Setitik Cahaya
Oleh: Ari Hidayat
Dorman bingung sebentar lagi istrinya yang
melahirkan anak keduanya harus segera pulang dari klinik bidan, sedangkan ia
tak punya uang untuk membayar biaya persalinan. Memang biayanya tidak terlalu
mahal hanya Rp 950 ribu. Tapi, bagi
pekerja serabutan seperti dirinya uang sejumlah itu terbilang banyak. Jangankan
buat biaya seperti itu, untuk makan sehari-hari dan biaya sekolah anak
pertamanya yang di SMP saja terkadang kurang. Meskipun sekarang ada BOS untuk
sekolah, namun tetap ada biaya-biaya yang harus dikeluarkan untuk sekolah,
entah untuk seragam baru, buku-buku, study
tour dan uang perpisahan.
Sehari-hari Dorman menggantungkan hidup dengan
pekerjaan tak tetap. Terkadang ada orang yang menyuruh mengecat rumah, membabat
rumput di halaman, dan pekerjaan kasar lainnya yang tidak memerlukan keahlian
khusus. Ia menyadari sebagai orang yang tak berpendidikan tinggi, minim
keahlian dan modal sangat sulit untuk hidup layak pada zaman sekarang. Jadilah
ia bertahun-tahun, berpuluh-puluh tahun terjebak dalam lingkaran kemiskinan.
Sebagai orang miskin, Dorman bukannya tidak mau memanfaatkan kartu Jamkesmas
atau SKTM untuk kesehatan. Dari cerita teman-temannya, kemudahan dari
pemerintah untuk berobat itu tidak sepenuhnya menjamin, tetap tidak gratis 100
persen, harus ada biaya dikeluarkan untuk ongkos atau pengeluaran lain. Bahkan,
di rumah sakit di kotanya tak ada lagi uang penggantian obat yang harus dibeli
pasien yang tak tercakup dalam Jamkesmas.
Jadilah ia orang yang kesulitan setiap
berhadapan dengan kebutuhan hidup yang
membutuhkan biaya “mahal”. Kini, istri dan bayinya di klinik itu membutuhkan uang
agar bisa pulang ke rumah sewaannya di sebuah perkampungan kumuh. Dengan
terpaksa Dorman pun memutuskan mengadukan persoalan itu ke mertuanya. Meski hal
itu berat dilakukan, sebab mertuanya juga bukan orang berada, hanya penjual
bakso keliling. Siapa tahu bapak mertuanya bisa membantu, paling tidak memberi jalan keluar bagi pikirannya
yang buntu..
Dorman melangkahkan kaki ke rumah mertuanya
yang tinggal tak jauh dari rumah sewaannya. Seperti perkiraan sebelumnya, bapak
mertuanya pun tak bisa membatunya.
“Bapak lagi tak punya uang. Man, kamu itu
harus sadar, sebagai orang miskin harus tahu diri, kenapa tidak pakai Jamkesmas dan melahirkan di rumah sakit saja.
Ini malah di klinik kayak orang
berduit saja. Coba sadari itu, Man,” berondong bapak mertuanya seperti muntahan
peluru yang menembus jantungnya.
Dorman
sebentar membisu. dan akhirnya menimpali.
” Iya, Pak, mungkin lain kali.”
Dorman pun meninggalkan rumah mertuanya dengan
tangan hampa dan pikiran masih diselimuti kebingungan. Dari mana ia harus
mendapatkan uang? Tak ada uang simpanan, tak ada barang berharga yang dapat
dijual. Dalam hati yang gundah dan
pikiran bingung yang menggunung itu, muncul bisikan setan entah dari mana ke
hati Dorman. Malam itu juga ia akan merampok. Disusunnya rencana kilat untuk
berbuat jahat, yang penting ia bisa memperoleh uang cukup. Tadi pagi ia sempat
melihat ada warga baru di komplek dekat perkampungannya yang baru pindah.
Dorman melihat barang-barang dalam dus yang diangkut ke rumah itu termasuk
perabotan rumah tangga.
Hari masih siang ketika Dorman larut
memikirkan rencana kriminalnya di petak yang sempit itu. Sejak istrinya dibawa
ke klinik, anak sulungnya dititipkan pada mertuanya. Ia merebahkan badan di
ranjang reotnya. Pikiran dan hatinya sempat berkelahi menyangkut niat jahatnya.
Tapi, setan menjadi pemenang hingga Dorman sudah bulat untuk mewujudkan rencana
itu.
Keasyikan
Dorman yang sedang menyusun rencana jahat itu terusik dengan bunyi suara pintu rumahnya yang
diketuk-ketuk orang. Ia bangkit perlahan. Ia sudah hapal tamunya, lantaran
sambil mengetuk pintu, tamu itu memanggil-manggil pula namanya. Saat pintu
dibuka, Ade, temannya itu langsung
menyodorkan stiker.
” Pilih calon yang ini. Awas
jangan lupa. Aku tak lama. Masih ada urusan lain. Sudah, pamit dulu,” kata Ade.
Ditatapnya stiker berfoto dan bernomor itu.
Dorman jadi teringat di kotanya kini sedang ramai kampanye pemilihan kepala
daerah. Ade adalah kawan nongkrongnya di gardu ronda. Dorman tak tahu apa
pekerjaan Ade sebenarnya. Dalam musim pilkada seperti sekarang ini, Dorman
hanya mendengar, Ade dekat dengan tim sukses seorang calon kepala daerah. Kini,
Dorman kembali sibuk menyusun siasat perampokan yang akan dilakukannya malam
itu juga. Bahkan kini dirinya sudah menyiapkan peralatan yang akan dibawa untuk
aksinya itu.
Waktu bergulir menuju sore dan beranjak ke
pintu malam. Saat malam semakin menua
dimana orang-orang pada waktu seperti ini biasanya sudah terlelap diselimuti
mimpi, tampak sesosok bayangan dengan
langkah pelan menaiki pagar besi sebuah rumah. Dengan hati-hati, ia mengendap-endap
perlahan, tangannya menggenggam benda
mengkilat. Ya, lelaki itu adalah Dorman. Ia akan merampok rumah warga baru
komplek itu dengan mencongkel jendela.
Saat
Dorman akan melancarkan aksinya tiba-tiba dari balik jendela terdengar suara
tangisan. Suara tangis seorang bayi yang memecah keheningan malam. Langkah
Dorman tertahan mendengar suara itu. Benda mengkilat di tangannya terjatuh.
Tangis bayi itu sudah berhenti, tapi masih menggema di telinga Dorman. Tangis
mungil yang mengingatkannya pada anaknya di klinik bidan .
Tak berapa lama Dorman sudah berada di luar
rumah gedong itu. Langkahnya bergegas, hatinya bergemuruh. Tangis kecil itu
seperti mengejarnya. Sesampainya di rumah, Dorman cukup lama termenung
memikirkan kejadian tadi. Ia berusaha melupakannya dengan tidur, tapi lama
matanya baru bisa terpejam. Pagi, ia malas untuk bangun, tapi pikirannya
kembali teringat tentang biaya persalinan itu. Darimana uang itu harus
diperoleh? Dengan langkah berat diputuskannya untuk pergi ke ke klinik hari itu.
Dorman berusaha untuk jujur pada Bu Bidan
bahwa ia belum punya uang untuk melunasi biaya persalinan. Kalau bisa
biaya itu biar menjadi utang yang akan dibayarnya nanti.
Mendekati pintu masuk klinik, langkah Dorman pelan seperti memikul beban berat di tubuhnya.
Beban perasaan malu pada orang klinik dan istrinya. Tapi, bagaimana lagi? Toh,
kenyataannya seperti itu. Ia menuju pintu suatu kamar dan membukanya tanpa
mengetuk terlebih dulu. Dilihatnya Surti, istrinya sedang berbaring sambil
menyusui bayinya. Ia tersenyum begitu melihat Dorman.
“Duduk,
Kang,” kata Surti pelan.
Dorman langsung duduk
di sebuah kursi dekat ranjang.
“Maaf Sur, Akang belum berhasil dapat uang,”
katanya.
Surti hanya diam, wajahnya tetap tenang tak
menunjukkan kekhawatiran sedikit pun.
Surti terus terdiam seperti itu, membuat Dorman keheranan.
Pintu kamar ada yang mengetuk, ternyata Bu
Bidan yang datang.
“Oh, ada Pak Dorman. Jadi pulang
sekarang ya Pak,” ujarnya.
Bibir Dorman ingin berkata-kata, tapi
dilihatnya telunjuk Surti didekatkan ke bibirnya sebagai pertanda agar Dorman
diam. Bu Bidan sebentar memeriksa bayi.
" Tenang saja Bu,
bayinya sehat dan baik-baik saja. Permisi Pak Dorman."
Setelah Bu Bidan pergi, Dorman ingin bertanya tentang sikap
istrinya yang diam saja bahkan menyuruhnya tutup mulut itu, tapi Surti lebih duluan berkata.
“Kang Dorman jangan tersinggung ya.
Kemarin Kang Ade ke sini. Katanya ada calon walikota yang sedang berkampanye
simpatik. Ia bersedia membantu kesulitan kita dengan melunasi biaya melahirkan
anak kita. Surti senang saja dan menyetujuinya.
Kita orang nggak punya, lain kali bikin Jamkesmas
saja ya Kang,” tuturnya.
Dorman sempat terkejut mendengar penuturan
Surti, akhirnya ia hanya mampu menghela napas
sambil berbisik lirih mengucap
kata syukur. ***
(Pernah Diposting di Annida Online, 05 Oktober 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar