Entri yang Diunggulkan

Di Sebuah Ranah

Saya menamainya   ranah   atau wilayah dalam arti seluas-luasnya di mana kebenaran dipersoalkan. Kebenaran dari yang mempersoalkan adalah k...

Rabu, 25 April 2012

Puisi-puisi Ari Hidayat


          


Diary
 : Anna
Membaca halaman ingatan tentangmu
serupa saja catatan kebersamaan:
senyummu menggoda senja, kerling matamu
nyanyian hatimu bagaikan keindahan cengkrama
bulan dan bintang di semesta malam
Esoknya saat ku terjaga dari lelap tidur, kau hadir
dengan secangkir doa, sepiring harapan di tangan
mendorongku melahap pencarian penghidupan
keseharian
Pada pagi miliki kita, juga tersuguhkan magnet
yang menarik wajahku mengecup-ngecup
bibir gelas berisi kopi bikinanmu dan tak bosan
menghirup aromanya. Aromanya
Kini kembali kubuka catatan harian ini dan kau
pun muncul masih bersama senyum memikat senja
hidangan dengan aroma paginya itu
sekaligus cerita diam-diam tentang keindahan malam
Meski aku tetap tergoda, tak, takkan lagi:
kubelalakkan mata karena pesonamu
kubentangkan kata-kata di bibir karena pesonamu
kususun larik-larik sajak dalam hatiku sebab mengagumimu
Tak akan lagi
Aku hanya ingin melukis setangkai  merah mawar hati
dalam daun beserta sekalian hijaunya
dalam dahan sekalian anak-anaknya
dalam rasa yang tak dapat terungkap lewat sejuta kata
Hanyalah keheningan warna yang sudah bersenyawa
dalam lukisan itu, mengisyaratkan bahasa yang ingin
selalu dan selalu bersama terlukis dalam kanvas kehidupan

2010 – 2012





      
                  Dikerjai Puisi Melukis Kembang 

           Dirimu, rahasia keindahan bulan disembunyikan
           sayap-sayap  mentari. Semesta pun jadi benderang
           Dirimu, semilir mawar, keindahan rupa warna
           menerobos hati juga mimpiku. Sajak pun menjadi
           nyanyian keindahan   
           Dirimu, penghias kebisuan ranjang, teman
           menawan dalam kesenyapan perjalanan dan keresahan
           pertemuan tertunda di ruang kosong itu. Lampu kamar pun
           rebah mengalah dalam keremangan
           Dirimu, serupa buku meski sudah sempat kubaca, tapi
           menarik mataku lewat selimut malam, hanyut dalam
           tarian kontemplasi. Aku pun nyungsep di bawahnya
           membaca ulang lekuk-lekuk pesona di lembaran-lembarannya.
           Di sana, kueja indah kata, kujelajahi gunung-gunung makna,
           kuselami mutiara rasa, dari balik kesahajaan
           hadirmu

                                                                                2010
                          



Jumat, 20 April 2012

Sosok Perempuan dalam Media Massa



       Berbagai penelitian tentang  perempuan dalam media massa nyaris semuanya menunjukkan wajah perempuan yang kurang menggembirakan. Perempuan sering digambarkan sebagai sosok yang penuh derita, noda dan terdiskriminasi.Media massa, khususnya televisi, menampilkan perempuan sebagai sosok yang lemah, pasif dan tidak berdaya. Padahal perempuan pun sama dengan laki-laki sebagai manusia utuh yang terdiri atas badan  dan jiwa serta bebas menentukan sikap dan menjadi dirinya sendiri. Sejumlah kalangan menilai, pemberitaan tentang wanita pun masih sedikit, sehingga terjadi ketimpangan informasi.
        Isu seputar perempuan seperti kesetaraannya dengan laki-laki, terutama dalam sektor publik, memang sudah menjadi kebijakan pemerintah. Tak kurang dari regulasi tentang perempuan dan pembentukan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan yang mengurusi masalah-masalah kaum perempuan . Tapi, kondisi aktual masyarakat saat ini kurang mendukung upaya penyetaraan itu.  Masyarakat kita masih menganut ideologi dan nilai-nilai patriarki, yang menganggap posisi laki-laki lebih dominan ketimbang perempuan. Bahkan, perempuan masih dianggap sebagian besar orang sebagai subordinat dari sebuah sistem.
        Lewat keadaan seperti ini, tentu saja yang menjadi korban adalah perempuan. Namun, media massa kita belum mengungkapkan bias gender itu. Menurut anggota Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID), Jawa Barat,  DR Atie Rachmiatie, MSi, berdasarkan penelitian dan pengamatan acara-acara di stasiun televisi (TV), maka terjadi bias informasi. Akibatnya, 61 persen acara menggambarkan fungsi dan profesi perempuan sebagai orang yang tidak bekerja. Sisanya, 39 persen menggambarkan perempuan karier dengan pekerjaan yang pantas untuk perempuan seperti sekretaris (Pikiran Rakyat, 25 Agustus 2007).
           Baik media massa cetak (surat kabar, tabloid dan majalah) dan elektronik (TV dan film) masih menggambarkan sosok perempuan seperti yang diungkapkan DR Thamrin Amal Tomagola (1990), yakni berkisar seputar 5-P: pigura, pilar, peraduan, pinggan, dan pergaulan. Pigura menyangkut kecantikan dan pemikat secara biologis, pilar sebagai pengelola rumah tangga, peraduan yakni yang berhubungan dengan seks, pinggan yaitu berkaitan dengan dapur dan pergaulan untuk urusan publik sebagai pendamping lingkungan kerja. Pemberitaan tentang wanita pun seringkali menyangkut sektor domestik, yang sudah menjadi kodrat perempuan, misalnya mengenai kecantikan, mengatur waktu antara karier dan keluarga dsb.
             Pencitraan perempuan seperti itu dapat dilihat saat media massa memproyeksikan perempuan. Tidak sedikit dalam media iklan, halaman depan tabloid, dan majalah hiburan yang menampilkan wajah dan bentuk tubuh perempuan sebagai daya tarik. Begitu pula dengan sinetron-sinetron dan film masih juga menggambarkan perempuan sebagai makhluk yang lemah, tergantung pada pria, yang hanya di rumah dan peran utamanya hanyalah menyenangkan kaum pria. Selain itu, banyak pula perempuan yang dianggap sebagai simbol seks. Sosok perempuan dalam media massa seperti itu tentu saja menunjukkan stereotip yang merugikan mereka.
             Dalam TV, gambaran perempuan tanpa pekerjaan, sebanyak 65 persen digambarkan sebagai pigura (pajangan atau dekorasi),  rekreasi 34 persen dan keluarga 1 persen. Seandainya sinetron menampilkan image (citra) perempuan yang positif, maka akan sangat berpengaruh pada pemikiran kaum wanita baik dalam peran publik maupun domestiknya. Lantas kenapa media massa masih menggambarkan sosok perempuan seperti di atas? Apakah yang ditampilkan media massa (cetak dan elektronik) sebagai cerminan realitas perempuan dalam masyarakat?
            Selain karena kuatnya budaya patriarki, juga praktisi media, baik pemilik, sutradara, penulis skenario, produser, maupun jurnalis (wartawan) masih didominasi oleh kaum laki-laki. Kenyataan ini berdampak kepada perspektif yang dipakai media massa. Sebagai contoh, tahun 2007 perempuan jurnalis di Indonesia hanya 8,6 persen dan sisanya 91,4 persen adalah laki-laki.

Masyarakat tontonan
             Di dalam masyarakat tontonan (society of spectacle), perempuan berfungsi dominan sebagai pembentuk citra (image) dan tanda (sign) berbagai komoditas (misalnya salesgirl, covergirl dan modelgirl). Menurut Guy Debord, seperti dikutip Yasraf Amir Piliang (1998),  masyarakat tontonan adalah masyarakat yang dalam dirinya setiap sisi kehidupan menjadi komoditas. Setiap komoditas itu menjadi “tontonan”. Dalam masyarakat tontotan, tubuh wanita sebagai objek tontonan untuk menjual komoditas - atau tubuh itu sendiri sebagai suatu komoditas tontonan – mempunyai peran yang sangat sentral.
           Menjadikan tubuh sebagai tontonan bagi sebagian perempuan adalah jembatan atau jalan pintas untuk masuk ke dunia populer, meraih popularitas, mengejar gaya hidup, dan buat mencapai kepuasan material. Dalam kondisi ini, perempuan tanpa menyadari sesungguhnya mereka telah dikonstruksi secara sosial untuk berada di dunia marjinal yakni dunia objek, dunia citra, dan dunia komoditas. Karena pencitraan perempuan dalam masyarakat tontonan  seperti itu, kerap media massa khususnya TV, dituduh hanya menampilkan perempuan sebagai pemikat biologis semata. Inilah yang acapkali dilontarkan kaum feminis sebagai kritikan kepada media massa.
          Bagaimanapun, media massa memiliki manfaat yang cukup penting dalam masyarakat. Tokoh emansipasi kita, RA Kartini yang hari kelahirannya 21 April diperingati setiap tahun sebagai Hari Kartini  pun,  mendobrak tradisi yang tidak sesuai dengan harkat dan martabat kaum wanita lewat bacaan-bacaannya yakni majalah wanita ketika itu. Karena itu, gambaran positif tentang perempuan dalam media massa akan memperbaiki citra mereka. Menyangkut, sedikitnya media menampilkan sosok perempuan, menurut Akhmad Zaini Abar, lebih disebabkan faktor struktural, yakni realitas sosial bahwa laki-laki lebih banyak menciptakan peristiwa yang layak menjadi berita ketimbang perempuan.
          Media massa berfungsi menyampaikan fakta. Karena itu, gambaran perempuan dalam media massa merupakan cermin realitas yang ada dalam masyarakatnya. Kata orang, mengharapkan setara dalam segala sesuatu adalah sebuah utopia. Meskipun, kaum wanita bisa saja berdalih itu adalah cita-cita dan perjuangan. Ketimbang mempersoalkan terus-menerus mengenai. kesetaraan gender, feminis – maskulin dsb., alangkah lebih baiknya jika perempuan lebih menunjukkan prestasi, karya, kecakapan dan peran dalam masyarakat yang tidak kalah dengan kaum laki-laki. Sehingga, gambaran ideal tentang perempuan pun akan tampil dalam media massa (Ari Hidayat)
(Dimuat di SKH  Kabar Priangan,  16 September 2008)

Kamis, 19 April 2012

Menjaga Tulisan Jangan Sampai Hilang


     Seorang kawan yang hobi menulis mengeluhkan saat USB (flashdisk)-nya kena virus hingga sejumlah data tulisan di dalamnya hilang. Begitu pula saat laptopnya diinstall tulisan-tulisan di harddisk komputer jinjingnya itu jadi lenyap pula. Saya hanya menyarankan perlunya back-up data termasuk dengan hardcopy (print-out)-nya. Tapi dia masih tetap khawatir toh bagaimana bila back-up-an datanya juga kena virus lagi atau print-annya itu hilang? Hingga ia memutuskan akan menyimpan saja tulisan-tulisan baik yang sudah diedit maupun belum di blog miliknya.
     Dari cerita seorang kawan itu,  saya jadi ikut memikirkannya sejenak. Meski saya belum pernah mengalami persoalan separah dia. Sebab saya selalu mem-back-up data tulisan-tulisan yang saya buat lengkap dengan hasil print-nya. Paling-paling satu file di USB yang rusak disebabkan saya keliru menulis langsung di flashdisk hingga setelah tulisan itu selesai dan disave sulit dibuka lagi. Atau saat PC saya mesti diinstall saya sudah punya copy data di hardisk komputer saya.
    Saya juga teringat seorang cerpenis yang sempat tinggal di Australia dan naskah kumpulan cerpennya hilang. Meski akhirnya bisa disusun kembali dan antologi cerpennya diterbitkan. Saya punya seorang dosen yang suka menulis di media yang kesulitan ketika akan mengumpulkan tulisan-tulisannya yang pernah di dimuat di media-media massa ternyata file-filenya sdh tidak ada. Begitu pula dengan sejawaran yang rajin menulis, Prof Dr Taufik Abdullah mengalami kesukaran serupa saat tulisan-tulisannnya hendak dikumpulkan untuk dibukukan.
     Hingga, bagi seorang penulis memang  "keamanan" tulisan dan naskahnya  yang berujung pada dokumentasi karya-karyanya, baik yang sudah diterbitkan atau belum, maupun yang sudah diposting atau masih berupa draft amatlah penting. Dan saya pun tak berpretensi cara saya dalam "menjaga" tulisan-tulisan saya itu diikuti ataupun mengajak keputusan teman saya untuk menyimpan tulisan-tulisannya di blog. Saya hanya  mengulas sedikit yang berawal  darisedikit pengalaman teman saya itu tentang file/naskah tulisan (Ari Hidayat)

Rabu, 18 April 2012

Perempuan dan Politik







Perempuan yang Terjun ke Politik

Menebar Kemampuan Menuai Keberdayaan

         Perempuan pada dasarnya sama dengan laki-laki, terdiri atas badan dan jiwa. Ia pun bebas menentukan sikap dan menjadi dirinya sendiri. Secara normatif, hak-hak wanita dalam bidang hukum dan pemerintahan sudah lama diakui. Baik dalam Konvensi Hak-hak Asasi Manusia yang tercantum dalam Piagam PBB tahun 1948, maupun dalam UUD 1945. Di alam reformasi kini, semakin banyak perempuan yang tak ragu-ragu terjun ke dunia politik yang terkesan milik lelaki itu. Diantaranya,  ada yang mengincar kursi legislatif dan juga eksekutif dan berhasil mewujudkan harapannya. Bahkan kursi presiden RI pun pernah diduduki oleh perempuan bernama Megawati Soekarnoputri.
            Perangkat perundang-undangan pun sudah mengakomodasinya yakni dengan adanya kuota 30 persen  perempuan di parlemen dan tidak adanya diskriminasi bagi wanita untuk berkiprah dalam kancah politik. Kondisi inilah  sebagai salah satu jalan yang mengantarkan sejumlah perempuan menduduki jabatan-jabatn penting baik di pusat maupun daerah. Sehingga, kini adanya wanita yang menjadi lurah, camat, dan bupati menjadi pemandangan yang biasa. Contohnya,  bupati di Majalengka, Jawa Barat adalah seorang wanita yaitu, Ny Tutty Hayati Anwar.
           Kuota 30 persen keterwakilan perempuan di lembaga legislatif, harus dianggap sebagai peluang emas bagi perempuan yang sebelumnya termarjinalkan baik karena faktor struktural maupun  kuatnya budaya patriarkhi (lelaki lebih dominan ketimbang perempuan) dalam masyarakat kita. Meski begitu, perempuan janganlah hanya menjadi pelengkap untuk memenuhi kuota (kuantitas), tapi perlu pula menunjukkan kemampuannya sebagai legislator bila ia terpilih nanti. Ini penting agar perempuan dapat memberikan warna dan atmosfer baru di gedung dewan.
           Tentunya sebagai wanita sah-sah saja, bila ia pun meperjuangkan kepentingan kaumnnya. Isu-isu aktual dan strategis seperti masih tingginya angka kematian ibu dan maraknya eksploitasi wanita termasuk kekerasan dalam rumah tangga layak diperhatikan.  Dalam konteks kredibilitas di Indonesia secara kuantitas perempuan lebih banyak ketimbang laki-laki. Tapi, secara kualitas perempuan perlu meningkatkan diri. Meminjan istilah pengamat politik Eef Saefullah Fattah yang dikutip Iradatul Aini bahwa, banyak  pemilih perempuan, namun sedikit yang terpilih. Kredibilitas (dapat dipercaya) menjadi penting untuk keberlangsungan interaksi langsung maupun tidak, partai yng mengusungnya maupun  dengan rakyat yang memilihnya.
           Tentunya, kita semua berharap  wanita anggota legislatif baik pusat maupun daerah dapat menunjukkan kemampuan, kecerdasan, kecakapan, kemandirian dn sederet  kriteria kompeten lain yang setara dengan lelaki anggota dewan. Ia diharapkan dapat terlibat aktif dalam setiap pengambilan keputusan. Sehingga legislatif bisa melahirkan kebijakan-kebijakan yang prorakyat. Apalagi dalam kondisi krisis saat ini dan karut-marutnya kehidupan ekonomi dan politik bangsa (Ari Hidayat)


Artis, Kredibilitas, dan Politik

        Pemilihan Umum (Pemilu) legislatif 2009, diramaikan oleh maraknya artis yang mencalonkan diri menjadi anggota parlemen. Ada yang mencalon untuk memperjuangkan idealismenya dan ada yang dipinang partai politik. Seakan menyusul seniornya seperti Marissa Haque yang lebih dulu terjun ke politik, artis Indonesia beramai-ramai banting setir ke kancah politik yang biasa didominasi lelaki itu. Artis sah-sah saja berpolitik dan merupakan aktivitas yang tidak dilarang. Beragam alasan dikemukannya menyangkut partisipasi  politiknya yang kebanyakan terkesan instan (langsung jadi).
         Sejumlah artis itu seperti dilansir sebuah majalah wanita antara lain Venna Melinda (Partai Demokrat), Raslina Rasyidin (Partai Amanat Nasional) dan Tessa Kaunang (Partai Damai Sejahtera), dan Okky Asokawati (PPP).  Selain mereka, muncul pula nama-nama lain seperti Nurul Arifin, Rieke Dyah Pitaloka, dan Wulan Guritno.
Fenomena artis yang mendadak berpolitik menandakan politik di kita masih mengandalkan popularitas yang bisa menggeser sederet prasyarat ideal seperti rekam jejak berpolitik seseorang, kemampuan, dan sebagainya. Indonesia masih mengedepankan politik citra di mana figur menjadi amat penting.
              Kalau sebelumnnya artis hanyalah sebagai vote getter (pengumpul suara) saat pemilihan (hanya sebagai bintang tamu) kini ia benar-benar menjadi pemain utama politik. Permainan politik memang sebelumnya didominasi lelaki yang memarjinalkan kesempatan dan peran wanita.. Dunia politik yang terkesan maskulin itu, penuh intrik, dan tarik-menarik kepentingan  kini banyak dilirik artis. Sekadar latahkah (ikut-ikutan), sebagai pelarian atau memang panggilan jiwa artis itu sendiri? Tak mudah menjawab semua pertanyaan ini. Ketimbang mereka-reka jawaban dari pertanyaan itu, alangkah lebih baik bila kita menunggu dan memberi kesempatan kepadanya untuk melihat kiprah politik artis kita.
             Yang perlu diperhatikan oleh artis kita sebagai wanita pemain politik adalah membuktikan diri kepada rakyat bahwa mereka layak duduk di kursi parlemen. Kita pun berharap suara rakyat yang diberikan kepadanya sebagai amanah yang harus dijadikan landasan dalam setiap gerak-gerik politik mereka, sehingga parlemen dapat menghasilkan kebijakan yang matang dan dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat banyak. Karakteristik wanita yang lebih menonjolkan perasaan dan hati nurani ini diharapkan mampu menyeimbangkan keputusan-keputusan yang hanya terkesan berupa kalkulasi untung-rugi dan mengenyampingkan dimensi-dimensi lain seperti rasa kemanusiaan. Bagaimanapun setiap kebijakan baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif jangan sampai mengalami pendangkalan kemanusiaan.
              Semoga artis yang mencalon sebagai legislator itu, tidak terjebak dalam sikap pragmatis yang menonjolkan kepentingan jangka pendek dan sesaat. Dan menjadikan pengalaman baru ini, sebagai investasi pendidikan politik dan penanaman sikap sportif..Terpilih maupun tidak terpilih ia harus siap dengan segala risiko dan konsekuensinya. Mulai sekarang ia harus membangun kredibilitas sehingga terbentuk kepercayaan dari rakyat kepadanya. Bangunan yang bermahkotakan kejujuran dan bersinggasanakan hati nurani untuk menampung suara-suara rakyat. Dengan demikian, kehadiran artis itu di dalamnya (gedung dewan), bukan hanya sebagai pigura penghias gedung wakil rakyat. Atau tak lagi hanya sebagai penahan rasa kantuk ketika rapat-rapat parlemen. berlangsung (Ari Hidayat)
(Dimuat di majalah DKI Jakarta)

Rabu, 11 April 2012

Arti Sebuah Nama



           

               Pujangga Inggris,William Shakespeare berkata, apa arti sebuah nama yang lebih penting adalah isi. Perkataan pengarang antara lain drama klasik Romeo dan Juliet itu ada benarnya. Sebagus, sepopular, dan sebesar apapun nama seseorang  kalau ”isi”-nya tidak baik, tak bermakna, dan tak bermanfaat tentu tidak akan ada artinya. Jadi, isi memang lebih berharga ketimbang nama. Dari isi, baik berupa karya, kerja maupun amalan lain  seseorang  yang berkualitas tentunya akan berdampak pada pengenalan terhadap orang itu. Dalam ranah tertentu seperti tulis-menulis, tidak jarang orang lebih mengenal dan akrab dengan karya atau tulisan seseorang ketimbang penulisnya.
               Di ranah leterasi seperti puisi dan penulisan kreatif ada yang menarik untuk dicermati. Penyair peraih South East Asia  (SEA) Write Award, Acep Zamzam Noor dalam blognya, menyebutkan puisi yang baik adalah yang menggetarkan pembacanya. Tak peduli apakah itu puisi cinta atu protes, puisi panjang atu pendek. Ketergetaran itu tentunya relatif. Ia bisa tergetar oleh nama penyair yang puitis atau aneh. Dia pun menganggap penting sebuah nama. Karena itu, Acep Zamzam Noor kerap mengusulkan nama (calon) penyair yang biasa-biasa saja supaya diganti saja. Sedangkan dalam jagat perbukuan, tak jarang pula penerbit yang menyarankan menggunakan nama pena kepada penulis yang naskahnya akan diterbitkan.
              Dalam budaya kita,  pemberian nama kepada anak yang baru lahir oleh orangtuanya, memiliki makna tersendiri. Orangtua biasanya memberikan nama kepada bayinya dengan nama sebagus mungkin. Dari nama itulah orangtua berharap anak mereka dalam amal perbuatannya kelak sesuai dengan nama yang dimilikinya. Tidak sedikit orangtua menamai anaknya dengan nama tokoh-tokoh yang ada di dunia ini. Dalam tradisi Sunda kita mengenal ada kebiasaan ngabubur bodas bubur beureum (membuat bubur putih dan merah) saat pemberian nama kepada bayi. Makanan ini dibagi-bagikannya kepada tetangga dan sanak famili semacam pemberitahuan bahwa bayi itu telah bernama.
               Nama merupakan identitas agar sebentuk makhluk (hidup maupun benda mati) dapat dikenal, diketahui, dan diidentifikasi. Ada orang yang mati-matian menjaga nama baiknya (reputasi) agar dia tetap bisa menjaga hubungan profesional dalam bidangnya. Ada pula nama orang besar yang sekejap terasosiasi tidak baik karena perilakunya yang menyimpang, melanggar hukum, dan etika atau norma-norma tertentu. Tidak sedikit pula dalam profesi-profesi tertentu yang berhubungan dengan publik,  ketenaran menjadi impian orang yang berkecimpung di dalamnya. Kalau popularitas itu diperoleh dengan cara yang baik dan benar, apalagi dia bisa menjaga reputasinya secara konsisten,  tentunya publik pun akan meresponsnya dengan baik pula. Jika sebaliknya, nama yang terkenal didapatkan dengan segala cara atau keterkenalan hanya karena setelah dia membuat sensasi tertentu maupun karena perilakunya yang tidak baik, tentunya khalayak pun akan mencibirkannya.
               Popularitas yang berkelindan dengan nama sekarang ini sudah menjadi tren tersendiri dalam tata budaya massa kita. Mulai untuk menjadi selebritas sampai bakal calon dalam pemilukada, kepopuleran menjadi komoditas yang menjanjikan. Dari sini nampaknya pernyataan Shakespeare itu menjadi ambigu. Nama telah mengalahkan isi. Yang penting nama dikenal dahulu, tak peduli tentang rekam jejak, kiprah, dan pengalaman untuk menduduki posisi itu. Padahal seperti kata seorang penyair Arab, tidak semua orang terkenal besar, dan tidak semua orang besar terkenal. Ambisi seseorang untuk popular sebatas tidak menimbulkan arogansi, pamer, narsis, dan membangga-banggakan diri tentunya sah-sah saja.
             Di lain pihak, bagi orang tertentu popularitas ternyata bisa menjadi sesuatu yang menakutkan dan tidak sesuai dengan kepribadiaannya. Nama yang terkenal berkonsekuensi dengan ‘ketidakbebasan”, interaksi sosial, dan tuntutan mekanisme kerja tertentu (protokoler) yang berbeda dengan orang biasa. Contohnya, penulis tetralogi Laskar Pelangi, Andrea Hirata mengungkapkan bahwa setelah dia menulis novel itu hingga difilmkan, dirinya menjadi terkenal. Namun, popularitas dengan segala konsekuensinya ini, tidak sesuai dengan karakternya. Akhirnya, Andrea mengumumkan kepada publik untuk pamit dari jagat kepenulisan.Tapi, ini tidak lama sebab Andrea belum lama ini muncul kembali dengan novel-novel terbarunya, dwilogi Padang Bulan dan Cinta di Dalam Gelas. Andrea malahan tadinya menginginkan dirinya seperti sastrawan Ahmad Tohari dimana publik lebih kenal dan dekat dengan karya-karyanya ketimbang penulisnya.
               Dalam dunia tulis-menulis ada fenomena menarik menyangkut nama. Tak jarang orang (pembaca) hanya mengetahui nama penulis seperti yang tertera dalam bukunya atau nama popularnya, padahal penulis itu menggunakan nama pena (samaran). Misalnya, orang akan lebih mengenal nama tokoh gerakan puisi Mbeling, Remy Sylado  ketimbang nama aslinya, Yapi Panda Abdiel Tambayong, begitu pula novelis Pipiet Senja sesungguhnya bernama asli Etty Hadiwati Arief, dan novelis Nurhayati Srihandini yang lebih populer dengan nama Nh Dini. Begitu pula di Barat orang lebih mengenal George Orwell sebagai pengarang novel Animal Farm, ketimbang nama aslinya, Eric Arthur Blair.                              
             Pada era multimedia kini dengan internet sebagai sarana utamanya, kita menjumpai dalam fasilitasnya seperti blog, dan Facebook para penggunanya banyak yang memakai nama samara (akun anonym). Tentunya mereka menyamarkan identitas asli bukan untuk tujuan tak baik, sebatas menjaga ruang privat bahkan mungkin hanya iseng. Apalagi internet adalah dunia maya yang berbeda dengan interaksi sosial secara tradisional . Blogger dan Facebooker mengetahui itu, sehingga untuk urusan-urusan yang lebih serius mungkin mereka lebih suka berkomunikasi dan berinteraksi secara lain yang lebih cocok. Bagaimanapun, kultur komunikasi baru ini, baik yang main-main ataupun yang serius, baik yang memakai nama samaran maupun nama asli, tentu mengasyikkan  dan banyak manfaatnya.
            Sayangnya, tentang nama itu, orang yang bermotivasi buruk banyak yang memanfaatkannya untuk tujuan-tujuan berbau kriminal. Sehingga kita mengenal istilah pencatutan nama yang berbau fitnah untuk kepentingan negatif baik menjatuhkan nama baik seseorang atau pun institusi. Tidak sedikit nama pejabat, institusi, dan perusahaan yang dicatut oleh orang tak bertanggung jawab untuk kepentingan yang biasanya ujung-ujungnya penipuan seperti pengumuman pemenang undian tertentu dan permintaan uang “jasa” pelicin untuk menyelesaikan suatu kasus. Dari kasus-kasus seperti ini tentunya kita perlu hati-hati dan bagi yang tercatut namanya  seyogianya mengklarifikasinya.
                  Seperti dunia ini yang fana,  khususnya bagi nama orang dan institusi, dalam keadaan dan periode tertentu ternyata tidak bersifat langgeng. Untuk urusan penggantian nama seseorang (karena alasan tertentu) sebelum dibuatkan akta kelahirannya tidak memerlukan proses administratif. Penggantian nama itu sah-sah saja termasuk untuk lembaga baik pemerintah maupun swasta. Biasanya untuk lembaga swasta seperti perusahaan penggantian nama terjadi kalau ada pengalihan kepemilikan modal, persoalan internal, dan untuk mengembangkan atau meningkatkan kinerja perusahaan. Sedangkan untuk institusi pemerintah perubahan nama adalah karena penggantian lembaga dengan yang baru meskipun sejenis, menghilangkan kesan kurang baik masa lalu,  perubahan struktural institusi,  dan untuk meningkatkan profesionalitas aparaturnya (Ari Hidayat)