Entri yang Diunggulkan

Di Sebuah Ranah

Saya menamainya   ranah   atau wilayah dalam arti seluas-luasnya di mana kebenaran dipersoalkan. Kebenaran dari yang mempersoalkan adalah k...

Jumat, 29 Juni 2012

Puisi-puisi Ari Hidayat

MASIH KUCARI JUDUL

Dalam  keheningan
Meski dengan rasa semula gemetar
Sebab  kerlingmu.  Suara luruh lindap
Dalam pertemuan tertunda

2011



MENUNGGU

Rindu ini bertabuhan, dalam diri
sedang langkah, terjebak kabut, penantian

2011



KETIKA WAKTU PINGSAN

dan waktu pun pingsan
dicumbu ingin bertemu denganmu

2011




Ketika Dulu TV Kita Dikenai Iuran

Oleh: Ari Hidayat

Tahun 97-an televisi kita sempat dikenai iuran oleh Yayasan Televisi RI. Lembaga ini menerbitkan Buku Iuran Televisi (BIT).Tiap bulan petugas mendatangi rumah-rumah pemilik TV untuk menagih iuran. Tarif iuran yang tertera dalam buku itu, TV ukuran kurang 16 inchi Hitam/Putih Rp 1.000, lebih dari 16 inchi Hitam/Putih Rp 3.000, kurang dari 16 inchi Berwarna Rp 4.000, 16 inchi - 19 inchi Rp 5.000, lebih dari 19 inchi Berwarna Rp 6.000. Setelah  pemilik TV membayar iuran petugas menempelkan materai dalam buku itu. Tapi, sejumlah waktu kemudian iuran itu dihentikan. Sebagai dokumentasi saja saya masih menyimpan satu Buku Iuran Televisi itu (Lihat Gbr)





                                                   
                                                   Gbr 1.  Buku Iuran Televisi (BIT)


Gbr 2. Bagian yang Ditempeli Meterai di BIT


Kartu Pos

Sejumlah Koleksi Kartu Pos Baru saya,




Filateli

Benda-benda Filateliku,






Rapsodi dari Gurun Sunyi (2)


Oleh Ari Hidayat pada 11 November 2011 pukul 7:49, di Catatan Facebook

    Hingga tibalah saya di Jakarta, Maret 1994. Ya biasa kerja: menulis berita. Dan saya pun tidak punya prestasi kerja apa-apa sebagai wartawan. Tapi, sungguh saya mendapat "didikan" langsung baik dari atasan di kantor rekan kerja (senior saya) termasuk senior-senior saya dari media lain yang biasa bertemu saat menjalankan tugas di lapangan. Dan semua itu menjadi bekal yg sangat berharga bagi pengalaman jurnalistik saya. Satu yg perlu dicatat mungkin pada saat itu kehidupan wartawan tidak semudah seperti sekarang ini.
      Selain biasa-biasa saja, pun tak dapat dipungkiri sejak 1996 saya dikerkah penyakit jiwa berat, skizofrenia (orang awam menyebutnya gila). Saat kerja di HU Jayakarta itu sudah tiga kali saya dirawat di RSK atau pun RSJ. Hingga pada 1997 saya mengundurkan diri dari kerja. Setelah itu, saya sering kambuh-kambuhan ditambah saya malu kini sebagai pengangguran. Meski istri saya ketika itu tidak mempersoalkan sebab, dia pun bekerja dengan penghasilan yang lumayan besar. Tapi. saya tetap saja malu setelah ke sana ke mari ditolak kerja. Belum lagi kalau saya kambuh, dengan perilaku yang aneh-aneh, keluyuran ke sana ke mari sampai subuh. Tidak jarang sadar-sadar saya sudah di RSJ.
      Wajar kalau sampai anak istri pun meninggalkan dan menceraikan saya.Selanjutnya saya sempat kerja di sebuah tabloid ibukota sebagai koresponden Jawa Barat, namun itu tidak lama sebab, kembali saya keluar masuk rumah sakit. Di Tasik saya juga pernah kerja sebagai wartawan di Kabar Priangan. Ini pun tidak lama, lantaran kembali saya masuk RS. Sampai April 2009 saya sudah 13 kali dirawat di RS.  Akhirnya, saya pun memutuskan berhenti sebagai wartawan dan mulai belajar menjadi penulis lepas. Saya mencoba menulis esai, puisi, dan cerpen dan dikirimkan ke berbagai media cetak (tahun 2001). Sepertinya mulai 98-99-an saya mulai ngirim-ngirim tulisan tapi semuanya ditolak atau tidak dimuat media.
     Saya tidak ingat persis berapa lama saya seperti itu: menulis, mengirimkan ke media dan tidak dimuat. Tapi saya terus mencoba dan belajar otodidak tentang menulis esai, puisi, dan  cerpen. Begitulah ada rasa senang bila tulisan saya dimuat dan saya pun memeroleh honorarium. Di sini pun saya ingin mengungkapkan betapa saya banyak belajar dari tulisan-tulisan, buku-buku para penulis ternama. Dulu ketika kerja sebagai wartawn di Jakarta, Bandung, dan Tasik saya juga suka membaca sastra dan meliput kegiatan sastra. Dan memang sejak kecil saya mencintai sastra. Jujur saja saya senang betul bila bisa bertemu langsung dengan penulis, sastrawan yang saya kagumi. Mungkin karena mereka orang besar dan saya hanya wartawan biasa saja mereka tidak akan ingat saya. Setidaknya saya pernah membuat laporan aktivitas sastra mereka maupun mewawancarainya.
     Begitu pula ketika saya nekad ke markas Sanggar Sastra Tasik, sangatlah senang saya bisa bertatap muka bahkan berbincang-bincang dengan sastrawan dan para penulis yang selama ini saya mengenal lewat karya-karya mereka saja         Nyaris 10 tahun saya bergelut menulis esai dan belajar membuat puisi dan cerpen. Sebab, saya bukan penulis yang berprestasi, produktif, dan cerdas, saya sungguh merasakan betapa jungkir baliknya mengandalkan hidup dari honor menulis. Dan saya pun amat merasakan betapa menulis itu sebagai disiplin sunyi, meski memang mengasyikkan seperti diungkapkan para sastrawan . Pada  Desember 2010 saya nyerah dan mulai membuka Jasa Internet (Jasnet) dan dikelola sendiri seraya berusaha untuk sembuh dari penyakit saya. Kadang-kadang saja kalau rindu saya menulis (TAMAT)

Rapsodi dari Gurun Sunyi (1)


Oleh Ari Hidayat pada 10 November 2011 pukul 8:13, di Catatan Facebook 



      Awal saya tertarik menulis nonfiksi dan fiksi sudah ada sejak SD. Tapi sebatas  keinginan tak diwujudkan pun kekaguman-kekaguman pada karya-karya mereka. Di SMP saya mulai mengenal koran, majalah. Saya sempat menyusun kata-kata yg saya tak mengerti dari media massa yang saya baca dan mencari maknanya di kamus-kamus. Saya menuliskan semua itu (tulisan tangan) dan menyusunnya menjadi semacam sebuah kamus tersendiri. Ketika itu saya sempat memperlihatkan "kamus" saya itu ke guru bahasa Indonesia SMPN 1 (almh) Ibu Pipih. Sepertinya dari beliaulah saya terus mendapat dorongan untuk menulis.
     Bu Pipih pun sempat memerlihatkan puisi seorang kakak kelas kami (tapi saya lupa nama penulisnya). Beliau berkomentar itu sebuah puisi yg sangat bagus. Bahkan Bu Pipih yakin penulis puisi itu nanti bila mengembangkan kemampuannya akan menjadi penyair besar. Bu Piipih pun mengajak saya ke tempat Mading (Majalah Dinding) dan menempelkan puisi karya kakak kelas saya itu di Mading. Menulis ya menulis. Namun, saya mentok cuma menulis "Kamus" kecil itu hingga saya mahasiswa di IKIP Bandung sungguh saya kesulitan menuangkan perasaan dan pikiran dalam bentuk tulisan. Menulis menjadi sesuatu yang menjadi beban bagi saya. Ketika kuliah ini pun saya memeroleh informasi bahwa Bu Pipih bersama anaknya tewas dalam sebuah kecelakaan angkot 08 di dekat Cilembang. Bahkan Kabarnya angkotnya sampai meledak. Saya sedih karena itu.
    Namun di akhir-akhir kuliah (tahun 1992-1993-an), saya kian yakin bahwa diri ini tak cocok menjadi guru. Apalagi setelah praktik di SMA 8 Solontongan Buah Batu saya meneguhkan diri setelah lulus tidak hendak menjadi guru dan mencari pekerjaan lain. Singkat kata, saya pun lulus kuliah dan membaca di majalah Tempo ada beasiswa untuk mengikuti Diklat Wartawan Profesional di LP3Y, Yogyakarta, piimpinan Ashadi Siregar seorang sastrawan dan dosen Komunikasi Fisipol UGM. Saya mendapat panggilan ketika melamar. Dan meluncurlah saya ke Yogya. Lewat seleksi tulis dan psikotes saya diterima di antara 12 peserta pendidikan Angkatan VII itu. Namun, saya terbentur masalah biaya pendidikan yang 2,5 juta dan biaya hidup selama sekitar setahun di Yogya. Saya malu minta ke orangtua yang serba pas-pasan keadaan ekonominya. Di Yogya pun saya numpang tidur di famili itu pun ada di Klaten.
      Beruntung saya ditawarkan untuk mengikuti jalur ikatan dinas dari sejumlah media seperti HU Jayakarta, Surabaya Post dll. Tapi saya harus mengikuti seleksi lagi. Akhirnya saya pun tes tertulis beberapa tahap, bahasa Inggris, psikotes, dan terkahir tes kesehatan lengkap di RS Bethesda Yogya. Alhamdulillah saya lulus ke Jayakarta. Akhirnya saya pun di biayai koran ibokota itu yang tadinya satu grup perusahaan dengan Suara Pembaruan itu juga dikasih uang saku selama pendidikan. Di  tempat pendidikan ini saya digembleng masalah kewartawanan dengan lebih menekankan pada sisi praktis (praktek). Kami pun diharuskan hunting berita, termasuk untuk mencari bahan-bahan laporan ataupun buat feature ke lapangan.
       Sedangkan wadah aktivitas jurnalisme itu, kami membentuk media internal. Saya ingat media internal kelompok saya bernama "Independen", "PILAR", dll. Di media ini saya belajar membuat straight news (berita langsung), interpretative, feature, laporan jurnalistik, Tajuk Rencana, bahkan investigative news. Kami rolling menjadi Pemimpin Redaksi dan kalau sudah kebagian jabatan ini diwajibkan membuat Tajuk Rencana. Sungguh kami begitu dekat di antara  para peserta diklat bahkan dengan para mentor (pengajar) sekali pun. Seakan kami satu saudara besar dari beberapa daerah sedang berkumpul dan beraktivitas bersama. Kami ada yang berasal dari Bandung, Gresik, Jakarta, Yogya sendiri, Sumatara Utara (Medan), Purworedjo, Kalimantan.
      Dan di antara peserta itu kami bertiga (Beasiswa Ikatan Dinas HU Jayakarta), kemudian dari media-media yang sudah ada-artinya mereka sudah menjadi wartawan dan ditugaskan kantornya- sisanya belakangan beasiswa dari Surabaya Post. Tak jarang kami pun  berekreasi bersama seperti ke Kaliurang dll bahkan sampai ke Temanggung, Jateng di sela-sela kesibukan tugas masing-masing. Sedangkan,   untuk mendukung wawasan peserta diklat , di LP3Y (Lembaga Pendidikan, Penelitian, dan Penerbitan Yogya) ini pun kami diberikan ceramah oleh pakar-pakar di bidangnya yang kebanyakan dosen-dosen kenamaan dari UGM.
      Dan pada akhirnya saya pun mengantongi sertifikat wartawan profesional setelah tuntas melaksanakan pendidikan dan mencapai rangking 3 terbaik serta diharuskan ke Jakarta menunaikan ikatan dinas kerja selama 2 tahun. Jakarta I will come... (BERSAMBUNG)

Sekilas Daerah Perbatasan Indonesia-Malaysia


Oleh Ari Hidayat pada 9 November 2011 pukul 14:13, di Catatan Facebook

    Pada akhir 90-an saya bersama sejumlah wartawan yang bertugas di ibu kota diundang Dephankam untuk ber-presstour (wisata jurnalistik) ke daerah perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan Timur. Rombongan kami yg dipimpin Letkol (TNI) Oma Rubama bertolak dari Bandara Soekarno Hatta menuju Sepinggan Balikpapan. Kami  menginap semalam di Balikpapan dan esoknya memakai bus tentara kami melaju menuju Samarinda. Di kota ini pun kami bermalam dan perjalanan selanjutnya melintasi kota dan kota di Kaltim hingga tiba di Kab Nunukan. Dari Nunukan menumpang speedboat kami menyebrangi lautan menuju P Sebatik, Kaltim. Pulau Sebatik ini adalah sebuah daerah yang berbatasan dengan Malaysia. Di salah satu desa/kampung di sini ada patok batu/semen sebagai tanda atau batas kedua negara jiran itu.
     Di P Sebatik kami sempat mengamati kehidupan warga Indonesia dan berbincang-bincang dengan aparat, tokoh masyarakat dan warga setempat. Uniknya di sini barang-barang kebutuhan sehari-hari termasuk mie instan, susu kaleng dll nyaris semuanya produk atau bikinan Malaysia. Hingga mata uang yang beredar pun adalah ringgit Malaysia. Siaran televisi pun yang ditangkap lewat parabola adalah TV-TV negeri jiran. Di dekat patok di pulau itu  melintas sebuah sungai dan sebuah jembatan kayu membentang di atasnya. Kebanyakan warga bekerja di Malaysia dan melintas lewat jembatan menyeberangi sungai untuk selanjutnya dengan speedboat menuju Malaysia.
    Seorang teman dari Surabaya Post menuliskan laporannya dengan menarik berjudul, "Membeli Pisang dengan Ringgit". Ada satu kejadian menarik saat kami mencoba melintasi jembatan yag setelah itu sudah masuk ke wilayah Malaysia dari sebalik pepohonan pisang kami dikejutkan oleh kedatangan seseorang bercelana kanvas hitam panjang, kaos oblong putih dan tangannya menenteng senapan laras panjang M-16. Ternyata di adalah anggota Polisi Diraja Malaysia. Saya sempat menjelaskan siapa dan maksud kami ada di situ. Saya lupa kami sempat melemparkan joke-joke buat mencairkan suasana dan saya pun sempat mengambil gambar (foto) dia bersama teman-teman anggota rombongan lainnya.
     Menariknya, di era multimedia kini saya mendengar kabar bahwa sebuah institusi bekerja sama dengan angkatan laut kita (TNI-AL) sempat membangun jaringan internet untuk warga di perbatasan kita agar mereka lebih mengenal dengan kehidupan di Indonesia lengkap dengan tempat-tempat lain di Nusantara. Ini sebagai langkah yang baik, bagaimana pun warga daerah perbatasan dengan segala kendala untuk memeroleh informasi dari media konvensional dapat lebih mudah mengakses informasi lewat media baru (Ari Hidayat)

Kamis, 28 Juni 2012

Menulis Sebagai Hobi atau Profesi?


   Sanggar Sastra Tasik (SST), suatu siang, dalam sesi Jum’atan Sastra, saya sebagai peserta sempat mengungkapkan, menulis bagi saya hanyalah hobi. Kang Tatang Pahat, praktisi seni di Tasikmalaya menimpali, kalau seperti itu terlalu naïf kedudukan menulis. Mungkin maksud Kang Tatang menulis itu sejatinya profesi. Menulis itu sejatinya dielaborasi sedemikian rupa hingga layak disebut profesi sebagaimana bidang kerja lainnya.  Kang Saeful Badar yang penyair dan pimpinan di SST menambahkan tak jadi soal menulis sebagai hobi. Boleh jadi, dalam yang sedemikian lebih banyak aura ketulusan, ketimbang profesionalitas menulis yang tentunya berujung komersialisasi,
    Menulis sebagai hobi atau profesi? Ya, pertanyaan itu bagi saya seakan tak berkesudahan. Buat saya menulis seperti sebuah dunia kebetulan saja, Setelah  saya mengundurkan diri dari jurnalistik praktis (wartawan). Atas dorongan pribadi dan juga sahabat, saya mencoba belajar penulisan kreatif secara otodidak. Saya mencoba menulis esai, puisi dan cerpen dan mengirimkannya ke sejumlah media.  Menulis seperti hobi lama yang saya temukan kembali.
      Lempangkah jalan saya atau setidaknya pertama kirim tulisan langsung dimuat? Ngak juga. Sering tulisan saya tak dimuat, tapi gembiralah hati saya kalau dimuat. Meski jujur kadang saya malu juga terus-terusan selama bertahun-tahun menulis dan mengirimkan ke berbagai media seperti itu. Dan tentu saja saya pun mengharapkan honor bila tulisan saya dimuat. Sampai satu ketika saya berjumpa dengan jagat maya, ruang baru  bagi saya menyalurkan hobi:  menulis.
       Trus, menulis sebagai hobi atau profesi? Saya tak bisa pungkiri  kenyataan keseharian kepenulisan saya yang sekadar menempatkan aktivitas menulis sebagai hobi. Secara teoritis saya sadar, andai menulis melekat sebagai profesi tentu saya semaksimal mugkin, memutar akal, memperbanyak upaya dll agar  tulisan-tulisan saya bernilai jual. Hingga saya  juga bisa mengandalkan hidup dari menulis.  Nyatanya saya tidak begitu. Menulis hanyalah menulis.
       Apakah saya tidak menginginkan menulis sebagai profesi? Tentu saja saya mau sekali, tapi sampai kini, saya belum sampai ke sana.
    Mungkin berawal dari hobi, menulis belakangan ini buat saya seperti sebuah kebutuhan saja (Ari Hidayat)
       

Rabu, 27 Juni 2012

Fenomena Artis Penulis


      Mencermati (tidak hanya menonton) kehidupan artis menarik juga. Terlepas dari gaya hidup mereka yang glamour dll,  ada kiprah artis yang menjadi amatan sejumlah kalangan. Sebut saja, fenomena artis yang banting setir ke dunia politik praktis entah untuk menjadi anggota dewan maupun pemimpin dan wakil pimpinan daerah. Begitu pula fenomena artis yang menjadi penulis. Memang tidak musykil atau aneh bila terdapat artis yang menjadi penulis skenario baik untuk sinetron maupun film, tapi untuk tulisan-tulisan lain seperti puisi, cerita pendek (cerpen), dan novel nampaknya baru belakangan ini menggejala.
     Sekadar contoh (mungkin ada yang luput dari pengamatan), dulu  Almarhum Wahyu Sardono (Dono Warkop) pernah menerbitkan novel-novel antara lain Cemara-cemara Kampus yang dipublikasikan penerbit kenamaan. Artis penyanyi Dewi “Dee” Lestari dengan npvel-novelnya mulai Supernova hingga Rectoverso. Neno Warisman yang sudah meluncurkan buku kumpulan puisi (antologi) karya dirinya. Artis film, sinetron, presenter, penulis buku dan juga anggota dewan, Rieke Diah Pitaloka menerbitkan antologi puisi Renungan Kloset dan buku Kekerasan Negara Menular ke Masyarakat. Juga Happy Salma serius jadi cerpenis dan telah menerbitkan dua kumpulan cerpen, yakni Pulang (2006) dan Telaga Fatamorgana (November 2008).
       Selanjutnya, penyanyi mungil asal Bandung, Trie Utami menerbitkan buku Karmapala dan Abhayagiri, yang mengungkap sejarah yang pernah ada pada abad kedelapan. Yang akan segera dirilis adalah antologi puisinya berjudul Cinta Setahun Penuh. Kumpulan puisi ini, Juni 2010 masih dalam proses percetakan. Berikutnya, artis penyanyi Melly Goeslaw menebirtkan kumpulan cerpennya bertajuk  10 Arghh. Buku ini sempat menjadi perdebatan menyangkut “kualitas” isinya. Apalagi salah satu cerpennya berjudul Tentang Dia diadaptasi menjadi sebuah film dan dikritik habis-habisan. Tak ketinggalan belum lama ini artis film, sinetron, dan presenter Harry “Boim” de Fretes terjun pula menjadi penulis naskah komik berjudul Halte Bis Rumpi. Kabarnya, komik ini tak tanggung-tanggung dibuat bersambung hingga tiga edisi.
        Fenomena artis menulis menjadi sebuah lentikan pemicu kontemplasi lebih jauh di tengah budaya literasi (menulis) yang kurang menggembirakan. Sejumlah kalangan menilai tradisi menulis di kita termasuk di kalangan  intelektual dari tahun ke tahun merosot. Jangankan untuk menulis,  menumbuhkan kegemaran membaca yang berjalin berkelindan dengan dunia menulis saja sudah sulit di masyarakat kita. Dapatlah dipamahi karena kita lebih akrab dengan tradisi lisan yang sudah berabad-abad digunakan. Sebagian besar masyarakat masih suka dengan mendengar sesuatu ketimbang membaca. Apalagi sangat jarang yang mengolah bahan bacaan itu untuk pembelajaran hidup dan kehidupan.
        Padahal sejatinya, selain memerlukan komunikasi verbal (lisan) kita pun membutuhkan yang nirverbal yakni lewat tulisan-tulisan. Dalam konteks literasi, orang boleh bilang menulis itu tidak menjanjikan secara finansial. Tidak seperti di negara-negara lain katakanlah,  Amerika, Inggris, dan Perancis yang hidup berkecukupan dengan menulis buku. Tapi keadaan finansial penulis itu relatif. Tidak sedikit penulis yang profesional menjadi sukses hanya dengan mengandalkan hidup dari tulisan-tulisannya, dari buku-bukunya. Meski banyak pula penulis yang hidup serbakekurangan, minimnya modal sosial dll. Satu yang perlu dicatat bagi sejumlah penulis yang “miskin” itu adalah  keistikamah menggeluti jagat literasi. Bagi  salah seorang pejuang pers di kita Ahmad Taufik (Redaktur majalah Tempo), menulis itu miskin tapi mengasyikan. Ada keasyikan saat mengungkapkan perasaan, ide-ide dalam pikiran, pertanyaan-pertanyaan mengejar jawaban dsb. Mungkin ada kegembiraan tersendiri bila tulisan-tulisannya dimuat di media, bahkan diterbitkan menjadi buku,
      Sehingga wajarlah kalau artis pun sampai banyak yang mengembangkan karier menjadi penulis. Terlepas dari penilaiaan tentang karya mereka, ada spirit yang sejatinya  dipetik oleh calon penulis maupun yang sudah betul-betul jadi penulis, yakni keberanian mereka untuk menulis. Karena memang menulis itu bukan sekadar wacana hanya buat dipikirkan dan diperbincangkan, tapi menulis itu adalah ya menulis. Ada sebuah buku menuliskan, “Salah seorang tante dari seorang penulis bertanya kepada dia, “Apa yang akan kau tulis anakku, sayang?” Jawab keponakannya yang penulis itu, “ Tante, seorang penulis yang benar-benar penulis tidak menuliskan apa-apa, dia hanyalah menulis."

     Lebih jauh menulis tidak hanya di kalangan  artis, tapi bagi orang yang memilih jalan hidup menjadi  penulis lebih dekat dengan dunia “kesenian” Maksudnya, seni dalam pengelola, mengolah, dan mengekspresikan apa yang dialami, dilihat, didengar, dan dirasakan. Bentuk ekspresinya adalah tulisan baik fiksi mapun nonfiksi. Sebuah “seni” dalam menulis yang diharapkan mengandung nilai yang penting,  menarik, dan bermanfaat berbingkaikan nilai-nilai estetik. Menjadi penulis adalah sebuah pilihan yang “menantang” kreativitas di tengah suasana yang kurang mendukung, menghargai, memahami, profesi yang satu ini. Menjadi penulis tak cukup minat dan dorongan, tapi juga keridhoan terhadap segala konsekuensinya (akuntabel) dan membelajarkan diri secara kontinu. Bersiapkah menjadi penulis? Jawabannya hanya satu  menulis dan teruslah menulis  (Ari Hidayat)

(Dimuat di Radar Tasikmalaya, 27 Oktober 2010)

Selasa, 26 Juni 2012

"Memetik Buah" dari Sebuah Tulisan

     Menulis pada awalnya dimulai dengan ide atau gagasan. Dari sanalah kemudian tulisan dirancang dan diwujudkan. Pada dasarnya tulisan terdiri atas genre fiksi (puisi, cerpen, novel) dan nonfiksi. Tulisan-tulisan lain semacam naskah drama, skenario film, dongeng termasuk pula fiksi. Gagasan buat menulis bisa diperoleh dari mana saja. Ide yang biasa pula disebut inspirasi merupakan "pemantik", titik awal hingga muncul gambaran dalam benak kita buat menjadikannya sebagai sebuah tulisan.
    Ide menulis itu (khususnya bagi saya) kebanyakan diperoleh dari tulisan juga. Ia bisa dari berita di media konvensional maupun online. Kerap saya menemukan ide itu ketika saya membaca media-media itu, buku-buku,  pun saat saya membaca karya-karya orang lain. Sepertinya saya sering menemukan ide semacam itu dari sebuah kata, kalimat, paragraf atau keseluruhan tulisan itu. Ide yang tentunya berbeda dengan isi/bangun wajah/sosok tulisan yang saya baca. Biasanya saya segera mencatatnya, bila gagasan itu muncul saat saya sedang membaca sebuah tulisan.
     Sering pula saya memodifikasi, mengembangkan ide-ide dari tulisan yang saya baca untuk menghindari plagiasi. Tapi lebih nyaman bila ide baru yang benar-benar lain dari tulisan yang saya baca itu muncul begitu saja. Ya, penulis sepertinya menebarkan, menanamkan "benih-benih" gagasan dalam tulisan hingga bertunas, berkembang, berbuah dan bagi pembacanya seperti "memetik buah" darinya. 
      Memang tidak selalu inspirasi menulis itu diperoleh dari sebuah tulisan. Ia bisa juga dari aktivitas kehidupan keseharian, bahkan saat merenung atau  dari mimpi sekalipun, tapi bagi saya kebanyakan ide itu saya dapat dari tulisan baik secara online maupun konvensional (Ari Hidayat) 

Senin, 25 Juni 2012

Menulis Esai

      Nyaris semua media massa kita menyediakan halaman untuk esai dalam surat kabarnya. Esai atau biasa juga disebut artikel, opini ditulis oleh penulis luar redaksi media massa cetak. Biasanya ditulis oleh para ahlinya di bidang yang menjadi bahasan dalam esainya. Keahlian yang juga ditunjang oleh pengalaman dan mampu mengungkapkan ide-ide di bidangnya itu dalam ragam bahasa ilmiah populer. Esai pada intinya opini atau pandangan penulisnya tentang suatu persoalan/topik. Esai tidak harus pula sebagai sebuah kesimpulan dari masalah itu. Esai bisa hanya sebuah pendapat, ide-ide segar, pandangan alternatif, analisis suatu masalah bahkan tawaran-tawaran solutif.
     Sebab disesuaikan dengan sifat media massa yang dipengaruhi aktualitas topik yang kerap muncul pun tentang suatu yang hangat diperbincangkan masyarakat. Dan biasanya media pun memberitakan soal itu dalam pemberitaan-pemberitaannya. Menulis esai bisa disebut gampang-gampang susah apalagi bisa dimuat di media massa kenamaan. Sepertinya menulis esai pun boleh saja diawali dengan menentukan JUDUL YANG MENARIK, PARAGRAF  PEMBUKA YANG MEMIKAT, ISI YANG BERBOBOT, DAN PENUTUP YANG MENGESANKAN.
      Ketika ide muncul yang berkaitan dengan topik aktual segeralah menulis, yang mungkin juga diperlukan observasi lapangan, penelusuran pustaka dll. Dan cobalah kirimkan ke media. Aktuliatas topik juga bisa yang "teragendakan". Misalnya, tiap tanggal 9 Februari diperingati sebagai  Hari Pers Nasional, terus kita menemukan ide sebelumnya buat menulis artikel tentang pers dan menulislah terus mencoba dikirim ke media Belum juga dimuat jangan patah semangat. Tetaplah menulis esai dan mencoba lagi dikirimkan ke media-media. Mencoba pula menulis esai yang tidak terikat topik aktual, tapi mengandung nuansa tulisan yang menarik, perlu, penting, bermakna, bermanfaat. Biasanya media pun menyediakan ruang untuk topik-topik seperti itu (Ari Hidayat) 
       

Minggu, 24 Juni 2012

Puisi Ari Hidayat



                                      Kabar Pagi Sekali

                    Dia bangun membawa senyum berwajah harapan
                    bersenandung kecil doa-doa yang diajarkan pewaris nabi
                    Tubuhnya bergetar-getar keresahan akan kekalahan sekaligus
                    rasa malu terdahului mentari yang sudah tersenyum kuning
                    kejinggaan, dengan zikir nyata kehidupan menyelinap
                   dari celah jendela

                    Meski langit masih berkelambu hitam, bulan memucat,
                    bintang-bintang kembali ke peraduan. Dia asyik menikmati
                    orkestra awal keseharian: sujud-sujud dedaunan, dzikir
                    bebatuan, lembut segar belai  angin,  kokok ayam menyongsong
                    remah makanan  di  atas tetanahan. Berpadu lagu syahdu wirid-wirid,
                    nyanyian tahrim  jelang subuh di masjid-masjid.  “Oh pagi,
                    sungguh indah selalu dikau,”  kabarnya pada pintu hari.                  

     
                                                                                                            2010   
                          

Minggu, 10 Juni 2012

Puisi Ari HIdayat




Dalam Sunyi
Tuhan, dengan nama-Mu
Aku menanam doa              
Di jalan-jalan yang kutuju
Mengharap rahmat-Mu

Tuhan, di samudra kasih-Mu
Aku melepas sauh,  membentang layar
Melayari  ridho-Mu
Meski berlabuh di kesunyian ke kesunyian lain

Tuhan, ketika kata-kata tersudut di kamar kosong
Pelabuhan-pelabuhan,  lantas terdiam
Ketika semua lautan  seakan berlarian meninggalkan
Hingga sepi begitu akrab merambati  waktu
Kalimat-Mu  dalam kitab suci begitu aku rindu
                
2011