Entri yang Diunggulkan

Di Sebuah Ranah

Saya menamainya   ranah   atau wilayah dalam arti seluas-luasnya di mana kebenaran dipersoalkan. Kebenaran dari yang mempersoalkan adalah k...

Jumat, 03 Februari 2012

Setitik Cahaya

Cerpen


Setitik Cahaya
Oleh: Ari Hidayat

                Dorman bingung sebentar lagi istrinya yang melahirkan anak keduanya harus segera pulang dari klinik bidan, sedangkan ia tak punya uang untuk membayar biaya persalinan. Memang biayanya tidak terlalu mahal  hanya Rp 950 ribu. Tapi, bagi pekerja serabutan seperti dirinya uang sejumlah itu terbilang banyak. Jangankan buat biaya seperti itu, untuk makan sehari-hari dan biaya sekolah anak pertamanya yang di SMP saja terkadang kurang. Meskipun sekarang ada BOS untuk sekolah, namun tetap ada biaya-biaya yang harus dikeluarkan untuk sekolah, entah untuk seragam baru, buku-buku, study tour dan uang perpisahan.
            Sehari-hari Dorman menggantungkan hidup dengan pekerjaan tak tetap. Terkadang ada orang yang menyuruh mengecat rumah, membabat rumput di halaman, dan pekerjaan kasar lainnya yang tidak memerlukan keahlian khusus. Ia menyadari sebagai orang yang tak berpendidikan tinggi, minim keahlian dan modal sangat sulit untuk hidup layak pada zaman sekarang. Jadilah ia bertahun-tahun, berpuluh-puluh tahun terjebak dalam lingkaran kemiskinan. Sebagai orang miskin, Dorman bukannya tidak mau memanfaatkan kartu Jamkesmas atau SKTM untuk kesehatan. Dari cerita teman-temannya, kemudahan dari pemerintah untuk berobat itu tidak sepenuhnya menjamin, tetap tidak gratis 100 persen, harus ada biaya dikeluarkan untuk ongkos atau pengeluaran lain. Bahkan, di rumah sakit di kotanya tak ada lagi uang penggantian obat yang harus dibeli pasien yang tak tercakup dalam Jamkesmas.
             Jadilah ia orang yang kesulitan setiap berhadapan  dengan kebutuhan hidup yang membutuhkan biaya “mahal”. Kini, istri dan bayinya di klinik itu membutuhkan uang agar bisa pulang ke rumah sewaannya di sebuah perkampungan kumuh. Dengan terpaksa Dorman pun memutuskan mengadukan persoalan itu ke mertuanya. Meski hal itu berat dilakukan, sebab mertuanya juga bukan orang berada, hanya penjual bakso keliling. Siapa tahu bapak mertuanya bisa membantu,  paling tidak memberi jalan keluar bagi pikirannya yang buntu..
            Dorman melangkahkan kaki ke rumah mertuanya yang tinggal tak jauh dari rumah sewaannya. Seperti perkiraan sebelumnya, bapak mertuanya pun tak bisa membatunya.
             “Bapak lagi tak punya uang. Man, kamu itu harus sadar, sebagai orang miskin harus tahu diri, kenapa tidak pakai  Jamkesmas dan melahirkan di rumah sakit saja. Ini malah di klinik kayak orang berduit saja. Coba sadari itu, Man,” berondong bapak mertuanya seperti muntahan peluru yang menembus jantungnya.
           Dorman sebentar membisu. dan akhirnya menimpali.
            ” Iya, Pak, mungkin lain kali.”
            Dorman pun meninggalkan rumah mertuanya dengan tangan hampa dan pikiran masih diselimuti kebingungan. Dari mana ia harus mendapatkan uang? Tak ada uang simpanan, tak ada barang berharga yang dapat dijual.  Dalam hati yang gundah dan pikiran bingung yang menggunung itu, muncul bisikan setan entah dari mana ke hati Dorman. Malam itu juga ia akan merampok. Disusunnya rencana kilat untuk berbuat jahat, yang penting ia bisa memperoleh uang cukup. Tadi pagi ia sempat melihat ada warga baru di komplek dekat perkampungannya yang baru pindah. Dorman melihat barang-barang dalam dus yang diangkut ke rumah itu termasuk perabotan rumah tangga.
            Hari masih siang ketika Dorman larut memikirkan rencana kriminalnya di petak yang sempit itu. Sejak istrinya dibawa ke klinik, anak sulungnya dititipkan pada mertuanya. Ia merebahkan badan di ranjang reotnya. Pikiran dan hatinya sempat berkelahi menyangkut niat jahatnya. Tapi, setan menjadi pemenang hingga Dorman sudah bulat untuk mewujudkan rencana itu.
            Keasyikan Dorman yang sedang menyusun rencana jahat itu  terusik dengan bunyi suara pintu rumahnya yang diketuk-ketuk orang. Ia bangkit perlahan. Ia sudah hapal tamunya, lantaran sambil mengetuk pintu, tamu itu memanggil-manggil pula namanya. Saat pintu dibuka,  Ade, temannya itu langsung menyodorkan stiker.
             ” Pilih calon yang ini. Awas jangan lupa. Aku tak lama. Masih ada urusan lain. Sudah, pamit dulu,” kata Ade.
             Ditatapnya stiker berfoto dan bernomor itu. Dorman jadi teringat di kotanya kini sedang ramai kampanye pemilihan kepala daerah. Ade adalah kawan nongkrongnya di gardu ronda. Dorman tak tahu apa pekerjaan Ade sebenarnya. Dalam musim pilkada seperti sekarang ini, Dorman hanya mendengar, Ade dekat dengan tim sukses seorang calon kepala daerah. Kini, Dorman kembali sibuk menyusun siasat perampokan yang akan dilakukannya malam itu juga. Bahkan kini dirinya sudah menyiapkan peralatan yang akan dibawa untuk aksinya itu.
            Waktu bergulir menuju sore dan beranjak ke pintu malam. Saat malam semakin  menua dimana orang-orang pada waktu seperti ini biasanya sudah terlelap diselimuti mimpi,  tampak sesosok bayangan dengan langkah pelan menaiki pagar besi sebuah rumah. Dengan hati-hati, ia mengendap-endap perlahan,  tangannya menggenggam benda mengkilat. Ya, lelaki itu adalah Dorman. Ia akan merampok rumah warga baru komplek itu dengan mencongkel jendela.
           Saat Dorman akan melancarkan aksinya tiba-tiba dari balik jendela terdengar suara tangisan. Suara tangis seorang bayi yang memecah keheningan malam. Langkah Dorman tertahan mendengar suara itu. Benda mengkilat di tangannya terjatuh. Tangis bayi itu sudah berhenti, tapi masih menggema di telinga Dorman. Tangis mungil yang mengingatkannya pada anaknya di klinik bidan .
            Tak berapa lama Dorman sudah berada di luar rumah gedong itu. Langkahnya bergegas, hatinya bergemuruh. Tangis kecil itu seperti mengejarnya. Sesampainya di rumah, Dorman cukup lama termenung memikirkan kejadian tadi. Ia berusaha melupakannya dengan tidur, tapi lama matanya baru bisa terpejam. Pagi, ia malas untuk bangun, tapi pikirannya kembali teringat tentang biaya persalinan itu. Darimana uang itu harus diperoleh? Dengan langkah berat diputuskannya untuk pergi ke ke klinik hari itu. Dorman berusaha untuk jujur pada Bu Bidan  bahwa ia belum punya uang untuk melunasi biaya persalinan. Kalau bisa biaya itu biar menjadi utang yang akan dibayarnya nanti.
            Mendekati pintu masuk klinik, langkah Dorman pelan  seperti memikul beban berat di tubuhnya. Beban perasaan malu pada orang klinik dan istrinya. Tapi, bagaimana lagi? Toh, kenyataannya seperti itu. Ia menuju pintu suatu kamar dan membukanya tanpa mengetuk terlebih dulu. Dilihatnya Surti, istrinya sedang berbaring sambil menyusui bayinya. Ia tersenyum begitu melihat Dorman.
           “Duduk, Kang,” kata Surti pelan.      
            Dorman langsung duduk di sebuah kursi dekat ranjang.
           “Maaf Sur, Akang belum berhasil dapat uang,” katanya.
          Surti hanya diam, wajahnya tetap tenang tak menunjukkan  kekhawatiran sedikit pun. Surti terus terdiam seperti itu, membuat Dorman keheranan.
            Pintu kamar ada yang mengetuk, ternyata Bu Bidan yang datang.
           “Oh, ada Pak Dorman. Jadi pulang sekarang ya Pak,” ujarnya.
           Bibir Dorman ingin berkata-kata, tapi dilihatnya telunjuk Surti didekatkan ke bibirnya sebagai pertanda agar Dorman diam. Bu Bidan sebentar memeriksa bayi.                             
          " Tenang saja Bu, bayinya sehat dan baik-baik saja. Permisi Pak Dorman."
           Setelah Bu Bidan  pergi, Dorman ingin bertanya tentang sikap istrinya yang diam saja bahkan menyuruhnya tutup mulut itu,  tapi Surti lebih duluan berkata.
            “Kang Dorman jangan tersinggung ya. Kemarin Kang Ade ke sini. Katanya ada calon walikota yang sedang berkampanye simpatik. Ia bersedia membantu kesulitan kita dengan melunasi biaya melahirkan anak kita. Surti senang saja dan menyetujuinya.
 Kita orang nggak punya, lain kali bikin Jamkesmas saja ya Kang,” tuturnya.
           Dorman sempat terkejut mendengar penuturan Surti, akhirnya ia hanya mampu menghela napas  sambil berbisik lirih mengucap  kata syukur. ***

(Pernah Diposting di Annida Online, 05 Oktober 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar