.
Jamkesmas Tak Sepenuhnya Menjamin
.
Oleh: Ari Hidayat
Suatu saat kita berada di kerajaan
sehat, pada waktu lain tiba di kerajaan sakit. Saat sakit kita merasakan betapa
nikmatnya hidup sehat dan betapa merananya sakit. Kesehatan memang sangat
penting. Tanpa kondisi badan dan jiwa yang sehat, segala aktivitas kita seperti
bekerja, belajar, beribadah dll akan terhambat. Kerajaan sakit bisa menimpa
siapa saja, tua maupun muda , yang kaya atau miskin. Bagi orang kaya, sakit
mungkin tidak begitu merepotkan, Ia dapat dengan mudah berobat tanpa ambil
pusing dengan biaya. Bahkan untuk berobat keluar negeri sekalipun. Namun bagi
si miskin, sakit akan membuat masalah menjadi berdobel-dobel terutama dari segi
biaya pengobatan. Jangankan untuk pergi ke dokter dan rumah sakit (RS), untuk
makan sehari-hari saja ada di antara kita yang masih kesulitan. Karena itu
mereka perlu dijamin kesehatannya oleh pemerintah.
Model penjaminan kesehatan bagi penduduk
miskin di Indonesia
sudah dimulai sejak 1980 dengan nama Dana Sehat. Sepuluh tahun kemudian namanya
diubah menjadi Jaminan Pemeliharan Kesehatan Masyarakat (JPKM). Sebelumnya RS
mempunyai kebijakan bagi warga miskin untuk bebas biaya perawatan asal membawa
Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) dari RT, RW, kelurahan dan kecamatan
setempat. Menurut Guru Besar Universitas Indonesia (UI), Depok, Prof DR
Hasbullah Thabrany, JPKM dinilai gagal karena program ini mengadopsi sistem asuransi komersial di Amerika Serikat
(AS) sehingga tidak cocok diterapkan di kita. Setelah krisis multidimensi di
Indonesia, JPKM diubah menjadi Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan kemudian
pada tahun 2005 menjadi Asuransi Kesehatan Keluarga Miskin (Askeskin) dan terakhir menjadi Jaminan Kesehatan Masyarakat
(Jamkesmas).
Sebagai komparasi (perbandingan)
sejak setengah abad lampau di Srilanka
dan Malaysia yang kondisi
ekonominya lebih buruk dari Indonesia
ketika itu, rakyat tak kesulitan memikirkan biaya pengobatan, semuanya
ditanggung pemerintah. Begitu pula di Muangthai (sekarang Thailand) yang tak
lebih buruk dari Indonesia dan Malaysia yang telat merdekanya 12 tahun dari
Indonesia rakyat tak ambil pusing dengan biaya pengobatan karena dijamin
pemerintah. Di lain pihak, data
Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) menunjukkan lebih dari 100 juta orang setiap
tahunnya jatuh miskin karena tidak mampu membayar biaya pengobatan lantaran
sakit, kecuali di AS.
Jadi, orang kaya pun sebenarnya bisa
jatuh miskin jika sakit parah dan kronis (menahun). Kekayaannya habis untuk
biaya pengobatan dan perawatan. Sebab, sudah naluri manusia kalau sakit ia
berusaha sekuat tenaga untuk bisa sembuh. Betapa mahalnya hidup sehat itu, bisa
dirasakan oleh mereka. Sehingga, kelompok orang demikian pun perlu mendapat jaminan
kesehatan (Jamkesmas) dari pemerintah. Sudah seyogianya pihak berkompeten
termasuk RT dan RW proaktif mendata warganya yang tadinya dinilai kaya (mampu)
mendadak menjadi miskin karena sakit. Sehingga mereka bisa menerima Jamkesmas.
Bukan Jaminan
Dalam konteks miskin dan kemiskinan secara
ekonomi ini, ada anggapan keliru dari sebagian warga masyarakat kita, baik si
miskin itu sendiri, maupun orang mampu. Si miskin kerap merasa malu bahwa
dirinya mendapat stigma (cap) miskin di masyarakat. Sebaliknya, tidak sedikit
orang berada yang menilai miskin itu sebagai aib. Orang miskin berada pada
strata rendah di masyakarat, sehingga jangankan untuk menyantuni kaum papa,
buat berinteraksi dengan orang miskin pun mereka enggan. Paradigma (kerangka
berpikir) inilah yang perlu diubah kedua belah pihak.
Kemiskinan bukanlah suatu cela.
Rasulullah Muhammad saw sendiri tidak takut umatnya jatuh miskin di kelak
kemudian hari. Yang beliau risaukan bila umatnya berlomba-lomba mengejar
kemewahan duniawi, tanpa memerhatikan mana yang halal dan haram, yang baik dan
buruk, serta yang sesuai dengan hukum atau melanggarnya. Orang seperti ini
menganggap kemewahan duniawi dan berlimpahnya harta akan mengekalkan mereka.
Meski begitu menjadi orang miskin tentu tidak terlalu menyenangkan. Apalagi
hidup melarat dan serbakekurangan Tidak ada satu ajaran pun yang mengajarkan
atau membolehkan umatnya dengan sengaja ke kemelaratan.
Karena itu, orang miskin wajib
meningkatkan derajat ekonominya menjadi sejahtera, syukur-syukur kaya. Jika
belum juga kesampaian, bersabar dan bertawakallah. Yang penting doa sudah
diperbanyak dan usaha dimaksimalkan. Nikmati saja yang ada, toh kita masih bisa
makan dan minum serta tidur dengan nyenyak. Memang bagi warga miskin sakit lebih tidak
nyaman dan masalahnya menjadi berlipat-lipat ketimbang orang kaya yang sakit, lantaran menyangkut biaya pengobatan apalagi
kalau sakitnya parah dan kronis. Memang
pemerintah sudah membebaskan biaya berobat ke Puskesmas, tapi bila
pengobatannya harus dirujuk ke RS bahkan RS Provinsi, ini yang kian menambah
susah si miskin.
Jamkesmas saja terkadang tidak cukup.
Sebagai contoh, seorang peserta Jamkesmas berobat di suatu RS, ia diberi resep
oleh dokter dan pergi ke apotek RS untuk menukarkannya dengan obat. Ia terkejut
ketika petugas apotek mengatakan bahwa obat itu tidak tersedia di sana dan harus dibeli di
apotek luar. Ketika ditanyakan ke apotek di luar RS, resep itu harus dibayar ratusan ribu rupiah.
Si peserta Jamkesmas yang bekerja sebagai penarik becak itu tak membeli obat.
Akhirnya, ia pun kapok berobat dengan Jamkesmas. Memang kabarnya, jika kasusnya
seperti ini peserta Jamkesmas membayar dulu dan bisa mengklaim PT Askes untuk
menggantinya. Namun, dia memakai Jamkesmas itu karena kesulitan uang. Bagaimana
dia harus membayar obat dulu ke apotek?
Di Depok belum lama ini. Ada bayi Rizki yang tidak
mempunyai anus dan harus dirawat di suatu RS. Ia tak bisa dibawa pulang karena
harus membayar Rp 62 juta, RS meminta Pemerintah Daerah (Pemdalah) yang harus
membayar. Jika orangtua Rizki tergolong tak mampu dan belum memiliki Jamkesmas
kenapa tidak ada kebijakan dari RS untuk meminta orangtua Rizki membuat
Jamkesmas sementara (SKTM) toh nanti akhirnya PT Askes sendiri yang akan
membayarnya dari dana konpensasi kenaikan BBM. Toh, RS tidak akan bangkrut
dengan menunda sambil menunggu dana cair dari PT Askes, bukankah begitu
prosedurnya? Akhirnya terkumpul Rp 40 juta dari donatur dan sisanya dibayar
Pemda Depok.
Sehingga, Jamkesmas itu sendiri bukan
suatu jaminan bahwa bagi si miskin berobat dan perawatan di RS akan serbagratis
dan mudah. Memang penyalahgunaan Askeskin baik oleh PT Askes, RS, atau
pesertanya tidak terbukti, namun perlakuan tidak menyenangkan, membingungkan,
dan diskriminatif kerap dikeluhkan oleh peserta Jamkesmas. Yang tak kalah
penting dokter perlu aktif menanyakan pasien (karena umumnya peserta Jamkesmas
berpendidikan minim) apakah dia peserta Jamkesmas atau bukan, sehingga ia dapat
menyesuaikan tindakan medis yang akan diambilnya, Yang lebih ideal adalah si
pasien yang proaktif mengingatkan dokter bahwa dirinya adalah peserta Jamkesmas
dan memohon pengobatannya disesuaikan. Semoga ke depan perlindungan kesehatan
untuk warga miskin menjadi lebih baik, tidak terlalu birokratis
(penyederhanaan), merata, dan tepat sasaran.***
Penulis adalah, penulis lepas. Tinggal di
Kota Tasikmalaya.
Ari Hidayat, sarjana kimia FPMIPA
IKIP Bandung dan alumnus pendidikan wartawan profesional, LP3Y, Yogya (beasiswa
surat kabar Suara Pembaruan). Pernah bekerja sebagai
jurnalis (wartawan) di sejumlah media nasional dan daerah. Terakhir bekerja
sebagai wartawan Priangan (Grup Pikiran Rakyat) di Tasikmalaya. Kini
sebagai penulis lepas.