Mencermati (tidak hanya menonton)
kehidupan artis menarik juga. Terlepas dari gaya hidup mereka yang glamour dll, ada kiprah
artis yang menjadi amatan sejumlah kalangan. Sebut saja, fenomena artis yang
banting setir ke dunia politik praktis entah untuk menjadi anggota dewan maupun
pemimpin dan wakil pimpinan daerah. Begitu pula fenomena artis yang menjadi
penulis. Memang tidak musykil atau aneh bila terdapat artis yang menjadi
penulis skenario baik untuk sinetron maupun film, tapi untuk tulisan-tulisan
lain seperti puisi, cerita pendek (cerpen), dan novel nampaknya baru belakangan
ini menggejala.
Sekadar contoh (mungkin ada yang
luput dari pengamatan), dulu Almarhum
Wahyu Sardono (Dono Warkop) pernah menerbitkan novel-novel antara lain Cemara-cemara Kampus yang dipublikasikan
penerbit kenamaan. Artis penyanyi Dewi “Dee” Lestari dengan npvel-novelnya
mulai Supernova hingga Rectoverso. Neno Warisman yang sudah
meluncurkan buku kumpulan puisi (antologi) karya dirinya. Artis film, sinetron,
presenter, penulis buku dan juga anggota dewan, Rieke Diah Pitaloka menerbitkan
antologi puisi Renungan Kloset dan
buku Kekerasan Negara Menular ke
Masyarakat. Juga Happy Salma serius jadi cerpenis dan telah menerbitkan dua
kumpulan cerpen, yakni Pulang (2006)
dan Telaga Fatamorgana (November
2008).
Selanjutnya, penyanyi mungil asal Bandung, Trie Utami
menerbitkan buku Karmapala dan Abhayagiri, yang mengungkap sejarah yang
pernah ada pada abad kedelapan. Yang akan segera dirilis adalah antologi
puisinya berjudul Cinta Setahun Penuh.
Kumpulan puisi ini, Juni 2010 masih dalam proses percetakan. Berikutnya, artis
penyanyi Melly Goeslaw menebirtkan kumpulan cerpennya bertajuk 10
Arghh. Buku ini sempat menjadi perdebatan menyangkut “kualitas” isinya.
Apalagi salah satu cerpennya berjudul Tentang
Dia diadaptasi menjadi sebuah film dan dikritik habis-habisan. Tak
ketinggalan belum lama ini artis film, sinetron, dan presenter Harry “Boim” de
Fretes terjun pula menjadi penulis naskah komik berjudul Halte Bis Rumpi. Kabarnya, komik ini tak tanggung-tanggung dibuat
bersambung hingga tiga edisi.
Fenomena artis menulis menjadi
sebuah lentikan pemicu kontemplasi lebih jauh di tengah budaya literasi
(menulis) yang kurang menggembirakan. Sejumlah kalangan menilai tradisi menulis
di kita termasuk di kalangan intelektual
dari tahun ke tahun merosot. Jangankan untuk menulis, menumbuhkan kegemaran membaca yang berjalin
berkelindan dengan dunia menulis saja sudah sulit di masyarakat kita. Dapatlah
dipamahi karena kita lebih akrab dengan tradisi lisan yang sudah berabad-abad
digunakan. Sebagian besar masyarakat masih suka dengan mendengar sesuatu ketimbang
membaca. Apalagi sangat jarang yang mengolah bahan bacaan itu untuk
pembelajaran hidup dan kehidupan.
Padahal sejatinya, selain
memerlukan komunikasi verbal (lisan) kita pun membutuhkan yang nirverbal yakni
lewat tulisan-tulisan. Dalam konteks literasi, orang boleh bilang menulis itu
tidak menjanjikan secara finansial. Tidak seperti di negara-negara lain
katakanlah, Amerika, Inggris, dan
Perancis yang hidup berkecukupan dengan menulis buku. Tapi keadaan finansial
penulis itu relatif. Tidak sedikit penulis yang profesional menjadi sukses
hanya dengan mengandalkan hidup dari tulisan-tulisannya, dari buku-bukunya.
Meski banyak pula penulis yang hidup serbakekurangan, minimnya modal sosial
dll. Satu yang perlu dicatat bagi sejumlah penulis yang “miskin” itu adalah keistikamah menggeluti jagat literasi.
Bagi salah seorang pejuang pers di kita
Ahmad Taufik (Redaktur majalah Tempo),
menulis itu miskin tapi mengasyikan. Ada
keasyikan saat mengungkapkan perasaan, ide-ide dalam pikiran, pertanyaan-pertanyaan
mengejar jawaban dsb. Mungkin ada kegembiraan tersendiri bila
tulisan-tulisannya dimuat di media, bahkan diterbitkan menjadi buku,
Sehingga wajarlah kalau artis
pun sampai banyak yang mengembangkan karier menjadi penulis. Terlepas dari
penilaiaan tentang karya mereka, ada spirit yang sejatinya dipetik oleh calon penulis maupun yang sudah
betul-betul jadi penulis, yakni keberanian mereka untuk menulis. Karena memang
menulis itu bukan sekadar wacana hanya buat dipikirkan dan diperbincangkan,
tapi menulis itu adalah ya menulis. Ada
sebuah buku menuliskan, “Salah seorang tante dari seorang penulis bertanya
kepada dia, “Apa yang akan kau tulis anakku, sayang?” Jawab keponakannya yang
penulis itu, “ Tante, seorang penulis yang benar-benar penulis tidak menuliskan
apa-apa, dia hanyalah menulis."
Lebih jauh menulis tidak
hanya di kalangan artis, tapi bagi orang
yang memilih jalan hidup menjadi penulis
lebih dekat dengan dunia “kesenian” Maksudnya, seni dalam pengelola, mengolah,
dan mengekspresikan apa yang dialami, dilihat, didengar, dan dirasakan. Bentuk
ekspresinya adalah tulisan baik fiksi mapun nonfiksi. Sebuah “seni” dalam
menulis yang diharapkan mengandung nilai yang penting, menarik, dan bermanfaat berbingkaikan nilai-nilai
estetik. Menjadi penulis adalah sebuah pilihan yang “menantang” kreativitas di
tengah suasana yang kurang mendukung, menghargai, memahami, profesi yang satu
ini. Menjadi penulis tak cukup minat dan dorongan, tapi juga keridhoan terhadap
segala konsekuensinya (akuntabel) dan membelajarkan diri secara kontinu.
Bersiapkah menjadi penulis? Jawabannya hanya satu menulis dan teruslah menulis (Ari Hidayat)
(Dimuat di Radar Tasikmalaya, 27 Oktober 2010)