Entri yang Diunggulkan

Di Sebuah Ranah

Saya menamainya   ranah   atau wilayah dalam arti seluas-luasnya di mana kebenaran dipersoalkan. Kebenaran dari yang mempersoalkan adalah k...

Rabu, 26 September 2012


Aku yang Lagi Pacaran
Ya Tuhan, beri aku waktu
Untuk cinta ini setelah kuberduka sebelumnya
Kerna cinta itu
Ya Tuhan, beritahu dia tentang rasa ini
Selalu bergemuruh dalam hati
Kerna bahagia cinta,

Mengoleksi Lagu
Menikmati Adele dengan Someone Like You-nya
Menonton Chrstina Terri lewat A Thousand Year-nya
Di radio-radio England


Di Ruang Konsultasi ( 1)
Kayaknya saya ini jatuh cinta
Sama cewek  belum kukenal
Kok bisa ya Dok?

Di Ruang Konsultasi (2)
Maaf dokter boleh saya bertanya
Menurut dokter apakah orang
Seperti saya ini mampu menikah lagi?
“Emang sudah ada calonnya gitu Ari,” kata
Wanita dokter yang cantik itu

Di Ruang Konsultasi Tilu
Maaf Pak kalau menurut pendapat apa
Kira-kira apakah saya dapat menikah lagi?
“Ya,mudah-mudahan saja. Tapi kamunya juga
mesti usaha, mencari dia,” katanya

Senin, 24 September 2012

Kepada Kawan


         
            Cukup sudah kau eja masa lalumu beserta sekalian
            daun-daun pahit kehidupan yang kau kunyah,
            boleh jadi obat buatmu. Dan jalan-jalan berbatu
            beserta kabut menghadang yang boleh jadi kau retas
            dan dedah tanpa kau sadari.  Tak perlu kau mabuk
            dalam sesal lalu.  Kau punya mampu, berbuatlah
            sesuatu
                                                                                 2011
                 

Senin, 17 September 2012


Valentine dan Budaya Permisif


Oleh: Ari Hidayat


         Setiap tanggal 14 Februari sebagian warga dunia termasuk Indonesia biasa merayakan hari kasih sayang, yang disebut Valentine Day. Khusus untuk di Indonesia, nampaknya ada gejala kurang baik menyangkut perayaan itu. Ada budaya impor (Barat) yang begitu  saja diadopsi (diambil) tanpa memperhatikan relevansinya. Boleh dibilang, ada fenomena budaya permisif (serba boleh), latah (ikut-ikutan) dan salah kaprah dalam masyarakat kita.    Betapa tidak, sebenarnya bila kita mengetahui sejarah perayaan valentine, sesungguhnya lebih dekat dengan budaya barat. Tapi, kenapa banyak anak baru gede (ABG),  remaja dan bahkan orangtua kita yang ikut-ikutan merayakan hari kasih sayang itu.
        Perayaan valentine oleh masyarakat kita menunjukkan adanya paradoxial culture (budaya paradoksal atau bertentangan). Menurut Patricia Abudience dan John Naisbitt (keduanya futurolog Barat), budaya paradoksal tidak hanya melanda Indonesia tapi sudah menjadi gejala umum. Tak jarang, masyarakat kita pun nampaknya mengalami guncangan atau gegar budaya (culture shock) di negerinya sendiri menghadapi gencaran budaya Barat yang cukup pesat.
         Terhadap fenomena perayaan valentine oleh masyarakat kita , sempat menimbulkan kontra dari sejumlah kalangan. Misalnya Minggu (10/2) kemarin, Hizbut Tahrir Kab. Sumedang menolak perayaan valentine di daerahnya. Pasalnya, perayaan hari kasih sayang itu bukan merupakan budaya kita bahkan suka menimbulkan ekses negatif, seperti perilaku free sex atau seks bebas di kalangan generasi muda. Bahkan Hizbut Tahrir menuntut agar perayaan valentine ditiadakan di bumi pertiwi ini (Pikiran Rakyat, 11/2).
         Persoalannya   apakah perayaan hari kasih sayang itu yang di Tasik sendiri biasanya mulai  ( oleh sejumlah supermarket dan ) perlu dilestarikan sebagai budaya bangsa? Untuk menjawabnya tentu diperlukan penelitian lebih jauh dan mendalam. Namun demikian, di Bandung Lembaga Telaah Agama dan Masyarakat (eL-TAM) sempat mengadakan jajak pendapat kepada siswa sebuah sekolah. Yang menarik, sebanyak 36, 2 persen responden menjawab valentine perlu dilestarikan. Sisanya, sebanyak 63,8 persen menjawab tidak setuju jika valentine dilestarikan sebagai tradisi bangsa (Pikiran Rakyat,  2 Februari 2005).
 
 Sejarah “valentine”
         Ada cukup banyak referensi (media informasi) mengenai historis (sejarah) valentine. Sejumlah referensi  menunjukkan bahwa perayaan hari kasih sayang itu berasal dari suatu festival bangsa Roma (Italia) kuno. Kala itu disebut Lupercalis. Mulanya, perayaan ini, diadakan pada 15 Februari untuk memuja Dewa Lupercus (Dewa pelindung tanaman obat dan hasil bumi).    Setelah bangsa Roma menjadi Kristen, para rohaniawan menggeser satu hari ke belakang dan menggunakan tanggal 14 Februari sebagai hari kasih sayang. Mengapa digeser ke 14 Februari dan mengapa pula namanya diubah dari Lupercalis menjadi valentine? Perubahan ini, untuk memperingati matinya dua Santo (orang suci) yang namanya sama yakni,  Valentino. Kedua santo yang juga sebagai rohaniwan Kristen itu, melanggar aturan Kaisar Claudius II.
           Menurut kaisar, bala tentaranya akan makin besar dan kuat jika orang-orang tidak menikah. Dengan demikian, keluarlah aturan bagi kaum lelaki yang menjadi tentara untuk tidak menikah dan tidak tinggal bersama keluarga. Kedua Valentino itu,  melanggar aturan kaisar dengan menikahi perempuan pilihan mereka. Sehingga, kaisar menghukum mati mereka pada 14 Februari tahun 270 M. Sehingga sampai sekarang tanggal itulah yang diperingati sebagai hari kasih sayang.
          Berdasarkan sejarahnya peristiwa itu tidak dapat dipungkiri mengandung nilai-nilai kemanusiaan yang luhur. Namun, sekali lagi itu lebih dekat dengan budaya Barat dan umat Kristen. Karena itu, kenapa masyarakat kita mesti memperingatinya? Bahkan, sekarang ini,  di Barat sendiri ada gejala yang mengkhawatirkan menyangkut perayaan hari kasih sayang itu. Tak jarang kemurnian perayaan dinodai oleh perbuatan-perbuatan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai agama, misalnya sepasang kekasih merayakannya dengan saling berciuman, seks bebas, dansa semalam suntuk pesta minuman keras dan narkotika dan obat-obat terlarang (narkoba).
            Bagaimana dengan di negara kita? Saya belum punya data banyak, sehingga belum berani banyak untuk berkomentar. Meski begitu, bagi yang merayakan valentine di tanah air termasuk di Tasik, sudah sepatutnya kita belajar dari gejala buruk di Barat seperti dituliskan di atas. Sebenarnya, kasih sayang itu bersifat universal tidak hanya diidentikkan dengan kehidupan sepasang kekasih saja. Bukankah ada kasih sayang kita kepada Tuhan, kepada orangtua, dan kepada sesama.
            Dengan demikian, bagi kita mengenai hari kasih sayang itu cukup sebagai pengetahuan sejarah saja. Kita tak perlu latah untuk ikut-ikutan merayakannya, apalagi jiga diwarnai dengan perbuatan-perbuatan menyimpang tadi. Sehingga, sudah seharusnya kita terutama para ABG dan remaja yang sedang dalam masa peralihan perlu sadar dan menanamkan sikap kritis terhadap pengaruh budaya Barat itu. Selain itu, kita pun harus memiliki sikap yang selektif (memilih) terhadap budaya di luar kebudayaan kita (ah)***

Kamis, 13 September 2012

TV Digital





                              Oleh: Drs. Ari Hidayat

            Perkembangan televisi (TV) di Indonesia cukup menarik diperhatikan. Berawal dari kelahiran TVRI, 1962,  sebagai televisi pemerintah. Sebagai televisi negara, berarti TVRI milik publik. Televisi pemerintah ini sempat menayangkan iklan-iklan komersial, namun kemudian menuai kritik sehingga dihentikan. Bagaimanapun, sebagai TV publik TVRI membawa misi yang terlepas dari kepentingan komersial (profit oriented). TVRI lebih banyak mengemban tanggung jawab sosial kepada publik. Televisi pemerintah yang bertahan hingga kini ini sejatinya menyiarkan program-program demi kepentingan masyarakat (publik). Meskipun semula TVRI sempat dikritik sebagai “corong” pemerintah semata.
           Pada penghujung 1980, muncul TV swasta atas dorongan pemodal dan pebisnis agar bisa turut mendirikan stasiun TV. Dorongan ini muncul akibat fenomena perkembangan industri dan perdagangan internasional kala itu. Sehingga, 1988 muncullah RCTI dengan memakai dekoder yang beroperasi lokal di Jakarta dan 1989, berdiri SCTV di Surabaya, Jatim. Pemakaian dekoder (alat penerima signal TV) hanya berlangsung setahun, lalu kedua TV itu siaran secara nasional dengan memakai antena UHF sebagai penerima signal-nya.
           Tahun 1991, TPI lahir diikuti dengan cukup membanjirnya industri-industri televisi swasta lainnya seperti Indosiar, antv, dsb. Hingga kini tercatat ada 11 stasiun TV swasta nasional yang on air (mengudara). Seiring dengan kebijakan otonomi daerah, bermunculan pula TV-TV lokal. Kelahiran televisi lokal ini untuk mendorong keberagaman kepemilikan dan program (isi) dunia pertelevisian. Beberapa tahun lalu pemerintah mengeluarkan kebijakan penyiaran yang sempat menjadi kontroversi yakni PP tentang Penyiaran. Akhirnya, disepakati pada tanggal 28 Desember 2009 tidak dikenal lagi istilah televisi nasional, tapi TV lokal dan TV lokal berjaringan. Misalnya. RCTI hanya siaran lokal di Jakarta. Mungkin saja terjadi akuisisi (penggabungan/kemitraan) antara TV Jakarta dengan TV lokal berjaringan.
            Tren akuisisi di Indonesia sudah terjadi seperti terbentuknya Media Nusantara Nusantara (MNC ) yang menghimpun 3 stasiun TV yakni RCTI, TPI, dan Global TV, Sebenarnya tidak hanya di Indonesia di negara maju seperti AS sendiri, dari ratusan TV yang siaran tergabung dalam 5 pemilik perusahaan. Demikian pula dengan Eropa. Walaupun kini sudah terjadi leberalisasi ekonomi, namun pemerintah pun tidak bisa lepas tangan dalam kebijakan penyiaran. Nampaknya, di kita tetap saja pemerintah sebagai kata kunci untuk kebijakan-kebijakan publik termasuk dalam penyiaran.
            Terakhir pemerintah mengeluarkan kebijakan bertahap untuk mengubah sistem analog TV kita (sebut saja seperti TPI, SCTV, RCTI, Indosiar dsb) menjadi digital. Salah satu alasannya agar gambar TV di layar kaca lebih jelas tertangkap di samping alasan-alasan lainnya. Menurut anggota Komisi Penyiaran  Indonesia Daerah (KPID) Jabar, MZ Al-Faqih dalam sebuah tulisannya, badan hukum TV analog penyelenggara penyiaran menyediakan infrastruktur sekaligus content-nya, sedangkan TV digital terjadi pemisahan antara network provider (penyedia infrastruktur) dan content provider (penyedia isi/program siaran).
           Konkretnya, TV-TV analog seperti sekarang dalam siarannya harus menyiapkan infrastruktur, seperti stasiun pemancar, peralatan transmisi, dan berbagai komponen pendukungnya. Selain itu, TV-TV analog itu pun harus mengelola secara mandiri segala program yang akan disiarkan. Sedangkan, di TV digital penyedia content tak perlu repot-repot menyiapkan infrastruktur dalam penyebarluasan isi siaran. Kelebihan TV digital dibandingkan dengan TV analog adalah gambar yang dihasilkan lebih bagus (tidak renyek). Gambar renyek muncul bila antena TV tidak pas posisinya ke pemancar TV. Karena itu, meskipun dalam keadaan bergerak (seperti di kendaraan) gambar yang dihasilkan TV digital tetap bagus. Kelebihan lainnya yaitu, satu kanal (saluran) TV digital bisa diisi oleh lebih dari tiga penyedia content. Sehingga teknologi ini akan menyemarakkan pertumbuhan industri pertelevisian di kita.



           Sayangnya, masyarakat sebagai konsumen TV belum bisa bergembira sebab untuk menerima siaran TV digital diperlukan perangkat pengolah data transmisi yang disebut Set Top Box (STB). Di Indonesia perangkat ini belum dipasarkan. Pemerintah kini sedang menyiapkan persiapan peralihan teknologi ini secara bertahap. Uji coba pun sudah dilakukan di wilayah layanan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Program peluncuran siaran ini pun diresmikan Wapres, Jusuf Kalla pada 13 Agustus 2008 di Auditorium Lembaga Penyiaran Publik TVRI (ah)

Senin, 10 September 2012




.
Jamkesmas Tak Sepenuhnya Menjamin

.

Oleh: Ari Hidayat

        Suatu saat kita berada di kerajaan sehat, pada waktu lain tiba di kerajaan sakit. Saat sakit kita merasakan betapa nikmatnya hidup sehat dan betapa merananya sakit. Kesehatan memang sangat penting. Tanpa kondisi badan dan jiwa yang sehat, segala aktivitas kita seperti bekerja, belajar, beribadah dll akan terhambat. Kerajaan sakit bisa menimpa siapa saja, tua maupun muda , yang kaya atau miskin. Bagi orang kaya, sakit mungkin tidak begitu merepotkan, Ia dapat dengan mudah berobat tanpa ambil pusing dengan biaya. Bahkan untuk berobat keluar negeri sekalipun. Namun bagi si miskin, sakit akan membuat masalah menjadi berdobel-dobel terutama dari segi biaya pengobatan. Jangankan untuk pergi ke dokter dan rumah sakit (RS), untuk makan sehari-hari saja ada di antara kita yang masih kesulitan. Karena itu mereka perlu dijamin kesehatannya oleh pemerintah.
        Model penjaminan kesehatan bagi penduduk miskin di Indonesia sudah dimulai sejak 1980 dengan nama Dana Sehat. Sepuluh tahun kemudian namanya diubah menjadi Jaminan Pemeliharan Kesehatan Masyarakat (JPKM). Sebelumnya RS mempunyai kebijakan bagi warga miskin untuk bebas biaya perawatan asal membawa Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) dari RT, RW, kelurahan dan kecamatan setempat. Menurut Guru Besar Universitas Indonesia (UI), Depok, Prof DR Hasbullah Thabrany, JPKM dinilai gagal karena program ini mengadopsi  sistem asuransi komersial di Amerika Serikat (AS) sehingga tidak cocok diterapkan di kita. Setelah krisis multidimensi di Indonesia, JPKM diubah menjadi Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan kemudian pada tahun 2005 menjadi Asuransi Kesehatan Keluarga Miskin (Askeskin) dan  terakhir menjadi Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas).
       Sebagai komparasi (perbandingan) sejak  setengah abad lampau di Srilanka dan Malaysia yang kondisi ekonominya lebih buruk dari Indonesia ketika itu, rakyat tak kesulitan memikirkan biaya pengobatan, semuanya ditanggung pemerintah. Begitu pula di Muangthai (sekarang Thailand) yang tak lebih buruk dari Indonesia dan Malaysia yang telat merdekanya 12 tahun dari Indonesia rakyat tak ambil pusing dengan biaya pengobatan karena dijamin pemerintah. Di lain pihak,  data Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) menunjukkan lebih dari 100 juta orang setiap tahunnya jatuh miskin karena tidak mampu membayar biaya pengobatan lantaran sakit, kecuali di AS.
        Jadi, orang kaya pun sebenarnya bisa jatuh miskin jika sakit parah dan kronis (menahun). Kekayaannya habis untuk biaya pengobatan dan perawatan. Sebab, sudah naluri manusia kalau sakit ia berusaha sekuat tenaga untuk bisa sembuh. Betapa mahalnya hidup sehat itu, bisa dirasakan oleh mereka. Sehingga, kelompok orang demikian pun perlu mendapat jaminan kesehatan (Jamkesmas) dari pemerintah. Sudah seyogianya pihak berkompeten termasuk RT dan RW proaktif mendata warganya yang tadinya dinilai kaya (mampu) mendadak menjadi miskin karena sakit. Sehingga mereka bisa menerima Jamkesmas.

Bukan Jaminan
         Dalam konteks miskin dan kemiskinan secara ekonomi ini, ada anggapan keliru dari sebagian warga masyarakat kita, baik si miskin itu sendiri, maupun orang mampu. Si miskin kerap merasa malu bahwa dirinya mendapat stigma (cap) miskin di masyarakat. Sebaliknya, tidak sedikit orang berada yang menilai miskin itu sebagai aib. Orang miskin berada pada strata rendah di masyakarat, sehingga jangankan untuk menyantuni kaum papa, buat berinteraksi dengan orang miskin pun mereka enggan. Paradigma (kerangka berpikir) inilah yang perlu diubah kedua belah pihak.
         Kemiskinan bukanlah suatu cela. Rasulullah Muhammad saw sendiri tidak takut umatnya jatuh miskin di kelak kemudian hari. Yang beliau risaukan bila umatnya berlomba-lomba mengejar kemewahan duniawi, tanpa memerhatikan mana yang halal dan haram, yang baik dan buruk, serta yang sesuai dengan hukum atau melanggarnya. Orang seperti ini menganggap kemewahan duniawi dan berlimpahnya harta akan mengekalkan mereka. Meski begitu menjadi orang miskin tentu tidak terlalu menyenangkan. Apalagi hidup melarat dan serbakekurangan Tidak ada satu ajaran pun yang mengajarkan atau membolehkan umatnya dengan sengaja ke kemelaratan.
         Karena itu, orang miskin wajib meningkatkan derajat ekonominya menjadi sejahtera, syukur-syukur kaya. Jika belum juga kesampaian, bersabar dan bertawakallah. Yang penting doa sudah diperbanyak dan usaha dimaksimalkan. Nikmati saja yang ada, toh kita masih bisa makan dan minum serta tidur dengan nyenyak.  Memang bagi warga miskin sakit lebih tidak nyaman dan masalahnya menjadi berlipat-lipat ketimbang orang kaya yang sakit,  lantaran menyangkut biaya pengobatan apalagi kalau sakitnya parah dan kronis.  Memang pemerintah sudah membebaskan biaya berobat ke Puskesmas, tapi bila pengobatannya harus dirujuk ke RS bahkan RS Provinsi, ini yang kian menambah susah si miskin.
        Jamkesmas saja terkadang tidak cukup. Sebagai contoh, seorang peserta Jamkesmas berobat di suatu RS, ia diberi resep oleh dokter dan pergi ke apotek RS untuk menukarkannya dengan obat. Ia terkejut ketika petugas apotek mengatakan bahwa obat itu tidak tersedia di sana dan harus dibeli di apotek luar. Ketika ditanyakan ke apotek di luar RS,  resep itu harus dibayar ratusan ribu rupiah. Si peserta Jamkesmas yang bekerja sebagai penarik becak itu tak membeli obat. Akhirnya, ia pun kapok berobat dengan Jamkesmas. Memang kabarnya, jika kasusnya seperti ini peserta Jamkesmas membayar dulu dan bisa mengklaim PT Askes untuk menggantinya. Namun, dia memakai Jamkesmas itu karena kesulitan uang. Bagaimana dia harus membayar obat dulu ke apotek?
         Di Depok belum lama ini. Ada bayi Rizki yang tidak mempunyai anus dan harus dirawat di suatu RS. Ia tak bisa dibawa pulang karena harus membayar Rp 62 juta, RS meminta Pemerintah Daerah (Pemdalah) yang harus membayar. Jika orangtua Rizki tergolong tak mampu dan belum memiliki Jamkesmas kenapa tidak ada kebijakan dari RS untuk meminta orangtua Rizki membuat Jamkesmas sementara (SKTM) toh nanti akhirnya PT Askes sendiri yang akan membayarnya dari dana konpensasi kenaikan BBM. Toh, RS tidak akan bangkrut dengan menunda sambil menunggu dana cair dari PT Askes, bukankah begitu prosedurnya? Akhirnya terkumpul Rp 40 juta dari donatur dan sisanya dibayar Pemda Depok.
        Sehingga, Jamkesmas itu sendiri bukan suatu jaminan bahwa bagi si miskin berobat dan perawatan di RS akan serbagratis dan mudah. Memang penyalahgunaan Askeskin baik oleh PT Askes, RS, atau pesertanya tidak terbukti, namun perlakuan tidak menyenangkan, membingungkan, dan diskriminatif kerap dikeluhkan oleh peserta Jamkesmas. Yang tak kalah penting dokter perlu aktif menanyakan pasien (karena umumnya peserta Jamkesmas berpendidikan minim) apakah dia peserta Jamkesmas atau bukan, sehingga ia dapat menyesuaikan tindakan medis yang akan diambilnya, Yang lebih ideal adalah si pasien yang proaktif mengingatkan dokter bahwa dirinya adalah peserta Jamkesmas dan memohon pengobatannya disesuaikan. Semoga ke depan perlindungan kesehatan untuk warga miskin menjadi lebih baik, tidak terlalu birokratis (penyederhanaan), merata, dan tepat sasaran.***
                                    Penulis adalah, penulis lepas. Tinggal di Kota Tasikmalaya.

Ari Hidayat, sarjana kimia FPMIPA IKIP Bandung dan alumnus pendidikan wartawan profesional, LP3Y, Yogya (beasiswa surat kabar Suara Pembaruan). Pernah bekerja sebagai jurnalis (wartawan) di sejumlah media nasional dan daerah. Terakhir bekerja sebagai wartawan Priangan (Grup Pikiran Rakyat) di Tasikmalaya. Kini sebagai penulis lepas.  

Rabu, 05 September 2012

Seniman dan Birokrasi


  
Oleh: Ari Hidayat
           Semasa Orde Baru (Orba), seorang pemain sinetron terkenal sempat merasa kesal. Pasalnya, saat dia membuat Kartu Tanda Penduduk (KTP), mencantumkan pemain sinetron  sebagai pekerjaannya dalam Formulir Permohonan Kartu Tanda Penduduk (FPKTP). Profesi itu, dipersoalkan petugas pembuat KTP lantaran, pemain sinetron termasuk seniman bukanlah suatu profesi. Akhirnya, pemain sinetron itu pun mencantumkan jenis pekerjaan lain dalam formulir itu.
           Ketika reformasi belum bergulir, sebenarnya bukan hanya pemain sinteron, sejumlah seniman pun sempat mengalami pengalaman serupa. Ini menunjukkan pekerjaan di bidang seni masih dipandang sebelah mata oleh birokrasi saat itu. Kesenian masih dipandang sebagai pekerjaan yang nonekonomis (tidak menguntungkan). Namun, di era reformasi ada fenomena yang menggembirakan. Dalam daftar isian pekerjaan (profesi) di FPKTP seperti di Kota Tasikmalaya ini terdapat pilihan profesi seniman. Bahkan, tak tanggung-tanggung tersedia 88 jenis pekerjaan yang bisa dicantumkan dalam KTP, termasuk profesi seniman.
          Meskipun sastrawan Inggris, William Shakespeare, pernah bilang what is a name, the more important is a content (apalah arti sebuah nama, yang penting isi), namun nama bagi saya penting juga. Dalam tradisi Islam, memberikan nama kepada anak yang baru lahir dianjurkan dengan nama yang baik. Dalam masyarakat Sunda ada tradisi ngabubur bodas jeung beureum saat anak diberi nama. Pengakuan atas sebuah nama termasuk kelompok profesi dan organisasi juga penting.
            Mungkin tidak sedikit seniman yang sependapat dengan Shakespeare, apalah arti nama seniman, jika ia tidak mampu bekerja (berkarya) secara baik dan profesional. Yang penting, dia berkarya dan berkarya. Syukur-syukur bisa menghasilkan karya seni yang mendunia. Dan yang lebih penting, karyanya bisa memperluas cakrawala manusia dalam hidup dan kehidupan. Karyanya dapat memperkaya rongga-rongga batin seseorang. Namun demikian, pengakuan birokrasi terhadap profesi seniman, setidaknya akan memperkukuh kepercayaan akan keberadaan profesi itu. Bukan untuk gagah-gagahan atau riya (pamer).

Siapakah Seniman?
             Sebenarnya siapakah seniman itu? Tentu saja, dia adalah insan yang bekerja (berkarya) di bidang seni secara berkesinambungan dan profesional. Ragamnya bisa seni sastra, rupa, tari,  musik, dan drama. Sejatinya dia mengabdikan sebagian besar waktunya untuk berkesenian. Dalam kenyataan kini, walaupun birokrasi sudah mengakui seniman sebagai suatu profesi, tapi mereka kurang mendukung aktivitas-aktivitas berkesenian. Alasan birokrasi bersifat klasik, yakni minimnya dana untuk kegiatan itu. Memang di negara kita, sistem pengayoman terhadap kepentingan seniman masih kurang.
               Dengan demikian, seniman harus berkompromi dengan keadaan agar harmoni hidupnya tetap terjaga. Seniman pun ada yang terpaksa bekerja rangkap sebagai pedagang, guru, dosen, wartawan dsb. Ini dilakukan karena karya seni terutama sastra belum bisa menopang kebutuhan hidup sehari-hari. Seniman juga sama dengan orang lain, dia butuh dana untuk, bayar sewa rumah, transportasi, biaya kesehatan, uang sekolah anaknya, dsb. Karya seni masih dianggap kurang laku seperti pisang goreng, komputer, dan alat telekomunikasi. Sehingga mereka memilih kerja rangkap. Padahal, karya seni tidak kurang penting dari benda-benda fisik tadi. Sebab, karya seni memperkaya batin kita. Dia pun bisa mengisi rongga-rongga jiwa kita, sehingga muncul kesadaran baru, pencerahan, memperhalus budi, dan menggetarkan jiwa kita.
                    Seyogianya, bentuk pengakuan pemerintah terhadap seniman seperti di atas, akan lebih mengintenskan perhatian birokrasi kepada insan yang bekerja di bidang seni itu. Perhatian yang utama menyangkut dukungan dana bagi kegiatan kesenian. Berkesenian adalah berkebudayaan. Dan berkebudayaan menyangkut manusia. Karena menyangkut manusia, seharusnya perhatian pemerintah pun lebih besar terhadap seniman. Sebaliknya, kalangan seniman juga dituntut untuk lebih mengenali politik birokrasi, khususnya tentang pencarian dana dari pemerintah.  Janganlah terlalu apriori menganggap pemerintah tak mampu mengurus kesenian.
                     Salah satu peluang yang dapat dikembangkan sebagaimana diungkapkan penyair Acep Zamzam Noor, yakni seniman pun harus tanggap terhadap persoalan-persoalan lingkungan hidup. Sehingga, para seniman dapat bekerja sama dengan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan dan juga Pemerintah Daerah (Pemda). Isu-isu seputar lingkungan hidup pun bisa menjadi tema bagi seniman. Sebagai contoh, pemanasan global, lunturnya kearifan untuk memanfaatka kekayaan alam secara seimbang, meningkatnya polusi, hilangnya ruang hijau terbuka di perkotaan dsb.
               Memang sebenarrnya, tanpa dana dari pemerintah kegiatan kesenian tetap bisa jalan. Misalnya, sejumlah seniman daerah mampu berkesenian dengan biaya dari perusahaan swasta seperti yang berlangsung di Sumatra Barat dan Sulawesi. Namun, alangkah lebih indah dan ideal, jika keterlibatan pemerintah tidak dinafikan. Syukur-sykur pemerintah bisa mengalokasikan dana yang memadai bagi kesenian. Sehingga keluhan-keluhan beberapa seniman, tentang minimnya dukungan dana pemerintah untuk kegiatan kesenian tidak terdengar lagi. Semoga saja.

                                   Penulis, penikmat seni, selain menulis esai, juga puisi dan cerpen


  

                                

Sabtu, 01 September 2012

Kemarau di Dunia Sains Murni


Oleh: Ari Hidayat

         Matematika dan ilmu pengetahuan alam (IPA) atau ilmu alam dasar masih dianggap pelajaran menakutkan oleh siswa. Sehingga minat siswa masuk fakultas  Metematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) sangat rendah. Dikabarkan sejumlah perguruan tinggi menutup Fakultas MIPA. Penutupan terjadi pada satu atau lebih program studi  MIPA. Penutupan pun dilakukan mengingat minat siswa SMA untuk melanjutkan studi ke FMIPA terus menyusut dari tahun ke tahun.
          Sekadar ilustrasi, tahun 2007 kemarin mahasiswa jurusan Fisika dan Matematika Universitas Nasional (Unas) Jakarta kurang dari 100. Sejumlah Perguruan Tinggi Negeri (PTN) juga mengalami kasus serupa. Namun, demikian tidak separah yang terjadi di Perguruan Tinggi Swasta. Setidaknya,di sejumlah PTN ilmu-ilmu murni masih diminati calon mahasiswa (Republika,2007).
          Kasus ini menimbulkan pertanyaan besar. Apakah ilmu alam dasar masih dianggap  sebagai “harimau” yang menakutkan?. Atau siswa mulai kritis mempertanyakan fungsi praktis dari ilmu-ilmu dasar itu. Untuk apakah sebenarnya belajar matematika murni? Fisika murni untuk apa dipelajari? Seperti filsafat, matematika dan fisika dasar (murni) terkadang kurang dirasakan manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari? Tapi, jika kita menganggap ilmu-ilmu murni itu tidak ada faedahnya, maka sama dengan menaifkan  aktivitas manusia itu sendiri.
         Menurut sastrawan dan budayawan, Goenawan Mohamad dalam sebuah tulisannya,, terkadang dalam hidup ini kita suka belajar sesuatu yang dianggap tidak berarti, namun ternyata membuat hidup itu sendiri lebih berarti. Paling tidak, kita menghargai sesuatu dalam kehidupan ini, di luar dunia yang fungsional. Seperti belajar filsafat dan ilmu alam murni. Padahal sesungguhnya ilmu-ilmu dasar itu sangat berguna dan memberikan kontribusi signifikan terhadap ilmu-ilmu terapan seperti komputer adalah hasil sinergi dari matematika dan fisika. Ilmu dasar pun diperlukan bagi ilmu aplikasi seperti kedokteran.
           Minat yang rendah dari siswa untuk belajar sains murni menyebabkan terjadinya “kemarau” di bidang ilmu ini. Bila kita telusuri, sesungguhnya faktor yang menyebabkan rendahnya minat siswa di dunia matematika dan sains (fisika, biologi, dan kimia) adalah karena ilmu-ilmu itu yang diajarkan di sekolah menengah terlalu teoretis. Selain itu, beban yang diajarkan pun terlalu berat. Sehingga siswa menganggap sains itu sebagai ilmu yang menakutkan. Siswa juga merasakan ilmu-ilmu dasar itu seperti terisolir dari kehidupan sehari-hari. 
            Guna mengurangi kenyataan seperti itu dan menyirami “kemarau” di dunia sains murni, maka staf pengajar sejatinya  kreatif dalam mengajarnya. Hingga siswa tertarik belajar sains murni. Selain itu, kelompok-kelompok ilmiah di SMA pun perlu lebih ditingkatkan kegiatannya. Tentunya di bimbing oleh guru terkait. Kita pun jangan terlena, misalnya hanya dengan memenangkan Olimpiade Fisika saja.  Yang lebih penting bagaimana sistem pendidikan kita  mendorong siswa untuk lebih berprestasi, tak terkecuali bagi siswa cerdas namun kurang mampu dalam materi. 
Karena itu, perlu dekonstruksi pembelajaran matematika dan ilmu alam dasar di sekolah menengah. Dekonstruksi ini ditujukan untuk lebih mendekatkan sains dengan dunia sehari-hari.
            Tidak ada salahnya staf pengajar mengaitkan sains dengan kebutuhan praktis. Contohnya, untuk SMP bisa didiskusikan kenapa mata kucing bisa bercahaya dalam keadaan gelap, bagaimana peristiwa terjadinya petir, dll. Bahkan untuk siswa SMA bisa diajak untuk berdiskusi tentang topic aktual, Misalnya, kasus formalin, susu berbakteri, pencemaran alam dan sebagainya.
Berangkat dari peristiwa sehari-hari itulah siswa merasakan bahwa sains pun ada kegunaannya. Apalagi sekarang kurikulum pendidikan sudah berubah menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang menitikberatkan pada sekolah mengembangkan kurikulum sendiri.dan menuntut guru lebih kreatif dalam mengajar.   
        Karena itu, materi sains pun  tidak perlu terlalu teoretis dan dan lebih banyak muatan praktisnya. Bisa saja banyak kalangan pendidikan yang akan tidak setuju dengan pendapat saya. Ada pakar pendidikan yang tetap keukeuh, di sekolah menengah tidak perlu diajarkan persoalan praktis. Di kedua tingkat pendidikan itu hanya diajarkan konsep-konsep teoritis saja. Tapi,  bagi saya apalah artinya konsep kalau tidak bersinergi dengan kehidupan sehari-hari.
        Teori pendidikan pun mengisyaratkan belajar dengan mendengar saja akan memperoleh 25 persen pemahaman, dengan mendengar ditambah membaca  akan diperoleh 50 persen pemahaman dan kalau dengan cara mendengar, membaca dan mengalami sendiri akan memperoleh 75-100 persen pemahaman.

Membebani Siswa
        Beberapa tahun lalu bahkan di Jawa Barat, termasuk di Tasikmalaya sempat muncul pendapat yang akan memasukkan kimia sebagai mata pelajaran baru di SD. Pro kontra pun terjadi. Saya pernah berbincang dengan pakar pendidikan dari UPI, Bandung Prof. DR Ratna Wilis Dahar, MSc (Alm). Dia pun tidak setuju bila kimia diajarkan di SD. Kita jangan memaksakan sesuatu kepada peserta didik yang belum  sesuai dengan kondisi  kemanpuan kognisi, afeksi maupun siswa. Apalagi, saat ini siswa mulai SD sampai SMA terlalu banyak dibebani pelajaran. Jangan sampai pelajaram baru akan menjadi beban bagi siswa, guru dan orangtua murid. Kabarnya. Di Amerika Serikat (AS) sendiri siswa SD hanya diberi 5 mata pelajaran, sedangkan di kita sampai ada yang 11 mata pelajaran.
         Di negara adidaya itu pun Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) baru dirasakan keberhasilannya setelah 70 tahun. Ironinya, di kita yang tadinya mau meniru kurikulum Barat (KBK), ternyata belum lama sudah diganti dengan kurikulum baru yakni KTSP. Memang saat ini sekolah seperti dijadikan sebagai “laboratorium”. Tapi analis lab-nya seperti amatiran hanya mengandalkan satu jurus  trial and error (uji-coba). Dan melupakan filosofi pendidikan itu sendiri. Misalnya, keadilan dalam pendidikan bagi sisiwa yang kurang mampu secara materi. Sekolah saat ini seperti etalase toko yang memajang barang mewah. Hanya orang berkantong teballah yang bisa menikmatinya.
        Mengingat kondisi pendidikan seperti itulah, siswa yang kurang beruntung perlu      memikirkan untuk menuntut jalur nonformal. Seperti sekolah dulu sampai SMP, setelah itu bisa bekerja sambil melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya dengan mengambil Program Kejar Paket C.  Mengikuti kursus-kursus gratis dsb. Karena bagaimanapun sekolah itu penting. *** (Penulis, Alumnus Kimia, FPMIPA IKIP Bandung).