Entri yang Diunggulkan

Di Sebuah Ranah

Saya menamainya   ranah   atau wilayah dalam arti seluas-luasnya di mana kebenaran dipersoalkan. Kebenaran dari yang mempersoalkan adalah k...

Kamis, 17 Mei 2012

Sungai di Kotaku, Riwayatmu Dulu




       Membuka kenangan saat lalu termasuk masa kanak-kanak boleh jadi banyak yang masih membekas dalam ingatan kita, termasuk tentang sungai. Saat duduk di bangku  Sekolah Dasar (SD) pada akhir 70-an, saya tinggal di Gang H Kartobi, Jl Citapen (kini Jl Tentara Pelajar), Kota Tasikmalaya. Di ujung gang ini  membetang Sungai Cimulu. Sebuah sungai tidak terlalu besar, tapi memberi kesan tersendiri bagi saya khususnya saat kecil dulu. Letak rumah orangtua yang tidak terlampau jauh dari Cimulu membuat saya akrab dengan sungai itu.
        Kesan itu terutama ketika waktu-waktu tertentu Cimulu disaatkeun. Tatkala saat, ketinggian air Cimulu menjadi di bawah lutut anak seusia saya (SD). Jadi, cukup dangkal juga dan warnanya yang tadinya kecoklatan menjadi bening, Hingga tampaklah bebetatuan kecil kehitaman di dasar sungai. Sebagai anak kecil saya bersama teman-teman kerap turun menyusuri sungai untuk mengambil ikan dengan sair bongkok.  Betapa gembiranya kami kalau melihat ikan-ikan seperti mujair, lele, betok, benteur, dan nilem,  dengan ukuran lumayan besar.         Dan kami pun menangkapnya dengan sair bongkok. Ikan-ikan yang berhasil kami tangkap dimasukkan ke dalam kantong plastik yang sebelumnya telah diisi dulu dengan  air.
      “Perburuan” kami itu terkadang dari Jl Citapen hingga ke dekat dam (Bendungan) belakang RSU Tasikmalaya, juga menyusuri ke  sebelah Utara menlewati bawah jembatan beton  Jl Sutisna Senjaya hingga seberang Sekolah Teknik (ST)/ kini SMPN 10 Tasikmalaya.
       Tentang ikan-ikan sungai itu dulu saya ingat  cukup banyak berkeliaran ikan-ikan kecil di air semacam ikan seribu (endol/burayak), jungjulung (ikan kecil yang dimulutnya ada sejenis moncong mirip jarum), dan  seperti ikan seribu tapi di atas kepalanya ada bintik putih (saya lupa ketika itu kami menyebut dengan apa jenis ikan itu). Tak jarang saya menyaksikan anak-anak ikan mujair bergerombol berkeliaran di Cimulu yang airnya bening ketika disaatkeun itu.
       Sebenarnya, di benak saya yang duduk di bangku SD tak ada niat menagkap ikan di sungai untuk dikonsumsi. Saya sekadar bermain sambil menagkap ikan. Sehingga, ikan-ikan hasil tangkapan saya pun sesampainya di rumah dimasukkan ke bak mandi atau begitu saja di simpan di ember (Ari Hidayat)

      Sungai Cimulu           

Rabu, 16 Mei 2012

Budaya Baca dan Nonton






      Ketika stasiun televisi (TV) mulai bermunculan di negeri Barat, para ahli komunikasi memprediksi tidak lama lagi media massa cetak akan lenyap. Begitu pula, saat di Indonesia bermunculan stasiun-stasiun TV swasta, banyak yang memperkirakan, pers cetak akan terdesak oleh media elektronik itu. Nyatanya, media massa cetak (surat kabar, majalah, tabloid, dan buletin kantor berita) tidak sirna, namun tetap eksis di tengah gempuran TV. Bahkan, belakangan ini seiring dengan otonomi daerah dan untuk keberagaman kepemilikan dan isi media, bermunculan  media-media massa cetak lokal di tanah air.
     Berbagai penelitian menunjukkan, masyarakat  lebih banyak mengonsumsi imformasi dan hiburan lewat TV ketimbang media massa cetak. Kehadiran TV juga film telah menggeser kebiasaan orang mencari informasi dan hiburan yang semula diperoleh dengan membaca, kini menjadi menonton media elektronik itu. Sehingga budaya nonton (watching culture) lebih kuat melekat pada masyarakat ketimbang budaya baca. Pergeseran inilah yang menjadi salah satu sebab, mengapa kebiasaan membaca kian menurun dalam masyarakat kita.
       Tulisan ini, tidak bermaksud membela salah satu media atau berusaha meproyeksikan seluruh dinamika, persoalan, dan latar belakang tradisi atau kebiasaan nonton dan baca, tapi sekadar memotret fenomena yang ada di tengah masyarakat.  Menonton TV atau film memang  disukai karena kelihatannya lebih atraktif, efektif, dan lebih gampang ketimbang membaca. Padahal, dengan membaca ada keasyikan tersendiri dan berguna untuk mengembangkan imajinasi.
       Dalam konteks penyedia informasi TV memang jauh lebih unggul ketimbang media cetak. Informasinya lebih cepat tersaji kepada pemirsa. Namun,  kita sering melupakan bahwa, orang pun perlu informasi yang lebih lengkap, mendalam termasuk latar belakang dan sisi lain dari informasi yang tersaji melalui media massa elektronik. Informasi seperti ini hanya bisa diperoleh dari pers cetak. Selain itu, media cetak pun dapat dibawa ke mana-mana dan lebih mudah mendokumentasikannya (dikliping).
     Media cetak pun (khususnya rubrik sastra dan budaya) dapat dijadikan alat untuk mengasah kepekaan perasaan kita, mengembangkan imajinasi, belajar tentang bahasa yang indah, dan untuk hiburan yang cerdas dan bermutu.  Apalagi program-program hiburan di TV kerap menuai kritikan seperti mengumbar kekerasan, sikap hidup hedonistis (terlalu mementingkan duniawi), takhayul, dan terlampau menjual mimpi. Tema-tema yang berkutat seputar balas dendam, tumpahan air mata berlebihan, dan persoalan-persoalan kalangan high class (kelas atas) yang sangat kontras dengan kehidupan sebagian besar masyarakat kita.
     Ironisnya,  khalayak pun nampaknya menyukai  tayangan-tayangan (sinetron, film televisi, infotaintment) seperti itu. Tengoklah para ibu yang rela duduk berjam-jam di depan TV hanya untuk menonton program semacam itu.  Budaya menonton, memang telah menggerus kebiasaan membaca kita termasuk di kalangan muda dan anak-anak kita. Gejala ini sungguh mengkhawatirkan, karena itu perlu mendapat perhatian bersama. Tradisi membaca kini perlu digairahkan kembali agar bangsa kita bisa lebih maju. Dengan membaca berarti kita telah membuka pintu dunia, di mana kita akan menemukan beribu jalan yang bisa memperluas cakrawala pemikiran, menambah wawasan, menimba ilmu, dan “komunikasi” intelektual dengan penulis. Guna mewujudkan ini, yang paling penting adalah mengubah kebiasaan dan membiasakan diri membaca  secara teratur. Sehingga dari sana akan muncul kecintaan pada bacaan (Ari Hidayat)

Selasa, 15 Mei 2012

Cerpen


Setelah Kepergian Itu
Oleh: Ari Hidayat

              Irna terkejut ditelepon kepolisian yang memberitahukan adiknya yang lelaki, Bani mengalami kecelakaan lalu-lintas. Mobil yang dikendarai Bani bertabrakan dengan truk. Mendengar kabar itu rinai air mata pun meleleh di pipinya, tubuhnya gemetar dan mendadak lemas. Dadanya sesak menahan sedih. Meski begitu,  ia sempat menelepon saudara-saudaranya. Tak berapa lama Irna bersama suaminya, Adi menuju rumah sakit (RS) tempat adiknya mendapat pertolongan.
             Di kotanya akhir-akhir ini hujan sering turun memanjang di tubuh kemarau. Sepertinya peristiwa alam tidak bisa diramalkan lagi. Cuaca membawa anomalinya tersendiri. Hari itu pun hujan mengguyur deras. Dari kaca mobil yang disetiri suaminya itu, Irna melihat jari-jari hujan menetes kencang di luar kendaraannya dan menyentuh-nyentuh badan luar mobil.  Di kendaraan itu mereka berdua membisu. Sempat ia sekali berkata pada suaminya, berharap adiknya dapat terselamatkan. Adi, suami Irna hanya menggangguk pelan.
             Setiba di rumah sakit, Irna memburu meja resepsionist. Ada jawaban adiknya  memang dirawat di RS itu dan sekarang ada di ICU. Irna dan Adi  diminta menunggu sebentar di ruang tunggu. Sesaat kemudian dokter menghampirinya, mengabarkan kondisi Bani. Buat menolong jiwanya dokter akan mengoperasi Bani. Kata dokter ada pendarahan di otaknya yang harus segera ditangani. Dokter meminta Irna selaku keluarga korban menandatangani persetujuan operasi itu. Ia menoleh ke suaminya. Adi menggangguk. Dan Irna membubuhkan tanda tangannya di berkas itu. Setelah itu,  hati Irma sibuk dalam doa-doanya. Tangan Adi menggenggam tangan istrinya buat menentramkan. Mereka duduk berdampingan di ruang tunggu tak jauh dari ICU.
            Sesekali dalam benak Irna dan Adi melintas bayangan-bayangan kenangan bersama Bani. Irna berpikir bagaimana ia harus mengatakan keadaan Adi kepada Zahra dan Naufal,  anak-anaknya Bani mengingat mereka masih kecil. Mungkin Zahra yang sudah duduk di kelas empat SD bisa memahami, tapi bagaimana dengan adiknya yakni Naufal yang masih berusia empat tahun itu? Irna jadi ingat peristiwa dua tahun lalu saat Bani memutuskan bercerai dengan istrinya. Dan setelah itu, mantan istrinya pergi ke sebuah kota di luar Pulau Jawa. Karena suatu alasan tertentu dari istrinya itu dan dikukuhkan hakim pengadilan agama, meski kedua anak mereka masih di bawah umur, akhirnya diputuskan diasuh oleh Bani.
              Setelah orangtuanya bercerai Zahra dan Naufal hidup bersama Bani dan seorang janda tua sebagai pembantu merangkap babysitter di rumah Bani yang  masih satu kota dengan Irna. Haruskah Irna berusaha jujur mengatakan bapaknya Zahra dan Naufal kecelakaan? Tidakkah untuk sementara mengatakan alasan yang lain saja. Sepertinya kurang elok kalau anak-anak itu diberitahu kejadian yang sesungguhnya,  toh di rumah mereka masih ada pembantu. Selain itu,   Irna pun akan meminta familinya yang bersedia untuk sementara menemani keponakan-keponakannya itu.
              “Bani, oh Bani. Semoga Allah menyelamatkanmu,” batin Irna.
              Dokter sudah selesai mengoperasi Bani dan mengabarkan, Bani belum siuman. Adik Irna itu masih di bawah pengawasan tim dokter untuk melihat perkembangan selanjutnya. Irna dan Adi menengok ke dalam ruang ICU lewat jendela kaca. Tampak oleh mereka adiknya terbaring di sebuah ranjang dengan peralatan medis di dekatnya. Begitulah Bani, hingga  dua minggu  setelah kecelakaan, sudah dua kali menjalani operasi. Bahkan kini tulang rusuknya yang patah, kata dokter, harus diganti dengan pin khusus dan untuk itu akan dioperasi lagi.
              Ya, dua minggu. Bagi Irna waktu terasa bergerak lambat. Untuk penunggu Bani di RS, ia bergiliran dengan saudara-saudaranya yang lain. Tapi, yang lebih sering adalah Irna. Hampir tiap hari Irna ada di RS. Apalagi kondisi Bani yang mengkhawatirkan. Adiknya itu dalam keadaan koma, sadar sebentar dan koma lagi. Saat sadar itu sebenarnya belum pulih benar. Dalam keadaaan seperti ini perawat di ICU bertanya dengan pelan dan hati-hati, ya, semacam terapi singkat menurut perawat itu.
                “Pak Bani, sudah agak baikan ya. Masih ingat nggak ini siapa?” tanya perawat  itu seraya tangannya  menyentuh pundak Irna sebentar.
                Irna melihat Bani menggangguk. Mulutnya menyebut nama Irna dengan pelan nyaris tanpa suara . Perasaan Irna tersentuh lagi, melihat Bani dengan kondisi begitu . Dalam hati Irna bercampur aduk antara senang, sedih, sekaligus  setengah kabut kekhawatiran. Dan benar  saja, sehari setelah itu, Bani kembali tak sadarkan diri. Kembali hati Irna berbalut kecemasan. Dalam keadaan semacam itu Irna jadi teringat pada Zahra dan Naufal. Irna telah berbohong pada mereka bahwa Bani sedang tugas ke luar kota. Ya, kebohongan tetap saja kebohongan.
               “Papa ke luar kota kok lama?” tanya si kecil, Naufal.
               ” Tante, Papa kok nggak pernah nelpon  Zahra. Ke mana sih tugasnya?” tambah Zahra.
                Dan Irna pun hanya terdiam, seperti kucing yang ketahuan mencuri ikan di dapur. Malu juga dia terhadap keponakan-keponakannya itu.
                 “Bani, oh Bani, adikku. Maafkan tantemu, Zahra dan Naufal,” kata Irna dalam hatinya.
                  Begitulah mungkin manusia terkadang sulit untuk mengubur prasangka. Sebuah prasangka yang berbalut kecemasan. Menerka-nerka tentang sesuatu yang belum tentu terjadi. Begitu pun Irna, diam-diam memeram kekhawatiran, bagaimana kalau Bani tak tertolong? Hatinya berusaha menepisnya. Tidak. Allah pasti akan menyelamatkan adiknya lewat perantaraan dokter dan paramedis di rumah sakit itu. Tapi. Tapi. Keadaan Bani belum menggembirakan pula, bahkan seperti semakin gawat. Kalau sudah sumpek dengan pikiran seperti itu, Irna kembali larut dalam doa dan berusaha melupakannya dengan istirahat.
                  Dan  benar saja kekhawatiran itu, ketika suatu malam dengan tergesa-gesa seorang perawat mendekati Irna dan memintanya ke ICU. Di ruangan itu sudah berdiri dokter jaga dekat tempat tidur Bani,  tangannya masih memegang alat bantu pemicu  detak jantung. Mata dokter itu seperti tak lepas mengamati monitor  pendeteksi detak jantung yang sinyalnya terlihat makin datar, hingga sama sekali nyaris lurus dan terdengar bunyi seperti ,”Tut… tut… tut.
                 Irna membaca isyarat itu.
               ”Bagaimana dokter. Dok, bagaimana adik saya?” tanyanya terbata-bata. Suaranya seperti tercekat.
                “Dia sudah pulang. Yang tabah ya Bu. Kami sudah berusaha keras menyelamatkan Pak Bani, tapi Allah berkehendak lain,” tutur  dokter.
                 Dada Irna kian bergejolak, tubuhnya bergetar, Ada sesuatu yang mengalir mungil di pipinya. Matanya tak lepas memandangi wajah Bani, untuk yang terakhir kali.

                                                          ***

                 Lima puluh hari setelah kepergian Bani, tanpa diduga ada sepucuk surat dari Pangadilan Agama (PA). Intinya mantan istri Bani mempersoalkan lagi dan mengharapkan Zahra dan Naufal diasuh oleh ibu kandungnya sepeninggal Bani sebagai ayah kandung mereka. Namun, seminggu setelah wafatnya Bani, Irna sempat berunding dengan adik-adiknya dan secara hati-hati  bertanya pada anak-anaknya almarhum kemungkinan mereka untuk diangkat menjadi anak oleh Irna. Ya, tentunya dengan bahasa yang dipahami anak-anak seusia mereka. Saudara-saudara Irna dan Zahra dan Naufal nampaknya setuju saja. Namun, kini muncul soal baru tentang surat gugatan mantan istri Bani itu.
                 Zahra memang masih ingat dengan ibu kandungnya. Sedangkan Naufal mungkin sama sekali belum ingat tentang peristiwa dua tahun lalu.  Sebelum memenuhi panggilan PA, Irna meski dengan berat hati mengabarkan tentang masalah itu pada Naufal dan kakaknya. Yang mengejutkan Irna, Zahra begitu pula Naufal tidak mau untuk ikut dengan ibu kandungnya. Apalagi kini mantan istri Bani itu sudah menikah lagi dan mempunyai satu anak dari suaminya sekarang. Bahkan Zahra dan Naufal mengatakan, ibunya itu adalah “orang asing” bagi mereka, dan berharap ikut dengan Irna dan Adi saja.
                 Meski di PA hakim tidak menanyakan atau melibatkan Zahra dan Naufal, sebab mereka masih di bawah umur, namun Irna sempat juga mengungkapkan keinginan anak-anak angkatnya itu sebagai fakta pendukung agar Zahra dan Naufal ada di bawah pengasuhannya. Sidang pun cukup alot. Mantan istri Bani memakai jasa pengacara, sedangkan Irna tidak. Irna sendiri yang terlibat dalam persidangan-persidangan itu didukung sejumlah saksi dari saudara-saudara dan juga suaminya, yakni Adi. Walau  hatinya sempat dirundung kecemasan akan kalah di persidangan, tapi akhirnya saat hakim memutuskan bahwa Zahra dan Naufal di bawah pengasuhan Irna sebagai orangtua angkat yang sekaligus tante dari kedua anak yatim itu,  hati Irna pun melonjak kegirangan. Bagi Irna keberhasilan persidangan itu adalah kelanjutan  kegigihan Bani agar anak-anaknya tidak jatuh ke pengasuhan mantan istrinya.  Melihat wajah Naufal  pun Zahra ada bayang-bayang Bani yang tak jua menghilang.***   

(Dimuat di Harian Radar Tasikmalaya, 22 Mei 2011)

Rabu, 09 Mei 2012

Antara yang Maya dan Tercetak




         Kini ada kebiasaan baru sejumlah masyarakat Indonesia, yakni suka membuat status di jejaring sosial Facebook (Fb) dan juga Twitter. Tentang kebiasaan ini seseorang sempat bertanya kenapa kebiasaan itu muncul,  apakah saluran komunikasi dengan orang-orang terdekat sudah tercekat dan tersumbat? Memang membikin status di Fb dan “berkicau” di Twitter seakan menjadi gaya hidup baru masyarakat di era posmodern ini. Apa pun bisa dituliskan di status, dinding Fb maupun mikroblog Twitter, mulai dari aktivitas terbaru,  informasi, bahkan puisi hingga sekadar narsis dan keluh-kesah dalam kehidupan ini.    Nampaknya mereka itu sedang “deman” dengan jejaring sosial, seamsal laman Fb dan Twitter.
         Tak kurang dari pernyataan dia, sempat pula  diungkapkan sejumlah kalangan,   tentang adanya pergeseran kebiasaan masyarakat kita dalam mengakses informasi termasuk untuk interaksi sosial lewat dunia maya (internet). Meski maya, namun bentuk media komunikasi dan informasi ini sudah menjadi ruang publik. Sebuah jagat dengan karekteristik ambigu antara yang nyata dan semu. Dalam konteks kebiasaan baru itu, Presiden Global Ethic Foundation Prof Hans Kung (82) mengungkapkan dalam salah satu bukunya, “Kita hidup di suatu masa, di mana banyak kekuasaan moral kehilangan kredibilitasnya, banyak lembaga terperangkap dalam krisis identitas yang parah, tidak sedikit nilai yang diselewengkan, suatu masa di mana orang bisa duduk berjam-jam berhadapan dengan realitas maya.”
           Ya, kebiasaan baru yang mementingkan realitas maya ketimbang saluran-saluran komunikasi lain yang dekat, yang lebih bernuansakan nilai-nilai pembelajaran intens, memerlukan etika dan pranata komunikasi tertentu, dan lebih mempribadi. Sepertinya, kita sedang larut dalam euforia (ingar-bingar atau kegembiraan yang berlebihan) banjir elektronika era posmodern kini, terutama dengan kemajuan di bidang teknologi komunikasi dan informasi. Belum lagi proses  penggunaan (akses) seperti kecepatan hasil pencarian, kemudahan, pun kecepatan publikasi  menjadi keunggulan tersendiri yang ditawarkan media maya. Akankah media teknologi berbasis internet ini menggerus saluran-saluran komunikasi yang ada? Bisakah suatu saat media-media massa konvensional (terutama cetak dan elektronik) menjadi punah?
           Bagaimanapun, tidak ada kata mati untuk media massa (pers) cetak (surat kabar/koran, majalah, tabloid, dan buletin kantor berita) termasuk media elektronik juga sumber pengetahuan yang lebih serius dan terkesan ilmiah yakni jurnal-jurnal dan buku-buku. Ketika televisi (TV) ditemukan lantas mulai berkembang di masyarakat, banyak ahli komunikasi Barat yang memrediksikan tak lama lagi media cetak akan mengalami kepunahan. Tapi, kenyataannya sampai kini media cetak tetap eksis, mampu bertahan, dan berkembang. Di kita pun manakala bermunculan TV swasta akhir 80-an, ada kekhawatiran pengelola dan prakstisi pers cetak seperti yang diramalkan pakar komunikasi Barat itu. Hingga diakui saat itu, bahwa media massa  cetak terdesak oleh TV.
           Survei Menneg Komunikasi dan Informasi tahun 2003 menunjukkan, bahwa jumlah penerbitan pers kita tinggal 450 penerbit dengan total tiras sekira 7 juta eksemplar. Dari jumlah itu surat kabar mencapai 4,2 juta eksemplar, majalah 1,4 juta, dan tabloid 1,1 juta eksemplar. Sebagai perbandingan pada era Orde Baru hingga awal Reformasi angka tiras penerbitan masih 14 juta eksemplar dengan jumlah surat kabar mencapai 6 juta buah. Data Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS) pada 2008 menyatakan dari 429 anggota SPS yang terdaftar hanya sekira 30 persen yang dikategorikan sehat secara bisnis. Sebenarnya merosotnya tiras media cetak dari waktu ke waktu tidak hanya  terjadi di kita, tapi terjadi di belahan dunia lainnya termasuk di Inggris, seperti yang selalu dilaporkan World Association Newspaper (WAN).
            Fenomena penurunan tiras itu tidak serta merta bisa dijadikan parameter, bahwa pers cetak sudah mati suri dan  akan punah. Hidup dan matinya media tidak semata-semata ditentukan tiras, tapi lebih oleh faktor intern dan kebijakan politik. Hanya pers dulu yang menjadikan tiras sebagai nafas atau nyawa media. Pada era  ekonomi kini, iklanlah yang menjadi “nafas” sedangkan isi menjadi “jantung” media. Dengan tiras yang sedang saja, banyak kini media termasuk daerah dan lokal yang masih bertahan dan tetap berkembang. Memang, sejatinya kini media cetak lebih gesit mengembangkan kreativitas, inovasi, meningkatkan kinerja termasuk kekompakan sumber-sumber internal,  meraih pembaca baru, dan mengembangkan “suasana” atau terobosan interaktif dengan pembaca potensialnya di tengah situasi sekarang yang lebih kompetitif.
             Menanggapi terdesaknya pers cetak oleh media elektronik dan digital, beberapa waktu lalu  sejumlah surat kabar pun melakukan perubahan . Media-media terutama surat kabar praktis berubah baik dalam ukuran, kolom, dan kemasannya. Ada surat kabar yang mengadopsi tabloisasi dalam tampilannya dan menampilkan warna dalam kemasannya untuk membantu pembaca dalam visualisasi. Namun, meski berubah media-media itu tetap mempertahankan “isi” atau identitas dan jatidiri surat kabar. Juga “gila-gilaan” dalam merengkuh iklan sebagai nafas media.  Hingga sekarang media cetak pun masih berkembang, mengeksplorasi diri, bahkan berkolaborasi dengan  media internet. Contohnya, dengan membentuk media online bahkan ada media yang menampilkan interaksi dengan pembacanya lewat jejaring sosial yang kini moncer, yaitu Facebook.
               Dengan demikian dapatlah dikatakan, perkembangan “ganas” dalam teknologi hanya menyangkut perangkat keras (produk teknologi) . Kita bisa melihat bagaimana keping cakram (CD, VCD, DVD, dan juga MP3)  nyaris memunahkan kaset rekaman seluloid (pita), kamera digital menyingkirkan alat foto berfilm (seluloid),  disket termasuk (floppy disk) diganti flashdisk, dan telepon genggam yang “mengubur” radio panggil (pager). Sedangkan, dalam teknologi komunikasi dan informasi dengan perkembangannya baik yang tercetak, digital, elektronik, dan kini berbasis internet ada “software” berupa spirit (jiwa) dan nilai-nilai komunikasi yang pada dasarnya  mirip. Kesamaan kedua elemen itu, menjadi landasan dalam perkembangan media-media itu yang akan saling mengisi dan melengkapi.
           Seyogianya pandangan dan sikap yang cenderung  memosisikan keduanya  secara kontras ataupun paradoksal, walau secara alami tentu saja ada persaingan di antara media-media itu. Kita pun tak perlu apriori terhadap media baru berbasis internet sepanjang motif kita mencari sesuatu dan berinteraksi dengan sesama dalam bingkai nilai-nilai yang penting, bermanfaat, dan bermakna melalui ruang maya sekalipun. Bukankah dengan sikap dewasa seperti itu  kita bisa menjadikan media massa konvensial dan yang berbasis internet sekaligus sebagai sarana pembelajaran bermakna?  Di sinilah mungkin terdapat nilai pembelajaran bagi hidup dan kehidupan kita melalui  “ruang sekolah” atau “bangku kuliah” bentuk lain, yakni internet. Yang dibutuhkan untuk belajar sambil bermain ataupun bermain sambil belajar di jagat maya itu, antara lain sikap  kehati-hatian, sebab “murid” terkadang berperan ganda sebagai “guru” dan guru kerap merangkap sekaligus murid. Adakah kelas lain untuk belajar  “sebebas” di ruang maya? (Ari Hidayat)
(Dimuat di  Radar Tasikmalaya, 4 Desember 2010)