,
apalagi seperti mengarang-ngarang sebuah cerita yang sesungguhnya tidak terjadi
dalam masyarakatnya. Jadi katakanlah dia bukan sedang membuat artikel/esai
maupun mengarang cerita pendek (cerpen). Dia melakukan cek dan ricek, berimbang dalam
pemberitaannya (chek and balance), dan menjaga netralitas dan tetap berpihak
pada kepentingan publik.
Kepekaan akan berita seperti itu perlu, hingga
wartawan bukan hanya memberitakan berita yang sekadar berita. Jadi tidak
terpaku pada kegiatan seremonial atau siaran pers (press release) semata sebagai bahan beritanya. Dalam acara seperti
itu, yang dihadiri oleh tokoh penting, pejabat pemerintahan juga narasumber berkompeten
lainnya, justu merekalah yang ditunggu-tunggu untuk dimintai keterangan menyangkut
suatu persoalan yang kebanyakan mengenai topik aktual. Bahkan masalah-masalah
yang terjadi dalam masyarakatnya. Sensivitas seorang wartawan dalam makna
positif seperti itu perlu dijaga, dipelihara, dan dikembangkan.
Karena wartawan itu profesi ada kaidah-kaidah
standar yang perlu dipelajari dulu secara praksis (dalam kerja praktisnya).
Semacam teori-teori dasar jurnalistik. Kode etik profesi, peraturan perundangan
yang berkaitan dengan media dan informasi. Memperluas dan memperdalam
pengetahuannya termasuk pengetahuan umum juga bahasa asing, khususnya bahasa
Inggris (Ari Hidayat)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar